Jumat, 13 Februari 2015

Mereduksi Banjir ala Eropa

Mereduksi Banjir ala Eropa

Ismatillah A Nu’ad   ;   Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
SINAR HARAPAN, 12 Februari 2015
                                                        
                                                                                                                                     
                                                

Musim hujan datang, banjir pun terjadi di mana-mana. Kelemahan kota-kota di Indonesia adalah belum ada sistem kanal yang berguna menampung air jika hujan terjadi cukup besar. Padahal, sistem kanal semacam itu dapat mereduksi banjir.

Biasanya jika musim banjir datang, kota yang paling parah terdampak adalah Jakarta. Sebagai ibu kota negara, semestinya Jakarta harus lebih baik menangani banjir. Masyarakat Jakarta berharap lebih kepada gubernur baru mereka, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), bukan sebatas retorika, melainkan gertakan realistis di lapangan, konsep yang komprehensif, serta kebijakan terapan yang mesti disegerakan.

Sebetulnya bukan hanya Jakarta, di mana pun kota di Indonesia, pemerintah daerah (pemda) harusnya responsif. Ini karena dalam era globalisasi yang dihantui global warming, semuanya bisa terjadi. Bahkan mungkin saja, banjir akan menghinggapi kota Anda.

Kita semua harus belajar ulang dari sistem kanal di Negeri Kincir Angin, Belanda. Bisa juga mencontoh cara Kota London menjadikan Sungai Thames untuk mereduksi banjir yang langsung tersalur ke lautan.

Tiap kota di Eropa biasanya memang memiliki saluran air yang cukup luas dan ujung-ujungnya berakhir ke laut atau kanal-kanal penyerapan air. Jadi, tidak ada yang namanya banjir.

Sistem perencanaan irigasi dalam pengertian saluran air dibangun sedemikian canggih. Mereka menyadari, kalau tidak dilakukan seperti itu, sementara pembangunan tak pernah berhenti menyita tanah-tanah yang ada, banjir akan menjadi musim tahunan.

Kesadaran pemerintah kota untuk melakukan itu karena hal tersebut merupakan tuntutan yang harus dilakukan, bukan atas dasar proyek pemerintahan kota, seperti yang selama ini terjadi. Urgensi penanganan banjir harus segera dilakukan karena sudah menyangkut hajat hidup masyarakat umum. Kepentingan individu dan kepentingan sesaat tak bisa menjadi panglima karena akan berujung dan berakibat kesengsaraan bagi kepentingan umum.

Jika kita melihat kota di negeri ini, di Jakarta misalnya, berbeda jauh dengan keadaan kota-kota di Eropa. Pola pembangunan terus berlangsung setiap tahun. Gedung-gedung tinggi bertingkat, mal-mal megah, pembangunan apartemen bak jamur, real estate di mana-mana. Pendeknya, tanah di Jakarta bertambah sempit. Akan tetapi, saat bersamaan, tak ada tanah yang diperuntukkan sebagai alat penyangga air hujan. Jadi, semua pola pembangunan itu tak dibarengi kesadaran pola preventif untuk mencegah banjir.

Hal itu terjadi karena regulasi aturan main yang Pemda DKI sebelumnya juga tidak komprehensif, penuh kepentingan dan proyek-proyek. Semua perusahaan swasta bisa membangun kantor-kantor besar. Semua pengembang dapat membangun seluas-luasnya apartemen dan real estate.

Lalu, bagaimana jalan keluarnya ketika banjir tiap tahun terulang? Pertama, harus ada regulasi aturan main yang jelas dan tegas diberlakukan oleh pemda yang mengatur tentang bangunan-bangunan.

Kedua, Pemda harus segera membuat irigasi, dalam pengertian saluran air yang berakhir di kanal-kanal yang berguna untuk menyerap dan menampung air hujan.


Ketiga, Pemda DKI harus bekerja sama dengan pemda-pemda lain yang ada di Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Ini untuk memikirkan persoalan banjir yang terus melanda tiap tahun. Banjir adalah persoalan bersama, terutama di daerah yang tergabung dalam Jabodetabek.

Banjir harus menjadi sebuah kesadaran sosial (social consciousness) yang menyeluruh, bukan hanya bagi pemda, melainkan juga bagi masyarakat. Masyarakat juga harus berperan menuntaskan persoalan banjir, misalnya dijewantahkan dalam bentuk kesadaran membuang sampah tidak di sembarang tempat dan dalam bentuk lain.

Jika itu dilakukan, hasilnya pun akan dinikmati semua pihak. Tak hanya segelintir orang atau individu, tapi dinikmati masyarakat luas. Hal itu penting untuk menjadikan kota sebagai pusat aktivitas publik yang lebih terlihat beradab.

Thee Kian Wie, ahli administrasi negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pernah menyatakan dalam pidato penganugerahan Guru Besarnya, pembangunan kota-kota di Indonesia jauh tertingal dibandingkan kota-kota lain di Eropa.

Di London saja, sudah ada terowongan rel kereta bawah tanah yang dibangun dari abad ke-17, berkat jasa-jasa para pemimpin pemerintahannya yang sadar akan pentingnya transportasi modern. Hal itu dilakukan untuk kepentingan jangka panjang, serta bagi kesejahteraan dan kenyamanan hidup warga negaranya.

Sebaliknya, kesadaran seperti itu tidak didapat dalam pemerintahan kota di Indonesia. Jika ada kesadaran semacam itu, semestinya persoalan banjir sudah ditangani sejak lama. Seharusnya, pembangunan kanal-kanal besar penampung air hujan sudah ada sejak lama. Karena tidak ada kesadaran jangka panjang, yang terjadi seperti terlihat sekarang ini.

Mudah-mudahan banjir tahun ini bisa menjadi kesadaran sosial bersama. Mudah-mudahan orang tak hanya tercengang ketika melihat banjir yang mengerikan itu, tapi kemudian menjadi kesadaran kolektif yang tak pernah padam sehingga menimbulkan sinergi bersama untuk memikirkan solusi mencegah kehadiran banjir itu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar