Sabtu, 07 Februari 2015

Semiotika Iklan Pecat

Semiotika Iklan Pecat

Ahmad Sahidah  ;  Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
JAWA POS, 06 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Sebuah iklan produk mengguncang jagat media sosial. Berkat tangan Wahyu Susilo, pegiat buruh, gambar iklan yang diunggah ke akun Twitter dan Facebook sampai ke khalayak luas. Perusahaan elektronik pembersih lantai dan kolam renang meletakkan cogan iklan, ’’Fire Your Indonesian Maid’’. Tak tanggung-tanggung, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Armanatha Nasir menyatakan bahwa pemerintah akan menempuh jalur hukum untuk menggugat perusahaan tersebut. Sementara itu, Wahyu Susilo mengajak orang ramai untuk memboikot barang itu andai Robovac tidak meminta maaf.

Lalu, apa yang tersisa dari hiruk pikuk ini? Kehendak untuk memahami bunyi iklan sebagai teks yang memicu bantahan keras, Fire Indonesian Maid. Menurut Umberto Eco dalam Kant and Platypus: Essays on Language and Cognition, semiotika tidak hanya berkait dengan apa dan bagaimana kita menggunakan tanda untuk merujuk pada sesuatu, tetapi mengapa seseorang mengungkapkan sesuatu (1999: 13–17). Kita tentu menumpukan pada tema fire yang biasanya dikaitkan dengan tindakan yang diambil karena pekerja dianggap tak layak lagi. Hanya, manusia yang digantikan dengan mesin akan membuka tafsir bahwa buruh tidak lebih mulia dibandingkan barang jualan. Pemahaman ini sejatinya dibebani dengan prasangka yang selama ini menghantui hubungan serumpun.

Benarkah tenaga buruh bisa digantikan dengan mesin? Tidak juga. Sebab, alat itu tetap dikendalikan oleh manusia. Namun demikian, dilihat dari sudut lain, mereka yang masih mempunyai waktu luang sejatinya bisa mengerjakan tugas-tugas pembantu dengan mudah apabila menggunakan alat yang dijual oleh Robovoc. Sementara itu, kelompok kelas menengah yang sangat sibuk tentu tak tergiur dengan iklan semacam ini karena pekerjaan mereka mengurangi waktu untuk berada di rumah. Banyak warga Malaysia masih bergantung kepada pekerja buruh migran, yang secara perlahan akan dikurangi oleh pemerintah negara tetangga melalui pembangunan tempat penitipan bayi dan anak.

Teks

Kalau melihat secara keseluruhan teks itu, tentu kita perlu memperhatikan kata fire, yang terkait dengan penghentian pekerja secara tak terhormat dengan pelbagai alasan. Hanya, penyebutan kata Indonesia dengan mudah akan dipahami sebagai rasisme. Sebab, pembantu rumah tangga (PRT) yang bekerja di negeri jiran tidak hanya berasal dari tanah air, tetapi juga Filipina, Thailand, Sri Lanka, India, Vietnam, dan Laos. Namun, siapa pun mafhum bahwa mayoritas PRT berasal dari Indonesia, yang mengandaikan bahwa iklan ini membidik calon konsumen yang besar. Prinsipnya, kapitalisme hanya ingin menjual barang sebanyak mungkin.

Tetapi, adakah iklan tersebut mewakili suara negeri jiran? Di sinilah, kejernihan diuji. Sebagai penjual, perusahaan yang tak terkait dengan sikap resmi pemerintahan Malaysia hanya menimbang hasil. Tapi, khalayak dengan mudah akan menyimpulkan bahwa iklan tersebut menggambarkan pandangan negara tetangga terhadap Indonesia. Jelas, ada lompatan-lompatan yang mengakibatkan orang ramai akan mengungkit begitu banyak tragedi yang menimpa pekerja migran kita di sana, sehingga iklan tersebut dipandang sebagai puncak dari keadaan bawah sadar warga jiran terhadap tetangganya.

Padahal, iklan itu secara semiotik mendorong kita untuk menyimak kata kunci dalam memahami objek atau teks, yaitu perhatian (attention). Dalam linguistik, attention itu merupakan kemampuan untuk mengarahkan otak kita pada objek dan menumpukan perhatian pada satu unsur dengan mengabaikan yang lain. Nah, di sinilah pembuat iklan telah mengabaikan satu unsur penting dari bahasa bahwa kata itu berkait dengan konteks. Ia telah mengabaikan bahwa kata fire bermuatan makna negatif dan penggantian manusia dengan benda jelas-jelas akan menimbulkan tafsir penghinaan dan penistaan.

Tugas Bersama

Bagaimanapun, kritik keras Wahyu Susilo kepada perusahaan tersebut dengan menuntut pemboikotan seraya akan menggunakan segala waktu, sumber, dan jaringan merupakan berita buruk bagi perusahaan. Jika tidak minta maaf, antipati akan makin besar. Jelas, pegiat buruh migran itu tidak sedang menyerang Malaysia per se, mengingat rekan sejawatnya di Migrant Care, Alex Ong, adalah warga Malaysia yang turut berjuang untuk membela hak-hak pekerja asing. Selain itu, Tenaganita yang dimotori almarhumah Irene Fernandez turut menyuarakan hak-hak buruh Indonesia di Malaysia.

Dulu, Alex Ong secara langsung pernah mengirim cuitan (tweet) ke akun Twitter Najib Razak, perdana menteri Malaysia, terkait iklan TKI on Sale yang juga memantik kontroversi. Dia mengatakan bahwa iklan yang melecehkan itu adalah buah dari sistem agensi pembantu asing yang terlalu tamak mencari untung. Sama halnya dengan perusahaan yang berpangkalan di Amerika Serikat ini. Hanya untuk menarik minat pembeli, ia menggunakan segala cara untuk menarik perhatian. Setelah kasus iklan obral TKI, tentu perusahaan ini akan menarik iklan kalau hendak mendapatkan pasar yang luas.

Nah, mengingat Joko Widodo akan menemui Najib Tun Razak dalam kunjungan resmi, 5–6 Februari 2015, di mana salah satu agenda pembicaraan adalah nasib PRT, pengurusan pekerja informal bisa dibicarakan secara menyeluruh. Lebih jauh, mengingat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah memutuskan untuk menghentikan pengiriman PRT pada 2017, kedua orang nomor satu tersebut bisa menyerahkan pelaksanaan teknis kepada Satuan Kerja Gabungan (Joint Task Force) agar pemulangan 300 ribuan PRT legal berjalan mulus.

Sementara itu, Farish A. Noor, sarjana terkemuka Malaysia, melihat sentimen buruk dalam iklan tersebut. Pengumuman seperti ini sama sekali tidak menimbang nilai-nilai kemanusiaan. Bukan hanya itu, Lies Marcus, feminis, pun memberi tahu rekan sejawatnya, Marina Mahathir, melalui Facebook tentang penistaan ini. Dengan kata lain, isu ini sejatinya terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan secara umum. Jika isu tersebut dilihat dengan sempit, kekerasan simbolik secara sengaja, kita gagal melihat kaitan kerakusan kapitalisme dan strategi pemasaran yang acap mengabaikan isu sensitif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar