Selasa, 10 Februari 2015

Pusingnya Urus Air di DKI Jakarta

Pusingnya Urus Air di DKI Jakarta

Agus Pambagio   ;   Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
DETIKNEWS, 09 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Pada tanggal 15 Oktober 2012 pasangan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), resmi dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Berbagai gebrakan dilakukan tetapi tidak semua bisa berjalan dengan baik karena kebijakannya melibatkan Pemerintah Daerah lain dan atau Pemerintah Pusat, contohnya pelayanan transportasi umum dan air minum/bersih.

Kedua pelayanan umum tersebut merupakan dua jenis pelayanan publik yang saat ini sangat diperlukan warga Jakarta dan belum dapat dibereskan oleh Gubernur DKI Jakarta dan pasangannya, meskipun sudah berganti pejabatnya, bukan lagi Jokowi-Ahok tetapi Ahok-Djarot.

Kali ini kita hanya membahas masalah air minum/bersih. Air minum/bersih yang pada awalnya dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sekarang bernama PAM Jaya, pada akhir tahun 90 an (masih di era Orde Baru) diserahkan kepada 2 operator air asing kelas dunia untuk memperbaiki pelayanan air minum/bersih di Jakarta. Selain air minum/bersih, air tanah juga bermasalah di DKI Jakarta.

Berhubung kerjasama antara kedua operator swasta dengan PAM Jaya ini cacat sejak lahir serta persoalan air baku semakin kritis, maka perjalanan kedua operator swasta kelas dunia ini tidak mulus dalam penyediaan air minum/bersih untuk warga Jakarta. Akhirnya kedua operator tersebut selalu menjadi bulan-bulanan publik dan Pemprov DKI Jakarta hingga saat ini .

Kondisi pelayanan air minum/bersih yang buruk sejak puluhan tahun lalu, membuat sebagian besar masyarakat DKI Jakarta (rumah tangga, bisnis dan industri) mengeksploitasi air tanah secara membabi buta tanpa bisa di cegah oleh Pemprov DKI Jakarta, padahal peraturan perundang undangannya, baik di tingkat pusat maupun Pemprov DKI, cukup lengkap.

Jadi jangan heran kalau warga DKI Jakarta akan terus mengeksploitasi air tanah, jika pelayanan air minum/bersih tak kunjung memenuhi harapan warga DKI Jakarta. Mereka tidak peduli permukaan air tanah Jakarta semakin turun dan air laut merembes semakin jauh ke kawasan pusat kota. Yang penting kebutuhan air minum/bersih terpenuhi. Apa tindakan atau langkah Pemprov DKI Jakarta menghadapi persoalan ini ? Mari kita diskusikan singkat berikut ini.

Persoalan Mendasar

 Sejauh ini publik yang mengeksploitasi air tanah secara membabi buta dan gratis, tidak hanya kalangan rumah tangga tetapi juga kalangan bisnis (hotel, mal, rumah sakit, perkantoran dsb) serta industri tanpa Negara atau Pemerintah Provinsi mendapatkan penghasilan dari eksploitasi air tanah ini. Sementara Negara harus menanggung kerusakan lingkungannya.

Secara hukum persoalan air tanah sudah lengkap diatur, antara lain: UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah, Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air, Peraturan Menteri ESDM No. 15 Tahun 2012 Tentang Penghematan Penggunaan Air Tanah dan sebagainya.

Pemprov DKI Jakarta sendiri juga sudah cukup mempunyai aturan yang terkait dengan penggunaan dan pengambilan air tanah, antara lain: Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Ibu Kota Jakarta No. 17 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah serta Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 86 Tahun 2012 Tentang Nilai Perolehan Air Tanah Sebagai Pengenaan Pajak Air Tanah.

Jadi baik secara nasional maupun kota, persoalan air tanah sudah diatur dengan baik, namun kenyataannya Pemerintah Propinsi DKI Jakarta tidak sanggup melaksanakan perintah perundang undangan yang mereka buat sendiri terkait dengan eksploitasi air tanah. Jadi pelaksanaan atau sanksi hukumnya masih nol besar.

Eksploitasi air tanah tidak bisa dikontrol atau dihentikan oleh Pemprov DKI Jakarta jika pelayanan air minum/bersih belum mencakup seluruh wilayah DKI Jakarta. Pelayanan air minum/bersih belum bisa optimal ketika ketersediaan air baku tersendat (dari sisi volume dan kualitas) dan pencurian air melalui pipa (non revenue water masih sekitar 50%) belum bisa diberantas oleh Pemprov DKI Jakarta bersama aparat Kepolisian.

Bagaimana bisa aparat Kepolisian bersama Pemprov DKI Jakarta bertekuk lutut pada 'Preman atau Mafia Air Minum'? Bagaimana bisa pencurian air yang dilakukan secara terang-terangan didepan mata telanjang kita tidak bisa diberantas oleh Gubernur dan Kapolda? Bagaimana bisa tanggungjawab penanggulangan pencurian air ini dibebankan pada 2 operator air swasta dan PAM Jaya yang tidak punya 'pistol'? Persoalan ini harus bisa dijawab oleh Gubernur terlebih dahulu.

Air bisa menjadi penyebab perang saudara di manapun ketika air minum/bersih menjadi langka. Sayangnya untuk wilayah DKI Jakarta, meski sudah berganti Gubernur puluhan kali, tetap saja air disepelekan. Termasuk oleh Gubernur Ahok. Akibatnya muncul gugatan publik atau Citizen Law Suit (CLS) yang dikoordinasikan oleh teman-teman LSM. Meskipun CLS baik, tetapi saya jamin tidak akan memperbaiki kondisi air minum/bersih di Jakarta karena di CLS tidak menyinggung 2 hal penting, yaitu kebocoran air minum/bersih dan ketersediaan air baku.

Langkah yang Harus Diambil Gubernur

Pastikan aparat Pemprov DKI Jakarta yang berwenang bersama POLRI memberantas seluruh pencurian air minum/bersih yang selama ini berlangsung tanpa pandang bulu siapa yang mencuri, supaya NRW tidak lebih dari 10%. Siapapun operator air minum/bersih di DKI Jakarta (baik PAM Jaya maupun swasta) akan mengalami permasalahan yang sama jika kedua hal tersebut diatas masih terus berlangsung.

Gubernur DKI Jakarta harus segera memastikan asal sumber air baku untuk seluruh wilayah DKI Jakarta, termasuk infrastruktur untuk membawanya sampai ke unit pengolahan air minum/bersih milik operator yang ada di Jakarta (misalnya Pejompongan dan Buaran). Jangan hanya marah-marah tidak 'puguh' (jelas) dan berwacana saja.

Jika masalah air minum/bersih belum selesai ditanggulangi, jangan pernah bermimpi warga DKI Jakarta akan berhenti mengambil air tanah. Warga perlu air untuk hidup. Begitupula dengan dunia usaha dan industri. Semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan air tanah, termasuk pengenaan denda, tidak akan bisa efektif diterapkann ketika persoalan air minum/bersih belum selesai.

Sebagai penutup, koordinasi antar Pemerintah Daerah se-Jabodetabek dan Pemerintah Pusat harus baik terkait dengan infrastruktur sumber daya air, termasuk sumber air baku harus baik. Sebelum hal itu beres jangan harap Pemprov bisa mengontrol eksploitasi air tanah. Gubernur DKI Jakarta sekarang harus segera action karena yang berwacana dan berpikir sudah dilakukan oleh beberapa Gubernur sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar