Sabtu, 07 Februari 2015

Dari HMI untuk Indonesia

Dari HMI untuk Indonesia

Firman Firdhousi  ;  Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam
(PB HMI) 2013-2015
REPUBLIKA, 06 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Tepat pada 5 Februari 2015, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berusia 68 tahun. Usia yang bila dijadikan notasi usia, cukup disebut dewasa dan penting untuk menjadi wahana refleksi HMI dalam menyusun strategi fungsinya sebagai organisasi pengaderan dan perannya sebagai organisasi perjuangan.

Hiruk-pikuk sosial politik dan makin gencarnya arus globalisasi menghadirkan tantangan serius bagi HMI. HMI perlu meneguhkan spirit perjuangan yang telah ditanamkan para pendiri serta menciptakan inovasi baru dalam pola pergerakannya. Ini tak lain agar HMI bisa terus menjawab problematika zaman dengan kaidah-kaidah kemaslahatan yang kompatibel.

Membaca jejak HMI sekarang ini tak bisa dilepaskan dari kota kelahirannya, Yogyakarta. Di Yogyakarta inilah jejak HMI terpahat, baik dalam artefak fisik maupun nilai. Jejak-jejak itu terpantul seperti di daerah sebelah barat SMP Negeri II Yogyakarta, Gedung Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jalan P Senopati 30 Yogyakarta, tempat kelahiran HMI.

Daerah itu menjadi tempat rapat para pendiri HMI. Kemudian, di Gedung Sekolah Tinggi Islam (STI), di sela-sela jam perkuliahan, berdiri di depan kelas mahasiswa bernama Lafran Pane, lantas memimpin rapat yang dalam prakatanya mengatakan, "Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi mahasiswa Islam bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)."

Setelah menjalani hambatan yang cukup berat selama tiga bulan, detik-detik kelahiran HMI telah datang pada pertemuan bersejarah itu. Dengan peristiwa bersejarah 5 Februari 1947 itu, HMI telah menjadi kenyataan, berdiri tegak di tengah masyarakat dan bangsa Indonesia yang sedang berjuang memanggul senjata mengusir penjajah Belanda, mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Terdapat dua peristiwa penting yang mengiringi kelahiran HMI pada waktu itu. Pertama, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang ditandai dengan tradisi lokal masyarakat Yogyakarta "Perayaan Sekaten". Kedua, pada 5 Februari 1947 itu juga, kabinet telah melangsungkan sidangnya di Gedung Agung Yogyakarta membicarakan Perjanjian Linggarjati, menghadapi sidang KNIP Malang, dan pembahasan anggaran belanja dan kemakmuran.

Jika dihubungkan dengan kedua peristiwa itu, keputusan dalam Sidang Kabinet di Gedung Agung, Jalan Malioboro Yogyakarta pada 5 Februari 1947 dan apa yang diputuskan para mahasiswa di Jalan P Senopati 30, yaitu berdirinya HMI pada tanggal yang sama. Dalam tujuan HMI yang pertama disebutkan, "Mempertahankan Negara RI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia" adalah bertujuan mempertahankan NKRI, sehingga nyata bahwa HMI selalu ada dalam tarikan spirit kejuangan yang sama guna mempertahankan dan menegakkan dari kehancuran Indonesia menuju Indonesia adil makmur.

Masa-masa HMI di Yogyakarta merupakan saat generasi perintis sehingga mewariskan jejak agung ihwal prinsip, visi, misi, dan gerak perjuangan. Tak ayal kalau banyak kader berimajinasi akan kehadiraan para tokoh perintis di berbagai forum organisasi HMI, baik formal maupun informal.

Begitu HMI berdiri, berbagai persoalan bangsa telah menanti, yaitu hidup matinya Republik Indonesia. Sejak didirikan, HMI sudah menunjukkan visi kebangsaannya dalam menjaga dan menegakkan NKRI. Ini dibuktikan tidak hanya melalui tujuan HMI yang tertera dalam Anggaran Dasar (AD) melainkan juga perjuangan HMI memanggul senjata bersama pemerintah, tentara, dan rakyat melawan penjajah.

Setelah ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati, situasi Indonesia berkecamuk kembali. Belanda dengan sengaja menginjak-injak kesepakatan Linggarjati, menyerbu berbagai tempat seraya menjalankan politik devide et impera. Di tengah situasi tegang dan genting inilah, HMI tidak tinggal diam. HMI bersama pemerintah, tentara, dan rakyat berjihad menentang agresi itu dengan perang gerilya sampai titik darah penghabisan. Karena di mata HMI pascakemerdekaan, Indonesia harus tegak, berdiri sekuat tenaga, walaupun nyawa taruhannya.

Pascareformasi bergulir pada 1998, kala gemuruh negara agama sedang gencar, HMI tetap tampil untuk menjaga dan menegakkan NKRI. Itu manifestasi komitmen keindonesiaan yang dimiliki HMI. HMI tetap setia dengan NKRI, menolak mendirikan negara agama dan meneguhkan pilar berbangsa dan bernegara: NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Meskipun HMI merupakan organisasi yang menjadikan Islam sebagai sumber motivasi, nilai dan inspirasi dalam ideologi pergerakannya, paradigma keislaman HMI berintegrasi dengan spirit keindonesiaan sehingga tidak ada dikotomi esensial antara nilai ajaran keislaman HMI dan ideologi Pancasila dalam bingkai NKRI. Komitmen itu sudah dicontohkan HMI tatkala gonjang-ganjing penerapan asas tunggal Pancasila pada 1985. HMI akhirnya setuju bahwa Pancasila sebagai asas ideologis yang tidak bertentangan dengan Islam. Sejak itulah HMI terus bersenyawa dengan NKRI dalam pantulan gagasan dan pemikiran cahaya keikhlasan berjuang untuk Indonesia tanpa mendebat kembali relasi antara agama (Islam) dan negara.

Persoalan bahwa negara Indonesia yang masyarakatnya plural --baik etnis, agama, maupun budaya-- sangat rentan konflik karena memiliki banyak celah yang memungkinkan disusupi maksud jahat. Maka dari itu, semua elemen sosial, agama, dan negara harus bekerja sama menjaga dan menyelamatkannya.

Mengingat kian masifnya fenomena gerakan radikalisme agama pada era global ini perlu diantisipasi lebih terorganisasi. Sangatlah penting bagi HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam tertua dan terbesar di Indonesia untuk mengambil peran sentral meredam gerakan radikalisme agama yang semakin mengkhawatirkan. Paradigma keislaman HMI yang mengedepankan Islam rahmatan lil ‘alamin --Islam yang moderat, toleran, dan antikekerasan-- bisa dijadikan referensi dalam menetralisasi pemahaman atau penafsiran sempit dan dangkal tentang Islam.

Adanya sekelompok orang yang ingin mendirikan khilafah Islamiyah di Indonesia merupakan ancaman serius. Sebab, gerakan radikalisme agama merupakan ideologi yang penanggulangannya tidak bisa hanya menangkap pelaku an sich, tapi proses internalisasi nilai-nilai universalitas agama Islam --Islam yang mengedepankan akhlakul karimah, wisdom, kearifan menjauhi kekerasan dan bahkan antikekerasan-- harus terus disosialisasikan agar masyarakat terhindar dari pemahaman dan perilaku keagamaan yang mencoreng sendi-sendi ajaran luhur agama Islam.

Gejala penyelewengan terhadap penafsiran agama bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga tugas kesejarahan HMI yang meluruskannya. Bagi HMI, Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika adalah keputusan final segenap warga bangsa Indonesia. Dan, apa pun gerakan yang mengatasnamakan agama, lebih-lebih Islam, jelas bertentangan dengan esensi ajaran agama.

Semoga di hari kelahirannya ini, HMI tetap istiqamah berkiprah menjadi katalisator perubahan untuk kemaslahatan umat dan bangsa sehingga HMI dapat terus mengayuh sacree mission-nya dalam memandu tugas kebangsaan dan keumatan. Dirgahayu Ke-68 HMI!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar