Selasa, 10 Februari 2015

Apa Kegunaan Mendasar Ilmu Sosial?

Apa Kegunaan Mendasar Ilmu Sosial?

Muhammad Ridha   ;   Dosen Teori Sosiologi Modern dan Postmodern,
Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar
INDOPROGRESS, 09 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

TULISAN kecil ini sengaja dimulai dari sebuah pertanyaan tentang kegunaan mendasar ilmu sosial (termasuk juga ilmu-ilmu keagamaan). Kenapa? Ada dua alasan yang ingin dikemukakan di sini. Pertama, karena telah kita lihat bahwa kesalahan membangun abstraksi-abstraksi dan hukum-hukum dunia sosial telah membawa petaka bagi kehidupan sosial, yang di dalamnya relasi-relasi sosial kemanusiaan kita telah dihancurkan. Bahwa ilmuwan sosial kita yang teramat percaya pada kapitalisme, baik sebagai basis ilmu maupun sebagai kebijakan, dan seluruh instrumen pembangunnya, seperti industri media, ‘pengetahuan sosial untuk pengetahuan sosial’ dan logika kesejahteraan yang sesat, telah menyebabkan hancurnya relasi-relasi sosial produktif masyarakat.

Pandangan ini terutama dikemukakan oleh konstruksionisme sosial bahwa latar belakang sebuah ‘pengetahuan sosial’ berfungsi mendefinisikan dan membangun makna dalam kehidupan sosial. Konstruksionisme sosial ini bisa dilihat pada bidang analisis wacana dan psikologi sosial. Foucault, misalnya, penganut konstruksionisme sosial umum yang menyatakan bahwa pengetahuan bukanlah sekedar refleksi atas realitas, kebenaran merupakan konstruksi kewacanaan dan rezim pengetahuan yang berbeda menentukan apa yang benar dan yang salah. Dalam terminologi Foucault (Marianne W Jurgensen dan Luise J Philips: 2009, 24), ada kedekatan antara pengetahuan dan kekuasaan. Baginya, dalam kekuasaan dan pengetahuan itulah dunia sosial dihasilkan dan objek-objek dipisahkan satu sama lain, dan dengan demikian mencapai karakteristik-karakteristik individu dan hubungan-hubungannya satu sama lain.

Kedua, ilmu sosial meniscayakan sebuah metode yang digunakannnya dalam merumuskan dan memberi defenisi dalam hukum-hukum sosial tersebut. Metode atau cara-baca ilmu sosial itu sangat menentukan tesis tentang kehidupan sosial. Bagi Hegel (Marx: Kemiskinan Filsafat; 2004, 112), metode adalah kekuatan yang mutlak, tiada duanya (unik), tertinggi, tak terhingga yang tidak dapat dilawan oleh objek apapun juga; kecenderungan nalar untuk untuk mendapatkan dirinya kembali, mengenal dirinya sendiri dalam setiap objek. Metode ilmu sosial menentukan hasil dan abstraksi mengenai kehidupan sosial yang menjadi bidang penelitiannya. Adalah hal mendasar bahwa metode ilmu sosial menentukan abstraksi-abstraksi yang tepat.

Konteksnya di Indonesia

Kedua asumsi di atas akan coba dikorelasikan dengan konteks ilmu sosial dan kehidupan sosial di Indonesia. Konteks pertama. Dalam tulisannya, Menggugat Otoriterisme Di Asia Tenggara Perbandingan dan Pertautan antara Indonesia dan Malaysia, mengenai kelas menengah di Indonesia dan Malaysia, Ariel Heryanto (2004) mengemukakan sejumlah pandangan dari teoritisi sosial mengenai terminologi kelas menengah yang sulit dirumuskan. Salah satu pandangan yang dikemukakan Heryanto adalah pandangan yang menganggap nihilnya kelas menengah di Indonesia. Nihilnya kelas menengah di Indonesia, menurut pandangan ini, disebabkan oleh kuatnya wacana anti komunisme akibat perang dingin dan terutama ‘empirisisme dosis tinggi’ dalam ilmu sosial di Indonesia. ‘Wacana anti komunisme, yang begitu dominan di kawasan ini selama perang dingin, telah ikut bertanggung jawab atas miskinnya analisis kelas dalam kajian Indonesia dan Malaysia dewasa ini. Situasi ini antara lain akibat dominasi empirisisme berdosis tinggi dalam ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan di Amerika Serikat sesudah perang dunia ke-II’, demikian tulisnya. Setidaknya ada dua inti pernyataan yang dikemukakan yang menyebabkan nihilnya kelas menengah di Indonesia dalam catatan Heryanto di atas: ‘wacana anti komunisme yang demikian kuat’ dan ‘empirisisme berdosis tinggi dalam ilmu sosial di Indonesia’.

Wacana anti komunisme memang dibangun dengan kuat oleh Negara, terutama di Indonesia, setelah penumpasan gerakan ini pada paruh kedua tahun 60-an. Ini kemudian dijadikan musuh bersama oleh 32 tahun rezim Soeharto yang menyebabkan, meminjam Hilmar Farid, ‘menghilangnya analisis kelas di Indonesia’. Sementara untuk asumsi mengenai ‘empirisisme dosis tinggi dalam ilmu sosial’ bermaksud menjelaskan apa? Dalam tulisan ini, Heryanto tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Tapi dapat ditangkap di sini bahwa Heryanto menanggapi gejala ilmu sosial di Indonesia yang makin positivis, bahwa empirisisme adalah ideologi ilmu pengetahuan yang berpusat pada positivisme. Hal ini seperti dikembangkan kelompok Wina mengenai ilmu sosial yang objektif, yang mengandaikan ilmu sosial sebagai ‘objektif’ dan berjarak dari kepentingan manusia. Ilmu pengetahuan, yang diklaim, untuk ilmu pengetahuan itu sendiri, tanpa tendensi dan tanpa ‘subjek’ di dalamnya. Ilmuwan sosial dan politik Barat dari kubu liberal sendiri sebenarnya, dalam analisa Simon Philpot dalam buku Meruntuhkan Indonesia Politik Postkolonial dan Otoritariansme (2007: 25), sudah mengukuhkan klaim Heryanto mengenai pengakuan ilmuwan tersebut bahwa studinya di Asia Tenggara dan terkhusus di Indonesia adalah kategori-kategori analisis yang bersifat netral, objektif, accessible dalam menjelaskan masyarakat yang dikajinya’. Hal ini menunjukkan ilmu sosial konteks Indonesia, baik yang dilakukan Barat maupun ilmuwan sosial Indonesia sendiri berlumur ideologi positivis. Dalam penjelasan Fransisco Budi Hardiman dalam Kritik Ideologi Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (1990; 29) mengenai ilmu sosial yang diusung oleh kelompok positivis, merupakan negasi terhadap tendensi subjek dalam kajian ilmu sosial tersebut. Dalam artian, ilmu pengetahuan sosial ‘objektif yang dikembangkan oleh mashab Wina ini, adalah ilmu sosial yang mengembangkan pengetahuan sosial sebagai pengetahuan itu sendiri dan abai terhadap realitas yang dikajinya. Konsepsi inilah yang ditentang oleh mashab Frankfurt yang mengembangkan teori kritik.

Ilmu sosial yang ‘objektif’ inilah yang menjadi ideologi dasar pengembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia selama kekuasaan Orde Baru. Baru saat reformasi bermunculan studi-studi dan pendekatan ilmu sosial yang lebih kritis dan emansipatif. Hal ini terlihat didorong oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat, yang di dalamnya berkecimpung ilmuwan dan aktivis sosial yang peduli pada konteks sosial yang sementara mereka hadapi. Untuk konteks ini beberapa LSM seperti INSIST, LBH, WALHI, JATAM, AMAN, Sayogyo Institute, SPP dan yang lainnya telah mendorong diskursus kritis dalam ilmu sosial di Indonesia. Meskipun dorongan ini belumlah cukup kuat untuk menggoyang dominasi positivism dalam ilmu sosial Indonesia, namun cukup memberi dorongan lahirnya pandangan kritis dan transformasi sosial di Indonesia.

Konteks kedua, mengenai metodologi. Metodologi d isini dipadang secara luas sebagai pendekatan-pendekatan dan carabaca ilmuwan sosial dan ilmu-ilmu sosial dalam mendekati masalah yang diteliti. Metode ini akan menentukan abstraksi-abstraksi tentang dunia sosial. Bagaimana metode positifis menentukan dan merumuskan sebuah analisis sosial dan bagaimana mashab kritis merumuskan analisa terhadap sebuah konstruksi sosial.

Sikap positivis yang dianut oleh ilmu-ilmu sosial mengandung pengandaian yang saling berkaitan. Setidaknya menurut gambaran Fransisco B Hardiman (1990;24), pertama bahwa prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial itu. Gejala-gejala subjektivitas manusia, kepentingan maupun kehendak manusiawi, tidak mengganggu objek pengamatan, yaitu tingkah laku sosial manusia. Dengan cara ini obyek pengamatan disejajarkan dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil penelitian itu dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam bentuk ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis manusia. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu-ilmu alam, bersifat netral, bebas dari nilai.

Metodologi ilmu sosial positivis di atas bisa dipahami sebagai kerangka dasar pengetahuan yang abai terhadap realitas. Dan hasilnya bisa dilihat dari model-model penelitian dan teori-teori yang dilahirkan darinya di Indonesia, yang selalu ‘tutup mata’ terhadap realitas yang makin timpang dan eksploitatif. Ilmu pegetahuan yang hanya bergelut dengan dirinya sendiri, dengan problem metodologis dan teoritiknya sendiri tanpa memperhatikan konteks umum dalam masyarakat. Inilah musabab kelahiran ilmuwan-ilmuwan tanpa basis sosial dan tanpa ikatan ideologis dan emansipatif terhadap masyarakat. Di kampus-kampus dan lembaga-lembaga penelitian telah berjejer ilmuwan sosial yang gagal mendiagnosa kekeliruan dalam relasi sosial masyarakat yang menyebabkan ketimpangan struktur, pemiskinan dan hancurnya relasi-relasi produktif masyarakat. Hal ini berbeda dengan teori kritik secara diametral. Teori kritik secara umum dipahami sebagai upaya mengaitkan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praksis. Dengan singkat dikatakan teori ini hendak menyusun suatu ‘teori dengan maksud praksis’ (Ibid;54). Hal yang nista dalam ilmu sosial positivis.

Kegunaan Ilmu Sosial

Dengan penjelasan singkat di atas, apa yang bisa dijadikan kerangka umum merumuskan kegunaan ilmu sosial? Atau seperti apa seharusnya ilmu sosial mengambil standing position di tengah struktur sosial yang hancur akibat meluasnya moda produksi kapitalisme ke seluruh ranah kehidupan ini? Kegunaan ilmu sosial mestilah sebuah kegunaan praksis yang menggerakkan, mengadvokasi dan menyelamatkan manusia dari tatanan sosial yang tidak adil!

Dalam Kemiskinan Filsafat (2004), Karl Marx dengan optimis membaca masa depan ilmu sosial sebaiknya diarahkan. ‘Di ambang setiap pengadukan kembali (reshuffling) masyarakat, kata akhir ilmu pengetahuan sosial akan selalu berbunyi: ‘Le combat ou la mort; la lute sanguinaire ou le neant. C’est ainsi que la question est invinciblenment posee. (perjuangan atau kematian; pertempuran berdarah atau kemusnahan. Demikian itulah masalahnya secara tanpa ampun dihadapi!), demikian ungkapknya. Sebuah argumen optimistis yang mengarahkan bahwa ilmu pengetahuan ke depan mestilah ilmu pengetahuan yang berpihak, emansipatif yang berdiri tepat pada pihak yang tersisih oleh relasi sosial yang tidak menguntungkan mereka dan ikut masuk ke dalam pertarungan. Tidak bersembunyi di balik ‘tangan kotor’ ideologi objektif yang anti sosial.

Ungkapan Marx di atas menunjukkan logika dasar pemikiran Marx mengenai kelas. Bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas (class struggle). Dan Marx menunjukkan seluruh pengabdiannya bagi pengembangan ilmu sosial yang berpihak, pada kelas yang paling tertindas dalam seluruh karya-karyanya. Nampaknya, bagi penulis, ilmu sosial semacam inilah yang dibutuhkan oleh tatanan ilmu sosial Indonesia yang guyub dalam puja-puji struktur yang sedang berkuasa, tanpa melihat jauh ke dalam dasar struktur sosial dan apa yang menyebabkannya hancur. Wallahu a’lam bi sawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar