Rabu, 04 Februari 2015

Menegaskan Kembali Politik Kebinekaan

Menegaskan Kembali Politik Kebinekaan

Ahmad Fuad Fanani  ;  Direktur Riset MAARIF Institute for Culture and Humanity;
Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KORAN SINDO, 03 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Akhir-akhir ini banyak peristiwa kekerasan di dunia yang mengoyak perhatian dan rasa kemanusiaan kita. Kita menyaksikan kebrutalan orang-orang yang melakukan penyerangan dan penghilangan nyawa secara paksa terhadap orang-orang yang berbeda sikap.

Kondisi itu menunjukkan bahwa penghargaan terhadap keberagaman atau kebinekaan belum menjadi sikap hidup pada sebagian orang. Banyak yang menyelesaikan perbedaan pendapat, perbedaan paham, dan perbedaan golongan dengan cara kekerasan, bahkan pembunuhan.

Kebinekaan yang merupakan sunnatullah belum menjadi jati diri dan sikap hidup banyak orang. Yang lebih ironis, sikap hidup yang menjunjung sektarianisme dan intoleransi justru banyak dijadikan acuan dan pegangan. Klaim tunggal kebenaran dan keinginan untuk memaksa orang lain mengikuti pendapatnya, sekalipun itu dengan paksaan, masih mendominasi wajah sosial, budaya, dan politik banyak orang di dunia.

Tantangan Nyata

Di tanah air, prinsip kebinekaan yang sejatinya sudah dicanangkan oleh the founding fathers and mothers bangsa ini dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, juga masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Warisan pada masa lalu tentang bagaimana sikap negara yang belum tegas terhadap kelompok minoritas, kelompok yang berbeda dengan mainstream, dan kelompok yang terpinggirkan yang hingga hari ini belum terselesaikan.

Kelompok-kelompok itu masih mengalami kesulitan dalam mengekspresikan keyakinan dan prinsip keagamaannya. Tak jarang mereka juga menerima kekerasan, baik verbal maupun nonverbal. Padahal, konstitusi Indonesia secara jelas menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan pada seluruh warganya.

Dalam konstitusi, Negara Indonesia berprinsip melindungi segenap warga negaranya. Dari prinsip itu, tidak ada kategori the first class citizenship ataupun the second citizenship. Semua setara dan harus mendapatkan hak yang sama. Negara yang mestinya bersikap imparsial dan melindungi kelompok minoritas, tampaknya masih enggan untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut secara cepat dan tepat.

Hingga hari ini, kita sepertinya belum pernah mendengar pernyataan resmi dari Presiden Jokowi tentang Ahmadiyah, Syiah, dan kelompok minoritas (Alamsyah M. Djafar, 2015). Tentu hal itu menjadi tantangan bagi politik kebhinnekaan di negeri ini. Dengan track record dan legitimasi politik yang dimilikinya, Jokowi semestinya bisa membuat langkah-langkah serius untuk menegakkan politik kebinekaan di negeri ini.

Tentu saja politik kebinekaan yang tidak hanya melihat soal minoritas dari sudut pandang kuantitas atau numerikal, tapi juga politik kebinekaan yang berkeadilan. Tantangan politik kebinekaan itu pada dasarnya tidak hanya datang dari negara, namun juga dari masyarakat. Dalam beberapa riset yang dimuat pada Jurnal MAARIF Vol. 9. No. 2, Desember 2014 dengan tema ”Politik Kebhinnekaan di Indonesia: Tantangan dan Harapan”, terlihat masih banyak masyarakat yang berperilaku intoleran dan menyalahkan kelompok lain seperti Ahmadiyah, Syiah, dan kelompok minoritas agama lokal. Sebagian masyarakat, misalnya, belum bisa menerima pemimpin dari kelompok minoritas, meskipun hal itu dijamin oleh konstitusi.

Penolakan terhadap pemimpin dari kelompok minoritas dengan legitimasi agama, masih menjadi pemandangan yang biasa. Ada sebagian yang memilih melalu jalur informal, dibandingkan jalur konstitusional. Secara garis besar, tantangan politik kebinekaan di Indonesia tampak pada dua hal: tantangan sosiokultural dan tantangan struktural.

Tantangan sosiokultural itu terlihat pada sikap sebagian masyarakat yang intoleran, memilih paham sektarianisme, dan menjadi pengikut fanatik yang antikritik. Selain itu, banyak kelompok (un)civil society yang berperan menjadi paramiliter dan melakukan aksi-aksi kekerasan baik verbal maupun nonverbal, terhadap kelompok yang berbeda (Verena Beittinger-Lee, (Un)Civil Soceity and Political Change in Indonesia: A contested arena, 2009).

Tantangan strukturalnya adalah aparat yang tidak tegas dan masih banyaknya produk hukum yang diskriminatif. Pemerintah yang mestinya imparsial dan menjadi penentu di masyarakat sering terlihat gamang dalam menentukan kebijakan dan sikap ketegasan.

Perlunya Optimisme

Meskipun politik kebinekaan Indonesia masih menghadapi banyak tantangan di masa depan, kita seyogianya tetap optimistis dan menjaga harapan. Kultur masyarakat Indonesia yang bisa hidup rukun dan damai bersama kelompok lain adalah modal sosial yang tinggi bagi terciptanya politik kebinekaan.

Model Islam Indonesia yang moderat dan sejuk yang berbeda dengan Islam ala Arab, juga merupakan modal besar bagi Indonesia untuk menyemai politik kebinekaan. Harapan itu juga tampak dari visimisi pemerintahan Jokowi-JK yang menempatkan intoleransi sebagai agenda pokok bangsa.

Visi-misi itu menyatakan bahwa konflik sektarian dan berbagai bentuk intoleransi menyebabkan jati diri bangsa ini terkoyak. Visi-misi itu harus segera diturunkan menjadi kebijakan dan sikap para aparatur negara. Jika berhenti di sini, tentu akan menjadi visi-misi yang miskin aksi dan hanya menjadi slogan kampanye saja.

Langkah proaktif menteri agama yang sering berdialog dengan tokoh agama dan kelompok minoritas untuk mencari solusi terhadap berbagai permasalahan sosial keagamaan, juga menambah harapan baru. Terlebih, Kementerian Agama juga sedang menyiapkan UU perlindungan umat beragama.

Harapan masa depan politik kebinekaan juga terlihat dari banyaknya individu- individu dan institusi-institusi di negeri ini yang masih percaya bahwa kebinekaan adalah berkah dan nilai kebaikan untuk membangun Indonesia yang lebih maju. Kerja sama antarinstitusi untuk memperkuat kebinekaan dan kerjakerja untuk menanamkan kesadaran itu secara lebih masif ke masyarakat, tentu harus terus konsisten diagendakan.

Yang juga penting adalah perlunya merumuskan model politik kebinekaan yang lebih pas untuk konteks Indonesia. Sebagaimana dicatat oleh Will Kymlicka (2002), multikulturalisme telah menjadi gerakan sosial dan gerakan politik identitas untuk memperjuangkan kehidupan masyarakat yang selama ini termarjinalisasi oleh kekuatan rezim atau paham keagamaan.

 Politik kebinekaan di Indonesia seyogianya bisa menjadi gerakan sosial yang progresif, yaitu gerakan yang memperjuangkan tegaknya supremasi sipil dan membentuk warga negara yang kritis; jadi bukan hanya menjadi partisipan pasar yang baik. Sebagai gerakan sosial, politik kebinekaan jangan hanya berhenti sebagai politik identitas, tapi juga sebagai kebijakan publik yang bersifat aktif dan mengandung komitmen untuk melakukan perubahan sosial agar keadilan sosial dan ekonomi bisa benar-benar terjadi.

Dalam agenda perjuangan untuk melakukan redistribusi sosial itu, politik kebinekaan seharusnya bukan hanya menyentuh soal agama, etnis, budaya saja; namun juga hak-hak orang yang terpinggirkan oleh rezim kekuasaan. Mungkin model politik kebinekaan yang seperti bisa diterapkan di Indonesia yang selain menghadapi banyak persoalan agama dan budaya, juga masih banyak persoalan ekonomi dan pemerataan pembangunan yang juga patut diperhatikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar