Kamis, 19 Februari 2015

Penguatan KPK Kita

Penguatan KPK Kita

Anas Urbaningrum  ;  Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia
KORAN SINDO, 17 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pilihan sejarah yang tepat. Pada saat kinerja lembaga-lembaga penegak hukum kepolisian dan kejaksaan belum berprestasi tinggi dan bahkan menjadi sasaran kritik, lahirnya KPK adalah terobosan yang membawa angin segar.

Dalam waktu singkat, KPK menjadi lembaga yang dipercaya dan mendapatkan banyak pujian. Dengan keistimewaan yang dijamin undang-undang, KPK dinilai berprestasi bagus dalam tugas berat pemberantasan korupsi. Lalu, harapan yang disandang KPK pun makin besar. Masa depan Indonesia seolah-olah diletakkan di pundak KPK.

Prestasi tinggi dan limpahan puji-pujian lantas melahirkan persepsi yang mulai kurang sehat. Dengan segera KPK dianggap sebagai lembaga suci, serbabenar, dan mustahil bertindak khilaf. Malah, pelan-pelan terbangun mitos bahwa KPK adalah kebenaran itu sendiri dan tidak ada kebenaran di luar KPK. Hasilnya, bangunan tembok tebal yang melindungi KPK dari kritik dan koreksi.

Terpahatlah di tembok itu dua pasal peraturan. Pasal 1: KPK tidak pernah salah. Pasal 2: Jika KPK salah, kembali ke pasal 1. Terjadilah transformasi dari mitologi institusi menjadi mitos personal-individual. ”Pengurus” KPK, baik pimpinan dan aparatnya, dianggap ”malaikat” dan ”dewa-dewa” yang terjamin bebas dari salah, khilaf dan keliru. Bahkan terbebas dari nafsu dan kepentingan.

Dengan bangunan mitologi itu, setiap kritik dan koreksi dianggap sebagai pelemahan, tidak pro terhadap pemberantasan korupsi, bahkan dinilai sebagai serangan balik para koruptor. Karena terbiasa mendapatkan deretan puja-puji dan parade tepuk tangan, kritik dan koreksi dianggap musuh yang harus ditampik dan ditindas sehebat-hebatnya. Ringkas cerita lalu muncullah peristiwa-peristiwa yang tidak sedap.

Ada kejadian protes internal dan sebagian penyidik mengundurkan diri karena ada pimpinan yang melanggar standard operating procedure (SOP). Diberitakan ada penetapan tersangka tanpa bukti yang memadai. Ada juga pengumuman tersangka yang belum terbit surat perintah penyidikan (sprindik)-nya. Publik tidak akan lupa dengan skandal hukum pembocoran draf sprindik yang sulit dipisahkan dengan pernyataan menekan dari seorang presiden dari luar negeri.

Malah, ada pernyataan dari individu pimpinan KPK yang mirip lawyer orang tertentu. Tentu saja terkait dengan kekuasaan yang besar. Yang mutakhir adalah penetapan tersangka kepada calon kapolri hanya beberapa hari setelah surat usulan presiden ke DPR bocor ke media.

Yang tidak kalah menarik adalah informasi pertemuan-pertemuan politik individu pimpinan dan beredarnya foto yang bersifat pribadi. Ada pula yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri, sementara beberapa yang lain juga sedang diselidiki atas laporan masyarakat. Artinya, ada permasalahan etik dan hukum.

Individu Bukan Institusi

Jika kita menggunakan analogi salat berjamaah, ada mekanisme untuk menyelesaikan masalah apabila ada imam yang (maaf) buang angin. Ini penting karena secara etik imam yang sudah batal wudu kehilangan otoritas untuk melanjutkan tugasnya. Pada konteks kelembagaan, imam yang buang angin, baik secara etik maupun hukum, tidaklah sama dengan kiamat.

Sebagai manusia, imam bisa saja sakit perut. Ketika imam batal, jamaah tidak perlu bubar. Imam yang batal hanya perlu diganti orang lain yang masih ”punya wudu” lewat mekanisme yang sudah tersedia. Justru yang menjadi masalah adalah jika imam yang batal memaksakan diri tetap melanjutkan tugasnya. Dalam konteks salat, jelas jadi batal. Dalam pengertian lembaga, terang imam yang batal malah menjadi beban kelembagaan.

Nah, perhatian utama kita adalah bagaimana lembaga KPK tetap terjaga eksistensinya dan terus menunaikan tugas sejarahnya. Wajib dan mutlak bagi kita mempertahankan dan menyelamatkan KPK. Sama tepatnya ketika kita membela institusi Polri. Yang perlu ditimbang ulang dengan jernih adalah pembelaan membabi buta ke-pada individu ”pengurus” KPK yang sedang dipersoalkan telah melakukan pelanggaran etik dan hukum.

Ada kesan dan dibangun kesan seolah-olah menyelamatkan KPK identik dengan menyelamatkan pengurusnya. Pembelaan individu ”pengurus” KPK secara membabi buta adalah tindakan yang justru menjustifikasi terjadinya personalisasi dan mempertebal tembok mitos.

Membela KPK justru harus dilakukan bersamaan dengan kesadaran untuk melakukan demitologisasi. Pembelaan yang serius dan demitologisasi akan menyumbang besar bagi penguatan kelembagaan KPK yang historis dan mendorong bekerjanya seluruh organ KPK sesuai dengan pembagian tugasnya, secara lurus dan kebal terhadap resapan kepentingan yang tidak semestinya.

Penguatan Kelembagaan

Lalu, bagaimana agenda penguatan kelembagaan KPK ke depan? Pertama, bagi pengurus KPK yang sedang disangka ”buang angin”, baik secara etik maupun hukum, perlu didorong untuk bersedia berlaku ksatria. Bersedia menjalani proses hukum dan etik adalah sebagian tanda kecintaan kepada lembaga KPK.

Apabila kelak dinyatakan bersalah atau tidak bersalah, itu adalah bagian dari proses seleksi alam yang akan membuat KPK makin kuat dan terjaga marwahnya. Kedua, ke depan proses seleksi pimpinan KPK sebaiknya makin ketat, baik dalam persyaratan maupun prosesnya di pemerintah dan DPR. Sudah ada contoh yang bisa dibandingkan dari hasil seleksi pimpinan KPK jilid I, II, dan III.

Sudah banyak pula wacana dan debat publik tentang bagaimana pimpinan KPK yang cakap, kuat, dan kredibel. Seleksi pimpinan KPK bukan dimaksudkan untuk menemukan malaikat dan dewa. Cukuplah pimpinan yang sanggup setia terhadap khitah KPK dan tidak tergoda untuk menyimpangkan mandat, baik bagi dirinya ataupun pihak lain.

Ketiga, perlu dihajatkan mekanisme pengawasan kelembagaan yang efektif. Sebagai lembaga yang diberi otoritas istimewa, meniadakan pengawasan adalah sesat pikir yang menyimpan bencana. Justru karena otoritasnya yang istimewa itulah KPK harus disandingi pengawasan yang nyata. Tanpa pengawasan, otoritas yang istimewa bisa menjadi otoritas yang absolut. Sementara absolutisme selalu mengandung hukum besi: ”power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Kekuatan kontrol adalah daya awas terhadap hukum besi absolutisme itu.

Di atas segalanya, KPK yang kuat dan berhasil dalam menunaikan amanah adalah KPK yang ”sadar lingkungan”. Karena itu, KPK harus bersedia membangun sinergi dan kerja sama dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. Bahkan bisa saling memperkuat.

KPK juga harus makin sadar hidup dalam tatanan kebangsaan dan kenegaraan. Bukan KPK yang merasa dapat hidup sendiri dan bahkan mengatasi semua lembaga lain. Indonesia akan selalu membutuhkan KPK yang setia dan lurus kepada panggilan sejarahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar