Jumat, 06 Februari 2015

Kembalikan Ruh Perjuangan HMI

Kembalikan Ruh Perjuangan HMI

Azhar Kahfi  ;  Ketua Bidang PTKP PB HMI
KORAN SINDO, 05 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

“Kegagalan HMI kegagalan satu generasi, keberhasilan HMI keberhasilan satu generasi”. (Ahmad Wahib) Di Milad Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ke-68 tahun ini, penting mengetengahkan kegelisahan Ahmad Wahib tersebut.

Maknanya, HMI sebagai representasi gerakan kaum menengah intelektual merupakan alat perjuangan. Namun, alat itu kini sudah mulai tumpul bersamaan dengan dominasi warna politik di HMI dan hampir semua gerakan mahasiswa dan pemuda lainnya. Musti diakui, gerakan mahasiswa dan pemuda pasca 1998 telah kehilangan ruh perjuangannya.

Idealisme ekstraparlementer, gerakan politik moral, dan produktivitas intelektual kini hanya mampu diwiridkan tanpa pernah hidup di dalam sanubari anak negeri. Inilah yang terjadi pada para kader HMI dan mayoritas gerakan pemuda di negeri ini. Mahasiswa dan pemuda yang semestinya mengambil peran kepeloporan, seolah kehilangan keberdayaannya. Di tengah kelesuan gerakan HMI, kita merindukan gagasan visioner baru yang kontekstual dengan kondisi kebangsaan saat ini.

Sudah waktunya mengembalikan HMI sebagai sentrum gerakan pencerahan dan laboratorium intelektual demi melahirkan pemimpin muda yang visioner, bermoral, danberintegritas. Sebuah investasi kepemimpinan bangsa di masa depan. Mari sejenak berkontemplasi. Luruhnya ruh perjuangan dan peran kepeloporan HMI setidaknya dapat dinapaktilasi dari tiga indikator.

Pertama, pascagerakan reformasi 1998, HMI, dan mayoritas organisasi pemuda mengalami antiklimaks. Beragam action, semisal demonstrasi, tak lagi murni mencerminkan kepentingan rakyat, melainkan lebih diwarnai oleh rekayasa pesanan politik. Gerakan mahasiswa dan pemuda kerap mengatasnamakan perjuangan hak rakyat, namun rakyat tidak pernah merasa diperjuangkan hakhaknya.

Di satu sisi, HMI dan gerakan pemuda lebih mengandalkan hadirnya musuh bersama (common enemy) di domain kekuasaan secara oposisional, ketimbang mengusung cita-cita bersama secara konstruksional. Nah, pada saat siklus kekuasaan berubah dari sentralisme menuju desentralisme, pola gerakan HMI pun ikut berubah mengikuti peta fragmentasi kekuasaan. Akibatnya terjadi bias arah perjuangan.

Di sisi lain, tingginya libido politik praktis seolah menjadi wabah yang tak terelakkan dari jantung organisasi HMI sehingga orientasi organisatoris kian pragmatis dan kehilangan independensi karena larut di arus besar permainan politik (political mainstream). Itu terbukti dari kecenderungan perpecahan (mufaraqah) organisatoris yang dipantik oleh momentum peralihan kekuasaan (politik internal organisasi). Kelompok yang kalah biasanya tidak mau menerima secara fair kekalahannya.

Sebaliknya kelompok yang menang tidak mau mengakomodasi kelompok kalah karena aspek rivalitas. Ujungnya, terjadi perpecahan di mana masing-masing top leader berebut legitimasi kekuasaan. Kedua, aktivitas kajian strategis- konseptual, penyamaan isu maupun pemetaan potensi kader kian jarang dilakukan, kecuali hanya untuk menyangga kebutuhan struktural dan jauh dari dimensi substansial.

Kader HMI saat ini lebih nyaman memilih pola pikir instan, ketimbang rumusan programatik yang dianggap terlampau rumit dan bertele-tele. Maka wajar bila capaian gerakan kita hanya sebatas tujuan “antara”. Artinya, kita piawai menggoyang ataupun menurunkan sebuah rezim kuasa. Namun, tidak siap dengan grand design konsep restrukturisasi pasca runtuhnya rezim.

Pola gerakan yang digunakan lebih bersifat konfrontatif, ketimbang diplomatis. Semestinya pola diplomasi dengan menyodorkan desain konsep dapat berimplikasi lebih sistemik daripada harus selalu berkonfrontasi. Ketiga, HMI dan organisasi pemuda sebagai entitas menengah intelektual belum mampu memfungsikan diri sebagai jembatan yang menyambungkan jurang kesenjangan antara rakyat (grassroots) dengan elite.

 Kita seolah lebih nyaman menjadi komunitas eksklusif yang terpisah dari grassroots. Sebaliknya, kita kerap berposisi “butuh” kepada elite. Tidak terjadi relasi yang integrated individual and community level empowerment, sebagaimana dipesankan Louise Jennings dalam Toward a Critical Social Theory of Youth Empowerment.

Semangat Zaman HMI

Ada tiga hal yang melatarbelakangi berdirinya HMI, yakni dunia Islam, kebangsaan, dan kemahasiswaan. Tiga ladang pengabdian ini senyatanya belumlah digarap secara maksimal. Kondisi dunia Islam, sebagaimana diketahui, hingga kini masih diselimuti awan kegelapan. Terorisme berbasis agama tumbuh bak cendawan di musim penghujan. Paham antipluralisme merebak di mana-mana dan siap mengoyak keragaman yang sudah sekian lama terajut di negeri ini.

Di titik ini, HMI musti berada di garis depan mencegah munculnya virus-virus kedengkian yang dibalut ajaran dan dogma agama. Nilai-nilai Islam inklusif, toleran, dan humanis niscaya di-landing-kan dalam kenyataan berbangsa dan bernegara. Pada kondisi kebangsaan kita saat ini, perilaku korupsi mewabah dari pusat hingga daerah.

Ini menyebabkan proses pembangunan menjadi terhambat karena dikemplangnya kekayaan negara oleh segelintir elite negeri ini. Mereka memperkaya diri secara membabi buta tanpa menyadari bahwa ada hak orang lain yang dirampasnya. HMI seharusnya mengambil kembali semangat perjuangan yang dulu pernah dilakukan di masa kemerdekaan. Sementara kondisi kemahasiswaan Indonesia saat ini masih dibelit krisis identitas.

Mahasiswa hari ini cenderung bergaya hidup hedonistis akibat infiltrasi globalisasi melalui alat teknologi informasi dan komunikasi. Mengambil kembali kendali nilai intelektualitas yang selama ini menjadi ciri khas HMI, tidaklah bisa ditawar sebab keberadaannya inheren dalam diri seorang kader HMI. Mengutip apa yang pernah dituturkan Cak Nur, “HMI adalah organisasi elite.” Elite bagi Cak Nur bermakna kualitas intelektual individu dan kolektif berada di atas rata-rata kemampuan kader organisasi mahasiswa dan kepemudaan secara umum.

Dengan kemampuan intelektual, kader HMI mampu membaca tanda-tanda perubahan zaman yang semakin bergerak maju. Ia juga harus mampu menganalisis apa yang akan menjadi tantangan ke depan untuk kemudian mempersiapkannya. Apalagi saat ini era pasar bebas sudah dimulai dengan dicanangkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Yang diperdagangkan tak hanya barang dan jasa, tapi juga tenaga kerja. Jangan sampai HMI menjadi beban sejarah bangsa ini.

Dengan jumlah anggota tersebar di berbagai pelosok di Indonesia, peran HMI sebagai motor penggerak pembangunan bangsa harus dibangkitkan kembali. Menjelang satu abad Indonesia, ruh perjuangan dan kiprah intelektualisme HMI musti dikibarkan!! ?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar