Kamis, 12 Februari 2015

Mencari Kapolri yang Profesional-Bersih

Mencari Kapolri yang Profesional-Bersih

Laode Ida   ;   Sosiolog di Departemen Sosiologi FIS UNJ Jakarta;
Mantan wakil ketua DPD RI periode 2004–2009; 2009–2014
JAWA POS, 11 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

TAMPAKNYA, peluang Komjen Budi Gunawan (BG) untuk menjadi Kapolri sudah akan tertutup karena tersandung status tersangkanya oleh KPK sebagai pemilik rekening gendut. Tim 9 –tim independen bentukan Presiden Joko Widodo (Jokowi)– pun telah bekerja seraya mencari solusi atas kasus BG itu (yang melebar pada perseteruan terbuka antara Polri dan KPK) di mana indikasinya merekomendasikan perlunya figur jenderal polisi lain untuk memimpin Polri setelah Jenderal Sutarman. Kompolnas pun kabarnya telah (akan) mengajukan pertimbangan berisi empat nama jenderal polisi berbintang tiga untuk dipilih presiden sebagai calon pengganti BG dan selanjutnya diharapkan diajukan lagi ke DPR untuk diuji kelayakannya.

Skenario tersebut bisa berjalan jika memang Jokowi setuju dengan usulan baru calon Kapolri itu. Dengan risiko akan ”sedikit mengecewakan” pihak politisi yang menghendaki BG. Termasuk kemungkinan bakal munculnya reaksi politik dari DPR karena barangkali merasa Jokowi telah ”tidak menghargai proses politik yang sudah dilakukan di Senayan”. Maklum, putusan DPR dalam mendukung BG jadi Kapolri relatif bulat. Sehingga bisik-bisik di masyarakat yang santer terdengar, para politikus itu telah mendukung ”figur bermasalah untuk jadi Kapolri” akibat adanya kesamaan kepentingan. Sehingga tentu saja akan ada kekecewaan dari sebagian di antara mereka jika pilihan mereka itu tak sempat diwujudkan Jokowi.

Dalam kondisi seperti itu, memang posisi Presiden Jokowi sangat dilematis. Terjepit di antara kelompok kepentingan yang mengabaikan aspek integritas di satu pihak dan tuntutan untuk menjadikan institusi kepolisian bisa lebih bermartabat di bawah figur pimpinan yang bersih dan profesional. Sebagai manusia biasa, Jokowi tentu memiliki perasaan yang menjadikan sulit menghindar karena sosok BG sungguh dikehendaki pimpinan PDIP, partai utama penyokongnya. Apalagi kemudian diembuskan dengan sangat oleh pendukung BG, jenderal polisi yang satu ini menjadi perekat dan sekaligus mencairkan ketegangan hubungan antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen.

Tetapi, sebagai presiden, Jokowi tentu mesti bersikap dan mengambil kebijakan sebagai negarawan. Dalam konteks ini, hak prerogatifnya untuk memilih Kapolri tak bisa didasari pertimbangan rasa dengan pengaruh kuat kepentingan politik, tetapi harus lebih didasarkan pada pertimbangan objektif untuk kepentingan pengelolaan negara yang baik dan bersih.

Pertama, pertimbangan untuk mengangkat seorang pejabat haruslah jauh melampaui batas-batas prosedur, apalagi bersifat politis. Yang harus dikedepankan dan dijunjung adalah dimensi nilai dan etika. Kalau seorang figur sudah ternodai dengan resistansi publik yang demikian kuat, figur-figur seperti itu sudah harus dihindari.

Kedua, seorang presiden harus mampu membedakan kepentingan subjektif polisi dengan posisi rakyat yang kepentingannya bersifat objektif-kumulatif. Kepentingan politisi, apalagi di negeri ini, biasanya bukan berada pada dirinya sendiri, melainkan lebih dikendalikan sejumlah orang yang menguasai parpol itu. Sementara kekuatan rakyat adalah arus besar yang merupakan penyatuan kepentingan individu-individu yang didasarkan pada kejujuran etika, jauh dari kontaminasi kepentingan subjek politik.

Pertanyaannya sekarang, siapa yang akan menggantikan BG? Apakah empat orang yang diajukan Kompolnas ke Jokowi itu merupakan figur yang tepat untuk memimpin Polri pasca gonjang-ganjing ini? Tentu saja belum bisa dijawab. Namun, seharusnya Jokowi juga tidak serta-merta mengambil kesimpulan untuk memilih salah satu di antara empat jenderal itu. Soalnya, kerja Kompolnas pun perlu diragukan setelah gagal dengan usulan pertamanya di mana BG ternyata bermasalah dan dijadikan tersangka oleh KPK. Padahal, sebelumnya lembaga itu mencoba meyakinkan publik bahwa BG tidak bermasalah lagi dengan dugaan rekening gendut.

Apa yang mau dikatakan di sini bahwa Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan untuk melakukan beberapa langkah dalam proses penetapan calon Kapolri. Pertama, figur yang akan diproses harus sudah melewati deteksi dari pihak PPATK dan KPK. Proses pada saat seleksi calon anggota kabinetnya pada Oktober lalu tampaknya masih tetap perlu dilakukan untuk calon Kapolri. Khususnya, data PPATK harus diakui masih sangat objektif dan kredibel di tengah canggihnya penggunaan teknologi dalam transaksi keuangan dewasa ini.

Kedua, figur jenderal polisi itu harus memiliki derajat kenetralan yang tinggi dan teruji dari kepentingan dan godaan politik. Masukan dari masyarakat luas atas hubungan figur (yang masuk dalam nominasi calon Kapolri) dengan parpol tertentu akan sangat bermanfaat bagi presiden. Soalnya, sudah berseliweran informasi di masyarakat bahwa jika sudah pada posisi ”bintang di jajaran Polri”, atasan mereka sudah mulai terbagi. Sebab, masing-masing sudah gencar melakukan pendekatan untuk cantolan pada parpol tertentu atau komisi terkait di parlemen. Sebab, mereka sadar betul, jika ingin meraih jabatan yang lebih strategis di internal Polri, peran para politikus sangat menentukan.

Ketiga, terkait langsung dengan isu ”sakit hati” dari figur jenderal yang tak dilantik, jangan sampai menghadirkan pimpinan yang memiliki watak pendendam berbasis solidaritas sekorps. Indikasi saling balas antara Polri dan KPK pasca penetapan BG sebagai tersangka, jujur saja, sangat kentara ditunjukkan pihak Polri. Kewenangan yang besar dan luas yang dimiliki lembaga kepolisian belum tentu tidak disalahgunakan untuk menghabisi bukan saja KPK, namun juga orang-orang yang kritis terhadap karakter buruk sebagian oknum Polri. Termasuk di dalamnya mereka-mereka yang bergerak dalam pemberantasan korupsi. Inilah pekerjaan rumah yang diharapkan bisa diselesaikan secepatnya oleh Presiden Jokowi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar