Kamis, 12 Februari 2015

Bersiasat di Arus Tabloidisasi

Bersiasat di Arus Tabloidisasi

Triyono Lukmantoro   ;   Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
JAWA POS, 11 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

TABLOIDISASI adalah arus dominan yang terus menerjang industri media massa. Tabloidisasi merupakan konsep yang menunjukkan fenomena berkuasanya jurnalisme tabloid. Apa yang disebut tabloid itu sendiri dipahami secara netral sebagai koran yang berukuran setengah halaman dari lazimnya surat kabar. Tapi tabloid tidak dapat dimengerti sekadar ukuran fisik halaman.

Tabloid adalah strategi pemberitaan yang sangat menonjolkan sensasionalisme, terutama berkait pemberitaan kejahatan dan skandal seks, dan selalu berkeinginan memberikan kejutan yang liar bagi khalayak. Pada keadaan semacam itulah terlihat Suara Merdeka (SM) harus mengarungi gelombang deras industri media yang sangat kuat dikendalikan oleh nalar tabloidisasi. Terdapat beberapa problem penting yang selayaknya dicatat.

Pertama; harus ditegaskan lagi bahwa tabloid bukan sekadar hitung-hitungan panjang dan lebar halaman. Tabloid dapat digambarkan sebagai ìpers comberanî. ’ Dalam rengkuhan jurnalisme tabloid, terjadilah perubahan yang amat besar dalam orientasi pemberitaan media, yakni dari media yang memproduksi berita yang berkualitas menjadi media yang menggelontorkan hiburan.

Konsekuensi berikutnya yang tidak dapat disangkal lagi adalah media, terutama surat kabar, berubah pula kedudukannya, yaitu dari forum bagi publik untuk menjalankan perdebatan terhadap isu-isu yang penting sekadar menjadi berita-berita yang menarik minat khalayak (Bob Franklin, dkk, Key Concepts in Journalism Studies, 2005: 258-259). Suara Merdeka mampu menjalankan siasat untuk tidak terjebak dan bahkan sengaja menenggelamkan diri dalam riuh-rendah tabloidisasi itu.

Kenyataan itu dapat disimak pada berita-berita yang dihadirkan pada halaman pertama. Isu-isu politik yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak tetap ditampilkan secara khas. Pilihan judul berita, tata warna, dan penyajian foto disodorkan ke hadapan pembaca dengan cita rasa yang sedikit mengandung unsur tabloid.

Merupakan Strategi

Hanya, nilai murahan yang merendahkan akal waras publik sengaja ditinggalkan. Jadi, judul berita yang ditulis secara mencolok mata dengan paduan warna hitam dan merah itu merupakan strategi untuk mengundang minat baca khalayak. Warna merah dalam posisi demikian bukan dimaksudkan menciptakan sensasionalisme, melainkan teknik untuk memberikan penekanan kepada aktoraktor politik yang sedang dibicarakan.

Jadi, pihak yang dijadikan target bukan saja pembaca untuk tertarik menyimak berita yang disodorkan, melainkan juga para pihak yang harus segera memutuskan suatu persoalan secara cepat dan tepat. Kedua; tabloidisasi bisa dilihat pula sebagai cara untuk melakukan perlawanan terhadap pers berkualitas (quality papers).

Secara kategoris industri media bisa dibedakan dalam dua titik ekstrem pemberitaan, yakni berorientasi pada berita yang dinilai berkelas dengan khalayak pembaca kalangan elite, dan media yang mengarah pada perayaan kedangkalan mengenai kekerasan, kejahatan, dan seksualitas yang penuh kecabulan dengan sasaran pembaca kelas bawah.

Dalam rumusan yang lebih ringkas, pers berkualitas menciptakan elitisme dengan menghadirkan gaya bahasa yang santun, halus, dan lembut sebagai penanda bagi khalayak yang berstatus sosial serbaaristoktatis.

Sementara itu, pers yang menerapkan tabloidisasi berupaya menjalankan resistensi terhadap nilai-nilai kebangsawanan yang sangat elitis dengan melakukan perayaan melalui pemakaian kevulgaran gaya bertutur yang disokong oleh spirit populisme kuat. Inilah media yang menyuarakan rakyat secara jujur.

Dua kutub yang memperlihatkan aristokrasi yang elitis versus populisme yang vulgar itu berhasil dimoderasikan oleh Suara Merdekadengan siasatnya yang khas. Sebagai koran yang menjadi acuan utama bagi masyarakat Jawa Tengah, harian ini tidak mungkin sekadar menyajikan berita yang menggunakan bahasa serbaabstrak dan demikian penuh petatah-petitih ala kaum intelektual yang bermukim sedemikian nyaman di menara gading.

Tapi, haria ini juga tidak mungkin menyodorkan berita yang secara vulgar menyodorkan sansasionalisme dan kejorokan nilai rasa kebahasaan yang justru bisa menghilangkan selera kalangan kelas menengah. Maka, hasilnya adalah berbagai peristiwa politik yang berdampak signifikan bagi pembaca tetap disodorkan dengan gaya merakyat yang tetap menonjolkan kultur Jawa.

Bahkan, pembahasan terhadap berbagai peristiwa kemanusiaan yang unik juga dihadirkan secara jenaka. Moderasi gaya jurnalisme elitisme versus populisme yang dijalankan oleh Suara Merdeka ini memiliki keuntungan spesifik. Jurnalisme tidak menjadi produk bacaan yang elitis dan membosankan. Jurnalisme tidak pula menghadirkan teka-teki dan aneka prasangka karena bahasa yang digunakan mampu menghadirkan kenyataan secara transparan.

Namun, jurnalisme tidak terjerembab dalam kebanalan bahasa yang amat memberhalakan kekasaran dan kecabulan yang justru bertentangan dengan nilai-nilai keadaban sosial. Inilah jurnalisme yang menjalankan misi demokrasi dengan tetap memperhatikan kesantunan secara terukur.

Kecermatan, Kedalaman

Ketiga; mengambil titik tengah antara elitisme versus populisme jurnalisme juga menunjukkan kejelian dalam industri media yang semakin menonjolkan akrobat bahasa (terutama dalam judul pemberitaan) tapi sebenarnya secara substansial tidak menunjukkan nilai berita apa pun. Pada situasi industri media yang dikendalikan oleh nalar kecepatan yang dangkal ketimbang kecermatan yang memperhatikan kedalaman inilah Suara Merdekamampu hadir secara unik.

Aktualitas merupakan jualan utama media. Tapi, aktualitas yang semata-mata berhitung dengan waktu yang terus melaju menjadikan media kehilangan esensi nilai berita yang penting bagi pembaca. Koran pasti tidak mampu berpacu dengan aktualitas berita yang disodorkan media online atau berbagai stasiun televisi.

Koran pasti hadir belakangan ketika peristiwa terus lekas berganti. Namun, koran tetaplah industri bacaan yang harus menonjolkan nilai-nilai kecermatan dan kedalaman yang selama ini diabaikan oleh media yang berkalkulasi dengan problematika kecepatan. Pada sudut pandang ini, Suara Merdeka sedang bergerak untuk menjalankannya.

Hal yang dapat disarankan adalah kecermatan dan kedalaman itu tidak sekadar berisi hasil atau rangkuman wawancara dengan aneka narasumber yang memiliki kredibilitas. Langkah yang harus dijalankan harian ini dalam konteks itu adalah memadukan riset yang berisi kajian kepustakaan atau hasil penelitian pihak penelitian dan pengembangan (litbang) dengan kemampuan observasi (pengamatan) para jurnalis di lapangan.

Dengan demikian, kedalaman tidaklah identik dengan berapa banyak karakter yang dihabiskan untuk menjejali halaman koran. Wawancara yang intensif, riset yang serius, serta observasi yang cermat adalah kunci utama kedalaman. Akhirnya, selamat berulang tahun yang ke-65 untuk Suara Merdeka tercinta!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar