Jumat, 13 Februari 2015

Runtuhnya Filsafat Politik

Runtuhnya Filsafat Politik

Syaiful Arif   ;   Penulis
KORAN TEMPO, 12 Februari 2015
                                                        
                                                                                                                                     
                                                

Dengan hadirnya Joko Widodo (Jokowi) di kancah politik nasional, kita berbahagia karena nilai-nilai mulia yang diajarkan filsafat politik akan terlaksana. Faktanya, tak semudah itu. Jokowi, yang bagaimanapun punya keterbatasan, terlihat tak kuasa menghadapi arus besar politik Indonesia: oligarki.

Tentu Jokowi tak pernah mengajarkan filsafat politik secara teoretis. Ia bahkan bukan intelektual. Satu hal yang berbeda, misalnya, dengan Presiden Abdurrahman Wahid, yang oleh Herbert Feith disebut a scholar president. Berbeda dengan Wahid yang dilatari oleh karier intelektual, Jokowi hanya seorang bos mebel yang karena jujur, merakyat, dan berintegritas bisa menjadi presiden.

Jokowi adalah pemimpin yang dididik oleh alam. Para cendekiawan yang kemudian menteorikan moralitas politiknya menjadi falsafah politik sendiri. Misalnya, blusukan kemudian menandai suatu demokrasi partisipatoris yang mengoreksi elitisme demokrasi prosedural. Atau, sikap cekatan Jokowi dalam menangani persoalan masyarakat membuahkan teknokrasi populis: sebuah kepemimpinan berbasis kerja teknis, berlambar keberpihakan pada wong cilik. Kartu Jakarta Sehat dan Pintar, yang kini diindonesiakan, mampu menghadirkan negara di depan pintu orang miskin, dalam bentuk kesejahteraan.

Inilah yang memukau rakyat, terutama aktivis pro-demokrasi. Sebab, hal-hal ideal yang selama ini mengawang di filsafat politik bisa terbumikan. Kita kemudian bangga. Sebab, politik Indonesia akan membaik. Ia akan bergeser dari oligarki partai dalam demokrasi manipulatif menuju kepemimpinan populis berbasis kerja. Harapan ini dikuatkan oleh keikhlasan Megawati memberikan "tiket kepresidenan" kepada Jokowi, dan kader yang bukan ketua umum partai ini bisa menjadi presiden.

Ternyata, penyakitnya berada di sini. Sebab, akhirnya terdapat dua penguasa: Jokowi Presiden RI dan Megawati Ketua Umum PDIP. Sebagai petugas partai, sang presiden tetap harus manut kepada Ibu Ketum. Inilah oligarki itu, yang ternyata tak terhapus oleh kepresidenan Jokowi. Maka, oligarki partai berkelindan dengan oligarki di tubuh Kepolisian RI. Hasilnya, kelumpuhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Realitas kemudian mencengangkan: di masa presiden yang didukung para filsuf ini, semua pimpinan KPK dilaporkan ke polisi!

Inilah yang meruntuhkan harapan untuk kesekian kalinya, bahwa kemuliaan politik yang diajarkan filsafat politik bisa terealisasi. Politik ternyata memang bukan res publica (kebaikan bersama) layaknya sabda Aristoteles. Politik juga bukan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yang terlindungi (daf'u dlaruri ma'shumin) sebagaimana titah Al-Ghazali. Ada jurang lebar antara politik "sebagaimana seharusnya" dan "apa yang ada".

Pertanyaannya, apakah terpilihnya Jokowi kemarin sebatas euforia akibat bentukan media dan lembaga survei? Apakah meroketnya Jokowi terjadi akibat kemiskinan bangsa ini akan tokoh politik yang bermoral? Dibutuhkan keberanian, konsep, dan "jam terbang" dalam pengelolaan konflik politik tingkat tinggi. Ini tidak bisa diselesaikan dengan blusukan atau revolusi mental yang kini tak diwacanakan lagi. Tentu Jokowi orang baik. Namun kebaikan tak ampuh bagi pembongkaran oligarki yang menjadi struktur imanen politik negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar