Kamis, 05 Februari 2015

Perlu Rebranding Perguruan Tinggi Agama

Perlu Rebranding Perguruan Tinggi Agama

Biyanto  ;  Dosen UIN Sunan Ampel;
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
JAWA POS, 04 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

MASYARAKAT umumnya mengenal perguruan tinggi agama Islam (PTAI) negeri dan swasta sebagai institusi pendidikan yang secara spesifik mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Kesan itu jelas tidak salah. Kesan tersebut muncul karena disiplin ilmu yang dikembangkan PTAI pada mulanya hanya Alquran, hadis, tafsir, teologi, filsafat, fikih, tasawuf, sejarah, dakwah, dan pendidikan.

Tetapi, sejak awal 2000-an, beberapa PTAI membuka program studi (prodi) umum. Misalnya, bahasa Inggris, komunikasi, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, matematika, sains, teknik, bahkan kedokteran. Diversifikasi prodi itu bertujuan merespons persaingan antar perguruan tinggi yang kian kompetitif.

Strategi itu ternyata mampu mendongkrak minat masyarakat untuk belajar di PTAI. Seiring dengan pembukaan prodi-prodi umum itulah, sejumlah PTAI beralih status menjadi universitas. Alih status dari institut menjadi universitas juga bertujuan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu, khususnya integrasi ilmu agama dan ilmu umum.

Hingga kini, kajian ilmu agama dan ilmu umum dilakukan secara terpisah (separated). Penyelenggara pendidikan nasional juga terbelah menjadi dua, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag). Dampaknya, terjadi ketimpangan mutu pendidikan karena perbedaan sumber daya dan penganggaran.

Bukan hanya itu, disiplin ilmu yang dikembangkan dua kementerian tersebut juga jarang ’’bertegur sapa’’. Produk keilmuan yang dihasilkan pun bersifat parsial.Dengan menjadikan kajian ilmu agama dan ilmu umum dalam satu institusi, diharapkan terwujud pendekatan yang saling terintegrasi (integrated approach). Pendekatan integratif itu penting agar produk keilmuan memiliki basis nilai moral keagamaan.

Harus diakui bahwa perubahan kelembagaan dari institut menjadi universitas menyisakan persoalan. Mereka yang mendukung lebih melihat pada tantangan yang dihadapi PTAI dalam konteks kekinian. Apalagi, realitas menunjukkan bahwa peminat prodi ilmu agama terus menurun. Karena itulah, perubahan kelembagaan dari institut ke universitas menjadi pilihan.

Sementara itu, mereka yang menolak menyatakan bahwa perubahan tersebut pada saatnya mengakibatkan marginalisasi prodi ilmu agama yang sudah menjadi core of competence PTAI. Jika prodi ilmu agama terpinggirkan, pertanyaannya, institusi pendidikan mana yang akan memproduksi ulama? Pertanyaan itulah yang mendasari keinginan agar PTAI tetap berkomitmen mengembangkan ilmu agama.

Seiring dengan adanya pergeseran minat masyarakat, PTAI harus berbenah. Salah satu yang harus dilakukan adalah rebranding (memperbarui merek atau label) prodi ilmu agama. Dalam ilmu pemasaran,rebranding sangat penting. Dikatakan bahwa jika suatu produk, termasuk pendidikan, ingin diminati pelanggan, yang harus dilakukan ialah memperjelas branding.

Pemberian labelitu sangat erat berkaitan dengan profil lulusan. Karena itu, harus ditentukan profil lulusan yang diimpikan PTAI. Misalnya, lulusan PTAI adalah ahli ilmu agama, berakhlak mulia, terampil berbahasa internasional, serta mampu membaca dan memahami Alquran. Jika lulusan yang dihasilkan seperti itu, rasanya tidak ada yang perlu diragukan. Lulusan PTAI pasti individu yang bermutu sehingga berdaya saing.

Selain itu, PTAI harus menjadi pusat kajian ilmu-ilmu keislaman (center of Islamic studies). Itu berarti PTAI harus menjadikan prodi ilmu agama sebagai yang terutama. Kondisi bangsa yang dirundung masalah moralitas dan integritas jelas membutuhkan sumbangsih civitas academica PTAI. Sebut saja, misalnya, persoalan korupsi yang kian marak. Begitu juga, persoalan radikalisme bernuansa agama yang terus bermetamorfosis. Dalam kaitan itu, penting ditanyakan, apa kontribusi civitas academica PTAI untuk mengatasi persoalan tersebut?

Selain menentukan branding, PTAI harus jeli melihat pelanggan (customer) dan pengguna lulusan (user). Secara konvensional dapat dikatakan bahwa peminat PTAI adalah lulusan lembaga pendidikan Islam, misalnya madrasah dan pesantren. Itu berarti harus ada kerja sama yang sinergis PTAI dengan madrasah dan pesantren. Tetapi, harus diakui, kini lebih banyak lulusan madrasah dan pesantren mengambil prodi ilmu umum bila dibandingkan dengan prodi ilmu agama.

Mengenai pengguna lulusan, memang sulit dijawab. Itu terjadi PTAI belummempersiapkan lulusannyasecara serius. Akibatnya, lulusan PTAI tidak memiliki kecakapan minimal yang dibutuhkan agar dapat bersaing. Itulah tantangan terbesar PTAI. Pimpinan PTAI harus menyadari bahwa pendidikan itu tidak sekadar transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga berkaitan dengan usaha menyiapkan generasi yang siap menghadapi problem dalam kehidupan.

Karena itu, penting direnungkan pernyataan guru marketing dunia, Hermawan Kartajaya. Menurut dia, setiap penjual produk harus memahami hubungan positioning, differentiation, dan branding (PDB). Hubungan PDB itu berarti bahwa posisi tawar suatu produk akan baik jika memiliki keunggulan yang berbeda dari yang lain. Menentukan keunggulan yang berbeda itulah yang disebut diferensiasi.

Dengan menggunakan hukum PDB dalam marketing, PTAI harus menentukan branding yang benar-benar berbeda. Penentuan branding itu penting agar lulusan PTAI mampu menunjukkan keunggulan yang berbeda dari lulusan prodi ilmu umum. Selain memperhatikan kebutuhan user, PTAI harus jeli melihat perguruan tinggi pesaing (competitor).

Kejelian menangkap kebutuhan user dan keunggulan competitor penting untuk menentukan kegiatan rebranding PTAI. Konsekuensinya, PTAI tidak boleh dikelola asal-asalan. PTAI harus dikelola secara profesional. Hanya dengan cara itulah, PTAI dapat terus eksis di tengah persaingan di antara pendidikan tinggi yang kian ketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar