Sabtu, 07 Februari 2015

Ayo, Polri, Tetap Berdiri

Ayo, Polri, Tetap Berdiri

Reza Indragiri Amriel  ;  Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
JAWA POS, 06 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

BAGAIMANA ujung akhir situasi sengkarut yang dipersepsikan publik sebagai ”Cicak versus Buaya” bahkan ”Cicak versus Margasatwa”, jawabannya masih jauh di ufuk. Tapi, sejumlah persoalan besar sejak kini sudah menyergap Polri. Persoalan-persoalan itu tidak berkutat pada pertikaian antara dua lembaga penegakan hukum, yang mudah-mudahan selesai setelah ada kepastian status hukum atas BG dan para pimpinan KPK. Masalah yang jauh lebih pelik berpusat pada diri organisasi Polri sendiri. Tentu, dibutuhkan keberanian serta kekuatan Korps Tribrata dalam menahan ”rasa sakit” agar persoalan-persoalan itu dapat terlihat jernih dan kelak teratasi.

Dilatarbelakangi proses hukum terhadap seluruh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang tampak sebagai langkah reaktif Polri pasca penetapan Komjen Pol BG sebagai tersangka, Polri harus mampu meyakinkan publik bahwa langkah kepolisian yang mereka ambil tersebut bukan penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Juga, bukan manuver politik yang dikemas seolah-olah sebagai tindakan atas nama hukum.

Itu persoalan pertama yang tidak bisa dipandang sepele. Sebab, asosiasi antara aksi KPK dan reaksi Polri sudah terbangun sedemikian kuat. Saban kali ada petinggi Polri yang dipermasalahkan KPK, seketika itu pula Polri terlihat laksana badak terluka yang langsung melancarkan serangan balik membabi buta. Apabila Polri gagal membuktikan bahwa kerja mereka kali ini terhadap para pimpinan KPK sepenuhnya berlandaskan penegakan hukum, sanksi masyarakat akan teramat pedih: kian pupusnya kepercayaan publik terhadap Korps Tribrata.

Kedua, terlepas lembaga mana yang akan memenangi ”pertarungan” ini, niscaya ada lebam dalam di ulu hati KPK dan Polri. Ketika lembaga-lembaga penegakan hukum terlihat rapuh, imbasnya adalah kian berjangkitnya fenomena kejahatan. Sialnya, sebagai pihak yang lagi-lagi diposisikan khalayak luas pada sudut yang ”salah dan kalah”, hampir bisa dipastikan bahwa Polri sendirian yang akan paling sering dituding sebagai penyebab situasi ruwet tersebut.

Dari situ bisa diramal bahwa kemelut antara Polri dan KPK akan mengakibatkan kian beratnya kerja Polri dalam memberantas kejahatan dan menindak pelanggaran hukum. Sebab, selain fenomena kejahatan yang semakin buruk, amunisi utama Polri berupa dukungan masyarakat kadung menipis.

Ketiga, (kabar tentang) para petinggi Polri dengan rekening gendut akan terus menjadi duri dalam daging. Objektivitas hasil penyelidikan internal Polri terhadap para pemilik rekening jumbo ditanggapi masyarakat luas dengan skeptisisme tinggi. Sorotan publik dan intaian KPK serta PPATK tidak akan lepas selama Polri sendiri masih belum membersihkan para personelnya yang diketahui memiliki kekayaan dari sumber-sumber yang tidak wajar.

Keseriusan untuk melakukan aksi bersih-bersih seperti itu bisa dipastikan sulit dilakukan. Pasalnya, andai benar rahasia umum bahwa kekayaan tidak wajar itu didapat melalui penyalahgunaan kewenangan secara sistemik, upaya pembersihan internal bisa menjadi ajang harakiri di antara sesama aparat Polri. Bahkan, apabila kebersihan kekayaan dijadikan sebagai syarat mutlak bagi siapa pun yang akan duduk di kursi kepemimpinan, sangat merisaukan bahwa persediaan personel yang memenuhi kriteria itu dikhawatirkan akan amat sangat terbatas.

Masalah keempat berangkat dari hasil riset yang menyimpulkan bahwa, di dalam institusi kepolisian, para junior menyebut senior mereka sebagai acuan utama tentang moralitas. Ironisnya, pada saat yang sama, junior juga menyatakan kakak-kakak angkatan adalah pihak pertama yang mereka saksikan melakukan pelanggaran terhadap kaidah moralitas.

Dengan pemahaman akan krusialnya kedudukan senior di mata junior, bisa dibayangkan, sebagai sebuah organisasi yang sangat kental diwarnai budaya senior-junior, seluruh personel Polri tentu saat ini juga mencermati secara seksama perilaku para senior mereka di Mabes Polri. Yang diamati bahkan dipelajari, tak lain, adalah seberapa jauh senior berhasil mengekspos diri sebagai mercusuar kebenaran. Yaitu, dalam pengertian bagaimana senior memfungsikan hukum guna menegakkan kebenaran dan keadilan, bagaimana senior merawat dan mempertahankan martabat korsa, serta bagaimana senior merespons pertanyaan bahkan syak wasangka masyarakat dengan jawaban-jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan.

Andai mercusuar itu memancarkan sinar yang terlalu redup atau bahkan padam total, pewarisan profesionalitas dan integritas yang bobrok menjadi kemungkinan yang sangat nyata. Perwujudannya adalah para penggawa kepolisian yang bekerja, bukannya melindungi, justru menyebar ketakutan sembari mempertontonkan penistaan terhadap nilai kepatutan, kebenaran, dan akal sehat. Regenerasi tabiat pemolisian yang memangsa (predatory policing) itu akan membuat proses reformasi Polri terpelanting sekian masa ke belakang.

Entah bagaimana ketiga permasalahan di atas dapat dipecahkan Polri. Bahkan, jangankan menemukan solusi, ada yang mendorong Polri –juga KPK– untuk lebih sudi melongok ke dalam diri sendiri (inward looking) pada waktu-waktu sekarang kiranya susah bukan alang kepalang. Itulah pertanda merajalelanya bias egosentris, yaitu anggapan bahwa kebenaran ada dalam genggaman kami, sedangkan kesalahan menggelayut di pundak mereka.

Padahal, becermin pada ungkapan sastrawan Antoine de Saint-Exupery, cinta (baca: kekompakan antarinstitusi penegakan hukum) tidak terbentuk berkat saling pandang, melainkan ketika kedua pihak sama-sama menatap ke luar dengan titik tujuan yang satu.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar