Seandainya
Mudji Sutrisno ; Guru
Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
|
KORAN
SINDO, 05 Februari 2015
Seandainya kita melanjutkan dan mewujudkan dasar pikiran
pendiri bangsa dalam menjalankan politik luar negeri yang “bebas dan aktif”,
sejarah akan mencatat betapa pemikiran para pendiri bangsa Republik Indonesia
itu visioner mendasar.
Pemikiran tersebut berparadigma nonblok jauh menampakkan
arah bacaan pikiran mereka dalam kesadaran tinggi budi jernih bahwa peta
persaingan ada pada dua kekuatan besar antara blok Timur (baca: Rusia dan
kawan-kawan) dan blok Barat (baca: Amerika Serikat dan kawan-kawan).
Artinya, bangsa ini besar dengan penduduk banyak, kaya
bineka tambang, dan alam, namun selalu dijadikan rebutan kolonialis hingga
untuk merdeka dan berdaulat pun harus berjuang terus dengan budi jernih dan
nurani hening melawan superpower yang mau menguasai dunia.
Politik luar negeri nonblok terbukti visioner ketika
konteks perkembangan pascaperang dingin dan perkembangan globalisasi ekonomi
pasar menaruh berhadap-hadapan menghadapi tiga kekuatan saat ini yaitu blok
Amerika dan sekutunya Eropa Barat, blok Rusia dan kawan-kawannya
pasca-Glasnost, serta China dengan perkembangan ekonominya pasca-Deng
Xiaoping. Apalagi kekuatan-kekuatan ekonomi “baru” pascaperang dunia II yaitu
Jepang, India, dan Korea masuk dalam kancah perebutan pasar jualnya.
Mengapa konsep nonblok dalam bahasa politik luar negeri
“bebas-aktif” tahan dan cemerlang sebagai prinsip berelasi internasional
dengan negara-negara lain? Karena pikiran budi jernih pendiri bangsa
menempatkan pikiran sebagai pelita hati (ungkapan teks kebijaksanaan hidup
negeri ini dalam ekspresi pepatah peribahasa).
Yang berarti pertimbangan budi akal sehat dengan hening
menimbang realitas peta dunia diproses pertama-tama dalam kepentingan bangsa
Indonesia yaitu agar bangsa ini terus berdaulat lantaran rakyatnya berada
dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa yang salah satunya melalui
pendidikan. Kepentingan bangsa yang cerdas dan berdaulat menjadi batu penjuru
tatkala berhadapan dengan persaingan dan konflik- konflik kepentingan lain
yang beragam dan bineka.
Seakan kepentingan mewujudkan kehidupan bangsa dalam
ungkapan manusia-manusia Indonesia yang merdeka berdaulat berprinsip dan tidak
menggadaikan diri bahkan tega melacur diri untuk keuntungan-keuntungannya
saat dirayu oleh kolonialis-kolonialis “wajah baru”. Para kolonialis wajah
baru ini hadir dalam aktivitas pengerukan hasil bumi tambang sampai hasil
laut, bahkan yang dikandung Tanah Air sebagai Bumi Pertiwi.
Pandangan sudah dirumus tegas-tegas oleh pendiri bangsa
untuk generasi ke generasi dalam bahasa konstitusi yaitu kekayaan alam dan
kandungan Tanah Air digarap demi sebesar-besarnya kemakmuran dan sejahteranya
rakyat. Dalam bahasa cultural studies dan logika kebudayaan sebagai ranah
nilai alias yang dihayati dan dikonsepkan sebagai yang berharga dalam kehidupan
ini, pikiran mendasar para pendiri bangsa di atas merupakan “teks”.
Artinya, hasil pertimbangan dari proses diskresi budi dan
nurani yang lama, yang selalu harus memilih pertimbangan yang benar ketika
kepentingan pendek, praktis, pragmatis, teknis yang menjanjikan hasil guna
dan manfaat besar, tetapi hanya untuk segelintir pengambil putusan sedangkan
untuk kemaslahatan sejahtera rakyat banyak “kalah”.
Di sini “teks” menjadi bahasa rumus prinsip yang benar
dari kehidupan, yang baik, yang suci, dan yang indah sehingga manakala “teks”
nonblok dan bebas aktif dilanjutkan oleh pemerintah-pemerintah RI
pascagenerasi pendiri bangsa di sana bisa dievaluasi sebagai langkah-langkah
kontekstualisasi.
Jujur dalam membaca kontekstualisasi dari “teks”, kita pernah
melupakan nonblok kita dan memilih salah satu superpower dari yang kini
untunglah kita siuman sadar kembali untuk kembali ke “teks” dasar para
pendiri bangsa kita. Dengan begitu, tanah dan air yang berarti daratan pulau
dan lautan disadari paradigma pikirannya sebagai lautan di dalamnya
bertaburan pulau-pulau kita sehingga lautan (baca: maritim)-lah penyambung
Nusantara menjadi Indonesia.
Seandainya proses membuat pertimbangan atau diskresi
konsisten mengikuti prinsip musyawarah untuk mufakat sebagaimana tertulis
sebagai “teks” oleh para pendiri bangsa dalam dasar negara berpancasila. Teks
itu lahir karena mereka “jenius” membaca jernih dengan budi dan hening nurani
bahwa bangsa majemuk suku, beragam kekayaan religi, berbineka pikiran
bijaksana mengenai refleksi-refleksi lokal kehidupan ini tidak bisa
memutuskan sebuah keputusan yang mendengarkan keragaman dan kebinekaan itu
tanpa cara diskresi musyawarah!
Tidak bisa dipercepat atas nama efisiensi dengan kalah dan
menang sebagai kalkulasi putusan. Mengapa kita dalam tahap-tahap
kontekstualisasi (baca: melaksanakan “teks” diskresi musyawarah mufakat) lalu
mengadopsi yang dianggap bernilai dan berharga dengan dalih “demokrasi”
melalui voting yang mayoritas menang lalu yang minoritas kalah?
Kelirukah cara menimbang kita dalam membaca esensi
kemajemukan bangsa ini lalu dijalan pintasi dengan menang dan kalah lewat
voting? Ruang musyawarah mensyaratkan kesediaan rendah hati menaruh diri
untuk mendengarkan posisi-posisi lawan maupun kawan. Ruang ini dengan rendah
hati harus dibersihkan dahulu dari pertimbangan like and dislike, senang atau
benci.
Ia ruang bermusyawarah yang belajar dari kenyataan
lapangan, menaruh diri para posisi yang diperjuangkan yaitu kepentingan
bersama, kesejahteraan publik. Saat mufakat diambil, ia harus diproses tidak
dalam kalkulasi menang-menangan, tetapi terbaik untuk semuanya.
Di sinilah muncul dua dilema apabila kontras antarnilai
ditimbang seakan-akan tidak bisa dipilih. Itu terungkap dalam buah simalakama
yaitu memilih yang satu akan mati ibu, sedangkan bila memilih yang kedua akan
matiayah. Maka harus berani masuk ke pertimbangan “minus malum“ sebagai
dilema yang memperhadapkan antara pilihan yang buruk dan pilihan yang “lebih
buruk”.
Itulah proses musyawarah mufakat harus mengambil keputusan
untuk yang dampak negatifnya lebih kecil atau paling kecil dibandingkan yang
buruk lain. Minus malum, harfiahnya adalah mengambil jeleknya (=malum) paling
minus atau paling sedikit.
Seandainya “teks” menimbang dalam “konteks”
pelaksanaannya disadari bersama harus diproses pertimbangan budi dan diskresi
“nurani”. Syaratnya adalah mau rendah hati memprosesnya melalui blusukan
sejati untuk mendengar pertimbangan-pertimbangan. Selain itu perlu paham
prosedur serta tata cara sebuah wewenang atau kekuasaan yang harusnya
melayani namun di kebanyakan orang kita yang feodalistik dan berperilaku tuan
dan bos begitu jadi pemimpin atau pimpinan apa pun tanpa kecuali.
Jika kesemuanya tak dijalani, lalu yang terjadi adalah dua
gejala sama-sama keliru, namun nyata. Pertama, langsung melintasi hierarki
yang ada dengan cara bypass dengan alasan mempercepat hasil putusan.
Akibatnya yang merasa tidak dimintai permisi (dikulonuwuni) akan tersinggung
Sementara yang kedua, mereka- merekayangberlindungdibalik baju feodalisme
prosedural akan menggugat atas nama formalismetatacara yangdilupakan bahwa
ini media atau sarana dan bukan substansi atau tujuan.
Namun, keduanya sama-sama keliru lantaran “payung” (baca:
ruang pertimbangan) seharusnya adalah bersama-sama bermusyawarah,
berkomunikasi. Tetapi, bukanlah antar kita justru berkomunikasi antarsesama
warga bangsa ini yang sedang krisis “trust“: sukar untuk saling mempercayai,
apalagi ranah politik sebagai kontekstualisasi.
Teks musyawarah itu
sekarang ini punya indikasi tunaetika apalagi moralitas pengguna politik
untuk kesejahteraan bersama. Apalagi “rekrutmen” partai politik antara
mereka-mereka yang masih negarawan seperti para pendiri bangsa dan mereka
yang cari kuasa, kedudukan, dan cari makan tampil palsu dan keruh di layar
selubung eksotisme visualisasi rebutan selfie panggung pencitraan-pencitraan.
Padahal dalam bahasa hukum sumpah jabatan atau
keputusan-keputusan pengadilan dan bahkan keputusan tour of duty di sana ada rumusan kontekstual jelas-jelas yaitu:
”menimbang, mempelajari, lalu memutuskan”.
Seandainya tulisan berjudul ”seandainya” ini sudi dibaca
dengan hati dan budi jernih, pastilah proses menegara dan membangsa Indonesia
akan selangkah demi selangkah mewujud sebagai berdaulat dan berperadaban? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar