Penguatan
KPK Kita
Anas Urbaningrum ; Ketua
Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia
|
KORAN
SINDO, 17 Februari 2015
Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah
pilihan sejarah yang tepat. Pada saat kinerja lembaga-lembaga penegak hukum
kepolisian dan kejaksaan belum berprestasi tinggi dan bahkan menjadi sasaran
kritik, lahirnya KPK adalah terobosan yang membawa angin segar.
Dalam waktu singkat, KPK menjadi lembaga yang dipercaya
dan mendapatkan banyak pujian. Dengan keistimewaan yang dijamin
undang-undang, KPK dinilai berprestasi bagus dalam tugas berat pemberantasan
korupsi. Lalu, harapan yang disandang KPK pun makin besar. Masa depan
Indonesia seolah-olah diletakkan di pundak KPK.
Prestasi tinggi dan limpahan puji-pujian lantas melahirkan
persepsi yang mulai kurang sehat. Dengan segera KPK dianggap sebagai lembaga
suci, serbabenar, dan mustahil bertindak khilaf. Malah, pelan-pelan terbangun
mitos bahwa KPK adalah kebenaran itu sendiri dan tidak ada kebenaran di luar
KPK. Hasilnya, bangunan tembok tebal yang melindungi KPK dari kritik dan
koreksi.
Terpahatlah di tembok itu dua pasal peraturan. Pasal 1:
KPK tidak pernah salah. Pasal 2: Jika KPK salah, kembali ke pasal 1.
Terjadilah transformasi dari mitologi institusi menjadi mitos
personal-individual. ”Pengurus” KPK, baik pimpinan dan aparatnya, dianggap
”malaikat” dan ”dewa-dewa” yang terjamin bebas dari salah, khilaf dan keliru.
Bahkan terbebas dari nafsu dan kepentingan.
Dengan bangunan mitologi itu, setiap kritik dan koreksi
dianggap sebagai pelemahan, tidak pro terhadap pemberantasan korupsi, bahkan
dinilai sebagai serangan balik para koruptor. Karena terbiasa mendapatkan
deretan puja-puji dan parade tepuk tangan, kritik dan koreksi dianggap musuh
yang harus ditampik dan ditindas sehebat-hebatnya. Ringkas
cerita lalu muncullah peristiwa-peristiwa yang tidak sedap.
Ada
kejadian protes internal dan sebagian penyidik mengundurkan diri karena ada
pimpinan yang melanggar standard
operating procedure (SOP). Diberitakan ada penetapan tersangka tanpa
bukti yang memadai. Ada juga pengumuman tersangka yang belum terbit surat
perintah penyidikan (sprindik)-nya. Publik tidak akan lupa dengan skandal hukum pembocoran
draf sprindik yang sulit dipisahkan dengan pernyataan menekan dari seorang
presiden dari luar negeri.
Malah, ada pernyataan dari individu pimpinan KPK yang mirip
lawyer orang tertentu. Tentu saja terkait dengan kekuasaan yang besar.
Yang
mutakhir adalah penetapan tersangka kepada calon kapolri hanya beberapa hari
setelah surat usulan presiden ke DPR bocor ke media.
Yang tidak kalah menarik adalah informasi
pertemuan-pertemuan politik individu pimpinan dan beredarnya foto yang
bersifat pribadi. Ada pula yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim
Polri, sementara beberapa yang lain juga sedang diselidiki atas laporan
masyarakat. Artinya, ada permasalahan etik dan hukum.
Individu Bukan Institusi
Jika kita menggunakan analogi salat berjamaah, ada
mekanisme untuk menyelesaikan masalah apabila ada imam yang (maaf) buang
angin. Ini penting karena secara etik imam yang sudah batal wudu kehilangan
otoritas untuk melanjutkan tugasnya. Pada konteks kelembagaan, imam yang
buang angin, baik secara etik maupun hukum, tidaklah sama dengan kiamat.
Sebagai manusia, imam bisa saja sakit perut. Ketika imam
batal, jamaah tidak perlu bubar. Imam yang batal hanya perlu diganti orang
lain yang masih ”punya wudu” lewat mekanisme yang sudah tersedia. Justru yang
menjadi masalah adalah jika imam yang batal memaksakan diri tetap melanjutkan
tugasnya. Dalam konteks salat, jelas jadi batal. Dalam pengertian lembaga,
terang imam yang batal malah menjadi beban kelembagaan.
Nah, perhatian utama kita adalah bagaimana lembaga KPK
tetap terjaga eksistensinya dan terus menunaikan tugas sejarahnya. Wajib dan
mutlak bagi kita mempertahankan dan menyelamatkan KPK. Sama tepatnya ketika
kita membela institusi Polri. Yang perlu ditimbang ulang dengan jernih adalah
pembelaan membabi buta ke-pada individu ”pengurus” KPK yang sedang
dipersoalkan telah melakukan pelanggaran etik dan hukum.
Ada kesan dan dibangun kesan seolah-olah menyelamatkan KPK
identik dengan menyelamatkan pengurusnya. Pembelaan individu ”pengurus” KPK
secara membabi buta adalah tindakan yang justru menjustifikasi terjadinya
personalisasi dan mempertebal tembok mitos.
Membela KPK justru harus dilakukan bersamaan dengan
kesadaran untuk melakukan demitologisasi. Pembelaan yang serius dan
demitologisasi akan menyumbang besar bagi penguatan kelembagaan KPK yang
historis dan mendorong bekerjanya seluruh organ KPK sesuai dengan pembagian
tugasnya, secara lurus dan kebal terhadap resapan kepentingan yang tidak
semestinya.
Penguatan Kelembagaan
Lalu, bagaimana agenda penguatan kelembagaan KPK ke depan?
Pertama, bagi pengurus KPK yang sedang disangka ”buang angin”, baik secara
etik maupun hukum, perlu didorong untuk bersedia berlaku ksatria. Bersedia
menjalani proses hukum dan etik adalah sebagian tanda kecintaan kepada
lembaga KPK.
Apabila kelak dinyatakan bersalah atau tidak bersalah, itu
adalah bagian dari proses seleksi alam yang akan membuat KPK makin kuat dan
terjaga marwahnya. Kedua, ke depan proses seleksi pimpinan KPK sebaiknya
makin ketat, baik dalam persyaratan maupun prosesnya di pemerintah dan DPR.
Sudah ada contoh yang bisa dibandingkan dari hasil seleksi pimpinan KPK jilid
I, II, dan III.
Sudah banyak pula wacana dan debat publik tentang
bagaimana pimpinan KPK yang cakap, kuat, dan kredibel. Seleksi pimpinan KPK
bukan dimaksudkan untuk menemukan malaikat dan dewa. Cukuplah pimpinan yang
sanggup setia terhadap khitah KPK dan tidak tergoda untuk menyimpangkan
mandat, baik bagi dirinya ataupun pihak lain.
Ketiga, perlu dihajatkan mekanisme pengawasan kelembagaan
yang efektif. Sebagai lembaga yang diberi otoritas istimewa, meniadakan pengawasan
adalah sesat pikir yang menyimpan bencana. Justru karena otoritasnya yang
istimewa itulah KPK harus disandingi pengawasan yang nyata. Tanpa
pengawasan, otoritas yang istimewa bisa menjadi otoritas yang absolut.
Sementara absolutisme selalu mengandung hukum besi: ”power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”.
Kekuatan kontrol adalah daya awas terhadap hukum besi absolutisme itu.
Di atas segalanya, KPK yang kuat dan berhasil dalam
menunaikan amanah adalah KPK yang ”sadar lingkungan”. Karena itu, KPK harus
bersedia membangun sinergi dan kerja sama dengan lembaga-lembaga penegak
hukum lainnya. Bahkan bisa saling memperkuat.
KPK
juga harus makin sadar hidup dalam tatanan kebangsaan dan kenegaraan. Bukan
KPK yang merasa dapat hidup sendiri dan bahkan mengatasi semua lembaga lain. Indonesia akan selalu membutuhkan
KPK yang setia dan lurus kepada panggilan sejarahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar