Sabtu, 07 Februari 2015

Raja Abdullah dan Dialog

Raja Abdullah dan Dialog

Hajriyanto Y Thohari  ;  Wakil Ketua MPR Periode 2009-2014
REPUBLIKA, 06 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Wafatnya Raja Abdullah bin Abdulazis al-Saud (23 Januari 2015) ternyata menjadi momentum bagi orang-orang yang kritis untuk mengekspresikan kritisismenya terhadap Kerajaan Arab Saudi (al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah). Kritik tersebut berkisar pada persoalan demokrasi, hak-hak sipil, hak perempuan, dan kebebasan beragama.

Tetapi, kritik dan kecaman yang paling keras datang dari kalangan Islam sendiri dan itu terkait dengan paham (keagamaan) Wahabiyah (wahabisme) yang kaku, ortodoks, dan konservatif yang katanya dianut secara resmi oleh kerajaan ini. Berdirinya Kerajaan Arab Saudi yang meliputi daerah Najd, Hijaz, dan sekitarnya, termasuk Makkah dan Madinah,ring semakin merosotnya kekuasaan Ottoman Empire yang legendaris itu, memang hasil aliansi atau kolaborasi antara Muhammad Ibn Saud (wafat 1765) pemimpin klan Saudi dan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792), pemimpin aliran Wahabi.

Meski tidak tertulis dalam konstitusi, Kerajaan Arab Saudi memang menganut paham Wahabi, paham yang mengajarkan kemurnian tauhid secara ketat, semacam monoteisme yang tanpa kompromi. Paham keagamaan ini mengajarkan gerakan pemurnian kepercayaan (akidah) dan amalan yang dianggap mengotori ketauhidan, seperti takhayul, bid’ah, dan khurafat.

Mungkin dalam kerangka paham ini segala yang dalam perspektif Wahabisme dipandang berpotensi menjurus pada kemusyrikan, seperti kuburan para wali atau tokoh tarekat dan objek lain yang selama ini dikeramatkan, bahkan tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW, dihancurkan. Lihat saja prosesi pemakaman Raja Abdullah, Jumat 23 Januari 2015: begitu sederhana, tanpa peti jenazah. Nyaris tanpa upacara kecuali shalat jenazah di masjid di Kota Riyadh, tanpa tangisan, dan kuburannya pun tanpa nisan, apalagi bangunan semacam cungkup seperti yang kita kenal!

Oleh para pengkritiknya, Wahabisme dikatakan sebagai aliran keagamaan yang rigid, radikal, dan keras yang selama ini telah membantu (politik dan finansial) gerakan puritanisme radikal yang menjadi cikal gerakan intoleransi di berbagai penjuru dunia. Paham inilah yang mengilhami gerakan Padri di Sumatra Barat, seperti yang digambarkan Mohammad Hatta dalam Memoir-nya (1979) bahwa Perang Padri (1920-an) bermula dari pendukung aliran wahabi yang ingin memurnikan ajaran Islam dari bid’ah, takhayul, khurafat, dan unsur non-Islam lainnya.

Hatta menulis, "Perang Padri berasal dari pertentangan antara kaum adat dan kaum agama. Guru-guru agama yang baru kembali dari Makkah yang terpengaruh di sana dengan sikap keras dan murni kaum Wahabi, mau membersihkan agama Islam di Minangkabau dari berbagai perbuatan yang diadatkan, seperti mengadu ayam, makan sirih, dan mengisap cerutu.” (Memoir, Tintamas, Jakarta, 1979, halaman 1).

Saya tidak akan membahas kritik tersebut. Saya hanya ingin menunjukkan sisi lain dari Arab Saudi yang harus dicatat. Di samping menyebarkan pahamnya dan memberikan bantuan pendidikan, pendirian masjid-masjid, Alquran dan terjemahannya, dan kitab-kitab lainya kepada umat Islam di banyak negara, Kerajaan Arab Saudi mulai sejak di bawah kepemimpinan Raja Abdullah banyak mengampanyekan dan bahkan mensponsori kegiatan dialog antaraagama dan peradaban, baik intern Islam maupun antara Islam-Barat. Dalam perspektif ini Raja Abdullah telah memulai langkah yang sangat historis.

Keterlibatan aktif Arab Saudi sebagai negara ini sungguh sangat fenomenal dan menarik dikaji. Dialog antaragama yang banyak digelar sejak dekade 1970-an biasanya, pertama, diprakarsai masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan kedua, Arab Saudi, baik elemen-elemen masyarakatnya maupun apalagi negara, tidak pernah ikut berpartisipasi di dalamnya. Ada kesan, benar atau salah, Arab Saudi enggan terlibat dalam forum-forum dialog antaragama.

Tetapi, sejak memimpin Kerajaan Arab Saudi (2005), Raja Abdullah menyeruak ke depan dengan penuh antusiasme bukan hanya sekadar hadir berpartisipasi, melainkan mengambil prakarsa menggelar dialog agama. Raja Abdullah bin Abdul Azis setelah pada 2007 secara mengejutkan melakukan kunjungan resmi ke Vatikan, pusat Katolikisme dunia, dan berdialog dengan Paus Benediktus XVI (bayangkan dua pihak yang sama-sama konservatif bertemu), Sang Raja kemudian memelopori Alliance of Civilization First Forum (2008) di Madrid, Spanyol, yang diikuti pemimpin-pemimpin agama dunia.

Raja Abdullah juga menggandeng para ulama Suni dan Syi’ah ke Majelis Dialog di Makkah (Maret 2008). Dialog Suni-Syi’i ini sangat relevan, penting, dan strategis oleh karena pascainvasi AS di Irak hubungan kedua aliran teologi Islam ini penuh ketegangan dan sarat dengan kesalahpahaman. Bahkan, konflik-konflik sektarian terus saja terjadi di berbagai kawasan Timur Tengah. Betapa pentingnya Majelis Dialog ini terlebih lagi ketika rivalitas politik yang sektarianistik ini terus berlangsung di dunia Islam sampai hari ini.

Selanjutnya, dengan kewibawaan agama, politik, dan ekonomi yang dimilikinya, Raja Abdullah juga berhasil dengan gemilang mensponsori the UN General Assembly Special Session for the Interfaith Dialogue (2008) di markas besar PBB, New York. Dia bukan hanya bertindak sebagai sponsor yang mendanai, tapi juga menunggui sidang-sidang yang berlangsung dua hari itu dari awal sampai akhir. Sidang dengan sesi dialog interfaith ini menghadirkan 54 kepala negara, termasuk Amerika Serikat, dan tokoh-tokoh dunia.

Pada 2012, dia mendirikan the King Abdullah bin Abdulazis Centre for Intereligious and Intercultural Dialogue yang diresmikan di Wina, bekerja sama dengan Raja Spanyol dan Austria. Dalam salah satu pidatonya sebagai keynote speech, Raja Abdullah mengatakan, "Our concerns for the dialogue stems from our Islamic faith and values, and our compassion for the human condition in order to overcome its miseries. We will continue what we have commenced, extending our hand to all those advocating peace, justice and tolerance."

Adalah peristiwa yang sangat fenomenal seorang Wahabi puritan yang sering dituding secara sepihak sebagai pendukung ideologi Islam garis keras mempromosikan dialog antaragama. Dengan prakarsa Kerajaaan Arab Saudi dialog antaragama kini mendapatkan bentuk dan momentum baru: menegara! Moderasi dan mediasi dalam bentuk dialog bukan hanya telah menjadi pilihan masyarakat, melainkan juga negara seluruhnya.

Pandangan bahwa kita hidup dalam satu dunia: "satu kemanusiaan, satu nasib, dan satu tanggung jawab" ini membawa hadirnya kesadaran bahwa benturan peradaban bukanlah masa depan. Pilihan bagi kita umat manusia tidak banyak.

Raja Saudi yang --orang boleh suka atau tidak-- mengklaim sebagai "penjaga dua Tanah Haram" (khodimu l-haramayn), memandang penting jalan dialog untuk mengikis tembok prasangka dengan memilih jalan dialog antaragama. Sebuah fenomena baru dan sekaligus momentum baru untuk perdamaian dunia! Kini suksesor almarhum Raja Abdullah, Raja Salman bin Abdul Azis, dengan segala kewibawaannya, diharapkan melanjutkan langkah-langkah indah mendiang pendahulunya itu. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar