Kamis, 12 Februari 2015

Mobil Proton dan Misteri Hendropriyono

Mobil Proton dan Misteri Hendropriyono

Tjipta Lesmana   ;   Pengamat Politik
KORAN SINDO, 10 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Forum Hari Pers Nasional (HPN) di Batam, 9 Februari 2015, tiba-tiba dipanaskan perbincangan mengenai penandatanganan kerja sama perusahaan mobil Proton dan perusahaan Indonesia yang dipimpin oleh mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal TNI (purn) Hendropriyono.

HPN sendiri diikuti oleh lebih dari 300 insan pers dari Sabang sampai Merauke. Di hampir setiap ruangan–dari restoran, kafe, lobi hingga lorong-lorong kamar Hotel Harmoni One, semua berbicara tentang peristiwa yang mengejutkan itu. Di mana pun saya berada, mereka selalu melemparkan satu pertanyaan kepada saya: Ada apa dengan kerja sama antara Proton dengan Hendro?

Pertanyaan ini muncul karena beberapa sebab: Pertama, peristiwa penandatanganan betul-betul mengejutkan, tampaknya dirahasiakan sebelumnya secara ketat sehingga tidak bocor ke media massa. Artinya, hari-hari sebelumnya nyaris tidak ada media yang melansir berita ini.

Kedua, sosok Hendropriyono yang memang kontroversial dan belakangan kerap jadi berita hangat di media massa, termasuk media sosial. Kontroversi itu, antara lain, karena seringnya Hendro menghadap Presiden Jokowi di Istana. Presiden kerap meminta saran dan masukan dari Hendro terkait berbagai isu nasional yang “panas”, khususnya isu Budi Gunawan. Semua orang tahu betapa dekatnya hubungan antara Hendro dengan Presiden Jokowi.

Ketiga, Hendro sejauh ini kurang dikenal di kalangan pebisnis automotif.
Bahkan, Gaikindo sendiri tidak pernah dengar nama perusahaan yang dikomandoi Hendro yang bekerja sama dengan Proton dari Malaysia itu. Malah, nama perusahaan itu dikabarkan “tidak terdaftar” di Kementerian Perdagangan. Memang Hendro pernah duduk sebagai salah satu komisaris, atau mungkin juga presiden komisaris PT KIA Indonesia. Tapi beberapa tahun kemudian dia mengundurkan diri.

Keempat, semua orang bertanya: Kenapa Indonesia mau bikin mobnas bekerja sama dengan Proton? Bukankah Proton mobil yang tidak laku di Indonesia? Bahkan, di Malaysia sendiri pasarnya semakin merosot. Kabarnya 50% kandungan Proton yang dibuat di Indonesia berasal dari Indonesia. Lha, mobil merek lain eks Jepang sudah mencapai kandungan komponen lokal sampai 80%.

Lalu, Proton sendiri belum bisa mengklaim mobil buatan Malaysia. Masih 50% komponennya buatan Jepang. Bagaimana Malaysia bisa transfer of technology kalau masih 50% komponen Proton “dikuasai” oleh Jepang? Masyarakat bingung kenapa kalau memang pemerintah serius mau bikin mobil nasional, kenapa bukan gandeng dengan prinsipal yang jauh lebih bagus mobilnya dan laris di Indonesia?

Juga dipertanyakan kenapa Presiden Jokowi harus jadi saksi penandatanganan kerja sama ini. Bukankah Proton itu milik pemerintah Malaysia dengan status BUMN, sedangkan perusahaan yang dipimpin oleh Hendro swasta murni? Jadi, menteri perindustrian kita keliru ketika mengatakan ini kerja sama B to B (business to business), yang betul adalah kerja sama G to P (government to private sector).

Begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para insan pers, sehingga muncul pemikiran untuk menggelar satu seminar khusus yang membahas soal proyek mobil nasional versi Proton ini. Artinya banyak misteri di balik kerja sama ini! Karena banyak misteri maka muncullah macam-macam rumor.

Rumor yang pertama, perusahaan milik Hendro pasti nanti akan minta bantuan pada Presiden Jokowi, bantuan keringanan bea masuk, atau mungkin bea masuk nol persen. Rumor kedua, nanti semua instansi pemerintah diwajibkan menggunakan “mobnas” produksi Proton di Indonesia itu, sebab orang swasta kemungkinan sedikit yang mau beli mobil Proton. Lha, sekarang saja pasar Proton di Indonesia sangat kecil, kalah telak dihajar oleh mobil-mobil eks Jepang dan Korea.

Menurut Rizal Ramli, mantan menko perekonomian era perintah Gus Dur, Proton Indonesia dikhawatirkan mengikuti pola Timor era Soeharto. Yaitu Timor diimpor bulat-bulat dari Korea, dan pemerintah membebaskan bea masuk sepenuhnya. Namun pada akhirnya, masyarakat tahu bagaimana kualitas Timor sehingga proyek mobnas itu gagal total.

Yang juga dipertanyakan para wartawan kenapa penandatanganan kerja sama ini terjadi ketika suasana kebatinan hubungan RI-Malaysia sebenarnya sedang “hangat” gara-gara muncul iklan Malaysia yang bernuansa bangsa Indonesia, terkait dengan TKI yang bekerja di Malaysia. Iklan itu seakan-akan melecehkan kualitas pembantu Indonesia.

Perhatikan reaksi media Indonesia, khususnya media sosial, yang marah besar terhadap iklan Malaysia itu yang menghina PRT kita! Dalam suasana hubungan bilateral RI-Malaysia yang begitu tidak kondusif, kenapa kita menandatangani kerja sama pembuatan Proton di Indonesia? Peristiwa penandatanganan itu seolah-olah menampar muka bangsa kita sendiri; seolah-olah kita melupakan iklan Malaysia tadi, bahkan langsung merangkul Malaysia.

Dalam konteks ilmu komunikasi, timing peristiwa penandatanganan kerja sama itu sangat tidak tepat. Ingat ilmu komunikasi mengajarkan bahwa tindak komunikasi juga harus memperhatikan momen atau timing. Jika momennya jelek, komunikasi akan tidak efektif, biarpun pesan komunikasi bagus.

Lepas dari semua “misteri” itu, isu mobil nasional sendiri sementara tidak laku di Indonesia, karena masyarakat sudah apriori gara-gara proyek mobnas yang gagal beberapa kali sebelumnya. Pemerintah Indonesia memang tidak pernah serius untuk bikin mobil made-in Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar