Kamis, 05 Februari 2015

Menunggu Drone Presiden Jokowi

Menunggu Drone Presiden Jokowi

Muhadjir Effendy  ;  Guru Besar Universitas Negeri Malang;
Menulis disertasi soal militer
JAWA POS, 04 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

AWAL pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditandai gencarnya penyergapan terhadap para pencuri ikan, dilanjutkan dengan upacara pembakaran dan penenggelaman kapal mereka. Akhir 2014 ditutup dengan kecelakaan pesawat terbang AirAsia QZ8501 di Selat Karimata. Awal 2015 BNN berhasil membongkar penyelundupan 800 kg sabu-sabu melalui laut oleh sindikat internasional.

Kita jadi ingat janji kampanye Presiden Jokowi yang akan menggunakan drone atau pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehicles) untuk mengamankan wilayah laut RI. Apa mungkin akan banyak kapal pencuri ikan yang berskala besar dan canggih –bukan pencuri tradisional– yang bisa disergap? Apa mungkin pencarian dan penyelamatan atas korban AirAsia bisa lebih berhasil dilakukan? Apa mungkin sebagian besar penyelundupan lewat jalur laut bisa ditanggulangi?

Kabarnya, saat ini sudah ada drone idaman. Yaitu Global Hawk,bikinan perusahaan Northrop Grumman, AS. Nama lengkapnya RQ-4 Global Hawk. Varian barunya, MQ-4C Triton,dirancang khusus untuk pengawasan maritim (maritime surveillance). Angkatan Laut (AL) AS dikabarkan sudah memesan 68 unit Triton guna melengkapi drone pemburu kapal selam P-8A Poseidon(Jane’s Defense Weekly, 1 Oktober 2014).

Global Hawk sangat canggih: mampu membuat ringkasan hasil pengamatannya dengan sistematis dan mengirimkan kepada pusat komando dalam waktu seketika. Perantinya antara lain mata radar sintetis beresolusi tinggi (synthetic aperture radar/SAR) dan sensor jarak jauh optik elektronik/infra merah (electronic-optical/infrared-EO/IR). Ia dapat terbang selama 30 jam tanpa henti serta mampu mengamati wilayah seluas 100.000 km persegidalam sehari. Harganya sekitar Rp 4,3 triliun per unit. Presiden bermaksud membeli tiga buah.

Keterbatasan

Dalam perspektif kemaritiman, Indonesia memang paling unik di dunia. Dari 5.180.053 km persegi wilayahnya, daratannya hanya 1.922.570 km persegi. Sisanya, sekitar 70 persen, berupa laut. Terdiri atas 17.000 pulau lebih sehingga memiliki garis pantai terpanjang di dunia, yaitu 81.000 km. Atau 14 persen dari garis pantai dunia. Memiliki batas laut dengan sepuluh negara (tabloid Diplomasi, 16 Oktober 2011).

Cukup alasan bila Jokowi memilih pembangunan maritim sebagai faktor pembeda dirinya dengan presiden-presiden sebelumnya. Namun, dengan drone tak lantas masalah kedaulatan dan penegakan hukum di wilayah laut RI tuntas. Drone sebatas membantu tugas pengawasan, mengumpulkan dan mengirim informasi yang akurat dan seketika.

Info penting itu akan sia-sia kalau kekuatan operator di medan laut lemah. Agar kinerja drone bisa maksimal, sepadan dengan harga dan biaya operasionalnya yang sangat mahal (per jam terbang hingga USD 32 ribu), harus dibarengi peningkatan kekuatan laut, terkhusus TNI-AL.

Pasal 9 UU 34/2004 tentang TNI menyatakan, TNI-AL tidak hanya melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan, tetapi juga tugas polisional, yakni menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut. Seperti apa pun Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang akan dibentuk, sesuai amanat pasal 59 ayat 3 UU 32/2014 tentang Kelautan, TNI-AL akan tetap menjadi bagian terpenting dan tulang punggungnya.   

Green-Water Navy

Desain kekuatan TNI-AL kita di dalam istilah nondoktrinal disebut green-water navy. Yaitu sebuah kekuatan AL yang dirancang untuk beroperasi di dalam perairan suatu negara, namun memiliki kemampuan beroperasi di laut terbuka di sekitar negara itu. Berbeda dengan blue-water navy, yaitu kekuatan AL yang mampu beroperasi di perairan dalam dan laut bebas ala negara-negara yang berambisi menjadi penguasa di laut bebas.

Perkembangan geostrategis kawasan saat ini, serta rencana strategis Indonesia di sektor maritim, mengharuskan desain TNI-AL sebagai green-water navy perlu dikaji lagi. Sebagai bandingan, India, misalnya, sebagai salah satu negara yang memiliki batas laut dengan Indonesia sedang membangun kekuatan blue-water menyusul Tiongkok dan Jepang. Agaknya, kehadiran AL Tiongkok di lautan India mulai mengusik New Delhi. India dan Tiongkok juga berlomba memperkuat kehadirannya di kawasan strategis Selat Malaka. Sebanyak 40 persen perdagangan dunia serta 80 persen impor minyak Tiongkok melewati selat ini (The South Asia Channel, 4 Agustus 2014).

Mulai 2013 India mengoperasikan kapal pengangkut pesawat dengan kapasitas besar, yaitu INS Vikramaditya (45.400 ton). Kapal induk itu dapat mengangkut 36 pesawat, termasuk 30 pesawat tempur MiG-29K multi-role fighters. Korsel juga telah memodifikasi kapal pengangkut helikopter (landing platform helicopter/LPH) kelas Dokdo sehingga mampu mengangkut pesawat tempur yang dapat lepas landas dan mendarat secara vertikal (vertical take-off and landing/VTOL). Pada 2036 AL Korea Selatan diproyeksikan menjadi kekuatan blue-water dengan menambah dua kapal pengangkut pesawat berbobot 30.000 ton (DefenseNews.com, 26 Oktober 2013).

Mau tak mau, TNI-AL harus meningkatkan kekuatannya. Antara lain, perlu dipersenjatai dengan kapal pengangkut pesawat tempur (aircraft carrier).Tidak harus kapal sebesar INS Vikramaditya. Cukup dengan kapal pengangkut-pesawat ringan (light aircraft carrier) yang bisa digerakkan ke penjuru laut Indonesia dengan relatif cepat. Barangkali tipologi yang cocok adalah kapal pengangkut pesawat Juan Carlos I milik Spanyol, yang berbobot 26.000 ton. Mampu menampung 900 personel, 40 lebih kendaraan amfibi, termasuk tank Leopard 2E, dan 12 pesawat tempur Harrier II serta beberapa helikopter. Indonesia, dengan PT PAL-nya (kerja sama dengan Daesun Shipbuilding & Engineering Co Korsel), telah mampu membuat kapal landing platform dock kelas dunia. Hal itu bisa jadi modal untuk membangun light aircraft carrier sendiri.

Selain belanja alutsista, yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan adalah adanya skema kerja sama riset dan alih teknologi. Dan dari pengalaman beberapa negara maju, manfaat riset di bidang teknologi militer serta pembangunan industri pertahanan akan menimbulkan efek melimpah (spillover effect) bagi kemajuan industri dan teknologi sipil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar