Jumat, 06 Februari 2015

Seandainya

Seandainya

Mudji Sutrisno  ;  Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
KORAN SINDO, 05 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Seandainya kita melanjutkan dan mewujudkan dasar pikiran pendiri bangsa dalam menjalankan politik luar negeri yang “bebas dan aktif”, sejarah akan mencatat betapa pemikiran para pendiri bangsa Republik Indonesia itu visioner mendasar.

Pemikiran tersebut berparadigma nonblok jauh menampakkan arah bacaan pikiran mereka dalam kesadaran tinggi budi jernih bahwa peta persaingan ada pada dua kekuatan besar antara blok Timur (baca: Rusia dan kawan-kawan) dan blok Barat (baca: Amerika Serikat dan kawan-kawan).

Artinya, bangsa ini besar dengan penduduk banyak, kaya bineka tambang, dan alam, namun selalu dijadikan rebutan kolonialis hingga untuk merdeka dan berdaulat pun harus berjuang terus dengan budi jernih dan nurani hening melawan superpower yang mau menguasai dunia.

Politik luar negeri nonblok terbukti visioner ketika konteks perkembangan pascaperang dingin dan perkembangan globalisasi ekonomi pasar menaruh berhadap-hadapan menghadapi tiga kekuatan saat ini yaitu blok Amerika dan sekutunya Eropa Barat, blok Rusia dan kawan-kawannya pasca-Glasnost, serta China dengan perkembangan ekonominya pasca-Deng Xiaoping. Apalagi kekuatan-kekuatan ekonomi “baru” pascaperang dunia II yaitu Jepang, India, dan Korea masuk dalam kancah perebutan pasar jualnya.

Mengapa konsep nonblok dalam bahasa politik luar negeri “bebas-aktif” tahan dan cemerlang sebagai prinsip berelasi internasional dengan negara-negara lain? Karena pikiran budi jernih pendiri bangsa menempatkan pikiran sebagai pelita hati (ungkapan teks kebijaksanaan hidup negeri ini dalam ekspresi pepatah peribahasa).

Yang berarti pertimbangan budi akal sehat dengan hening menimbang realitas peta dunia diproses pertama-tama dalam kepentingan bangsa Indonesia yaitu agar bangsa ini terus berdaulat lantaran rakyatnya berada dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa yang salah satunya melalui pendidikan. Kepentingan bangsa yang cerdas dan berdaulat menjadi batu penjuru tatkala berhadapan dengan persaingan dan konflik- konflik kepentingan lain yang beragam dan bineka.

Seakan kepentingan mewujudkan kehidupan bangsa dalam ungkapan manusia-manusia Indonesia yang merdeka berdaulat berprinsip dan tidak menggadaikan diri bahkan tega melacur diri untuk keuntungan-keuntungannya saat dirayu oleh kolonialis-kolonialis “wajah baru”. Para kolonialis wajah baru ini hadir dalam aktivitas pengerukan hasil bumi tambang sampai hasil laut, bahkan yang dikandung Tanah Air sebagai Bumi Pertiwi.

Pandangan sudah dirumus tegas-tegas oleh pendiri bangsa untuk generasi ke generasi dalam bahasa konstitusi yaitu kekayaan alam dan kandungan Tanah Air digarap demi sebesar-besarnya kemakmuran dan sejahteranya rakyat. Dalam bahasa cultural studies dan logika kebudayaan sebagai ranah nilai alias yang dihayati dan dikonsepkan sebagai yang berharga dalam kehidupan ini, pikiran mendasar para pendiri bangsa di atas merupakan “teks”.

Artinya, hasil pertimbangan dari proses diskresi budi dan nurani yang lama, yang selalu harus memilih pertimbangan yang benar ketika kepentingan pendek, praktis, pragmatis, teknis yang menjanjikan hasil guna dan manfaat besar, tetapi hanya untuk segelintir pengambil putusan sedangkan untuk kemaslahatan sejahtera rakyat banyak “kalah”.

Di sini “teks” menjadi bahasa rumus prinsip yang benar dari kehidupan, yang baik, yang suci, dan yang indah sehingga manakala “teks” nonblok dan bebas aktif dilanjutkan oleh pemerintah-pemerintah RI pascagenerasi pendiri bangsa di sana bisa dievaluasi sebagai langkah-langkah kontekstualisasi.

Jujur dalam membaca kontekstualisasi dari “teks”, kita pernah melupakan nonblok kita dan memilih salah satu superpower dari yang kini untunglah kita siuman sadar kembali untuk kembali ke “teks” dasar para pendiri bangsa kita. Dengan begitu, tanah dan air yang berarti daratan pulau dan lautan disadari paradigma pikirannya sebagai lautan di dalamnya bertaburan pulau-pulau kita sehingga lautan (baca: maritim)-lah penyambung Nusantara menjadi Indonesia.

Seandainya proses membuat pertimbangan atau diskresi konsisten mengikuti prinsip musyawarah untuk mufakat sebagaimana tertulis sebagai “teks” oleh para pendiri bangsa dalam dasar negara berpancasila. Teks itu lahir karena mereka “jenius” membaca jernih dengan budi dan hening nurani bahwa bangsa majemuk suku, beragam kekayaan religi, berbineka pikiran bijaksana mengenai refleksi-refleksi lokal kehidupan ini tidak bisa memutuskan sebuah keputusan yang mendengarkan keragaman dan kebinekaan itu tanpa cara diskresi musyawarah!

Tidak bisa dipercepat atas nama efisiensi dengan kalah dan menang sebagai kalkulasi putusan. Mengapa kita dalam tahap-tahap kontekstualisasi (baca: melaksanakan “teks” diskresi musyawarah mufakat) lalu mengadopsi yang dianggap bernilai dan berharga dengan dalih “demokrasi” melalui voting yang mayoritas menang lalu yang minoritas kalah?

Kelirukah cara menimbang kita dalam membaca esensi kemajemukan bangsa ini lalu dijalan pintasi dengan menang dan kalah lewat voting? Ruang musyawarah mensyaratkan kesediaan rendah hati menaruh diri untuk mendengarkan posisi-posisi lawan maupun kawan. Ruang ini dengan rendah hati harus dibersihkan dahulu dari pertimbangan like and dislike, senang atau benci.

Ia ruang bermusyawarah yang belajar dari kenyataan lapangan, menaruh diri para posisi yang diperjuangkan yaitu kepentingan bersama, kesejahteraan publik. Saat mufakat diambil, ia harus diproses tidak dalam kalkulasi menang-menangan, tetapi terbaik untuk semuanya.

Di sinilah muncul dua dilema apabila kontras antarnilai ditimbang seakan-akan tidak bisa dipilih. Itu terungkap dalam buah simalakama yaitu memilih yang satu akan mati ibu, sedangkan bila memilih yang kedua akan matiayah. Maka harus berani masuk ke pertimbangan “minus malum“ sebagai dilema yang memperhadapkan antara pilihan yang buruk dan pilihan yang “lebih buruk”.

Itulah proses musyawarah mufakat harus mengambil keputusan untuk yang dampak negatifnya lebih kecil atau paling kecil dibandingkan yang buruk lain. Minus malum, harfiahnya adalah mengambil jeleknya (=malum) paling minus atau paling sedikit.

Seandainya “teks” menimbang dalam “konteks” pelaksanaannya disadari bersama harus diproses pertimbangan budi dan diskresi “nurani”. Syaratnya adalah mau rendah hati memprosesnya melalui blusukan sejati untuk mendengar pertimbangan-pertimbangan. Selain itu perlu paham prosedur serta tata cara sebuah wewenang atau kekuasaan yang harusnya melayani namun di kebanyakan orang kita yang feodalistik dan berperilaku tuan dan bos begitu jadi pemimpin atau pimpinan apa pun tanpa kecuali.

Jika kesemuanya tak dijalani, lalu yang terjadi adalah dua gejala sama-sama keliru, namun nyata. Pertama, langsung melintasi hierarki yang ada dengan cara bypass dengan alasan mempercepat hasil putusan. Akibatnya yang merasa tidak dimintai permisi (dikulonuwuni) akan tersinggung Sementara yang kedua, mereka- merekayangberlindungdibalik baju feodalisme prosedural akan menggugat atas nama formalismetatacara yangdilupakan bahwa ini media atau sarana dan bukan substansi atau tujuan.

Namun, keduanya sama-sama keliru lantaran “payung” (baca: ruang pertimbangan) seharusnya adalah bersama-sama bermusyawarah, berkomunikasi. Tetapi, bukanlah antar kita justru berkomunikasi antarsesama warga bangsa ini yang sedang krisis “trust“: sukar untuk saling mempercayai, apalagi ranah politik sebagai kontekstualisasi.

Teks musyawarah itu sekarang ini punya indikasi tunaetika apalagi moralitas pengguna politik untuk kesejahteraan bersama. Apalagi “rekrutmen” partai politik antara mereka-mereka yang masih negarawan seperti para pendiri bangsa dan mereka yang cari kuasa, kedudukan, dan cari makan tampil palsu dan keruh di layar selubung eksotisme visualisasi rebutan selfie panggung pencitraan-pencitraan.

Padahal dalam bahasa hukum sumpah jabatan atau keputusan-keputusan pengadilan dan bahkan keputusan tour of duty di sana ada rumusan kontekstual jelas-jelas yaitu: ”menimbang, mempelajari, lalu memutuskan”.

Seandainya tulisan berjudul ”seandainya” ini sudi dibaca dengan hati dan budi jernih, pastilah proses menegara dan membangsa Indonesia akan selangkah demi selangkah mewujud sebagai berdaulat dan berperadaban?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar