Rabu, 04 Februari 2015

Ancaman Transnasionalisme Islam

Ancaman Transnasionalisme Islam

A Halim Iskandar  ;  Ketua DRPD Jatim dan Ketua DPW PKB Jatim
JAWA POS, 03 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

BERAWAL dari perkumpulan-perkumpulan kecil seperti Tasywirul Afkar, Nahdlatul Wathon, dan Nahdlatul Tujjar yang digawangi kiai pesantren, pada 31 Januari 1926 Nahdlatoel Oelama (kini Nahdlatul Ulama/NU) dideklarasikan sebagai sebuah jam’iyah islamiyah, yang dimaksudkan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah serta mengembangkan konsep Islam rahmatan lil ’alamin.

Para pendiri NU sadar betul bahwa untuk tujuan tersebut, NU harus terlibat aktif dalam politik kenegaraan serta pengembangan politik kebangsaan. Hal tersebut dapat dilihat pada tingginya loyalitas NU terhadap perjuangan kemerdekaan serta peran aktif NU dalam upaya mendesain Indonesia sebagai bangsa modern di mana agama (Islam) tidak menjadi dasar berdirinya bangsa ini. Sikap tersebut bahkan ditegaskan dalam Muktamar NU 1936 di Banjarmasin bahwa cita-cita mendirikan negara Indonesia bukan atas dasar darul Islam (negara Islam), melainkan darussalam (negara kesejahteraan).

Gejala Transnasionalisme Islam

Transnasionalisme politik yang berbaur dengan agama menjadi salah satu fenomena yang potensial meningkat di masa depan. Hal tersebut tidak mustahil karena adanya komunikasi instan, baik melalui internet maupun televisi, yang membantu transformasi gagasan dan praksis transnasionalisme segera menyebar ke seluruh pelosok dunia. Dengan watak melintasi batas-batas negara, wacana dan gerakan transnasional politik-agama tidak hanya mengacaukan kehidupan agama dan mengubah lanskap sosioreligius, tetapi sekaligus mengancam eksistensi negara-bangsa.

Lahirnya kelompok transnasionalisme semacam ISIS bisa dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dan dianggap sebagai isu global. Padahal, wacana dan praksis ISIS sangat kental bersifat politis, mendirikan apa yang mereka sebut sebagai khilafah atau disamarkan dengan daulah islamiyah. Memanfaatkan sektarianisme Sunni-Syiah, ISIS melakukan kekerasan dan brutalisme dengan membunuh siapa saja yang mereka temui: apakah Sunni yang menolak mereka, Syiah, Yazidi, maupun Kristen. Karena itu, transnasionalisme ISIS tidak hanya berbahaya dalam hal pandangan keagamaannya, namun juga dalam praksisnya yang penuh kekerasan dan brutalisme yang menyimpang jauh dari ajaran Islam yang menekankan rahmat bagi semesta alam.

Tantangan lainnya adalah fenomena ”peraturan daerah syariah” yang menggejala di beberapa daerah setelah implementasi kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah. Ke depan, fenomena tersebut akan menggeser visi kenegaraan Indonesia, dari melindungi semua anak bangsa, tanpa melihat latar belakang agama, suku, dan ras, menjadi visi kenegaraan yang mengancam hak keragaman dan keberagamaan.

Fenomena-fenomena tersebut merupakan tantangan berat bagi NU di masa depan. Untuk menjawabnya, peran politik NU tidak boleh berhenti pada fase perjuangan kemerdekaan dan pendirian NKRI. NU harus terlibat dalam penataan dan pengelolaan negara, salah satunya: meningkatkan partisipasi politik NU.

Partisipasi Politik NU

Pasca kemerdekaan dan memastikan NKRI sebagai darussalam, peran politik NU tercatat mengalami pasang surut, dimulai ketika NU tergabung dalam Masyumi, saat NU menjadi partai politik, ketika NU berfusi dengan PPP, maupun ketika NU independen dari kekuatan partai politik mana pun, hingga akhirnya NU mendirikan partai baru bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada pertengahan 1998.

Meski demikian, seperti diungkap Van Bruinessen, peran besar NU tersebut tidak terkonversi dengan pembagian partisipasi kekuasaan. Dalam konteks ini, kelompok NU kerap ”terlempar” dari lingkaran manajemen pengelolaan dan pengaturan negara karena alasan variabel keterbelakangan kaum sarungan, yang hanya mengandalkan jumlah massa. Aspirasi warga nahdliyin kerap tidak terakomodasi karena tergerus oleh kelompok Islam yang mengklaim dirinya lebih modern.

Problemnya, peminggiran NU dari pengelolaan negara justru tidak menjadikan Indonesia tampil sebagai negara yang dipenuhi kemaslahatan. Sebaliknya, dinamika perpolitikan Indonesia terus mempertontonkan berbagai problem kehidupan kebangsaan, seperti semakin tercerabutnya akar budaya bangsa, terpinggirkannya nilai-nilai moral keagamaan, dan terabaikannya hak-hak dasar rakyat. Kondisi itulah yang memanggil NU untuk tidak berpangku tangan dan bergegas menjadi solusi dalam tata kelola pemerintahan yang melindungi hak-hak dasar warga negara serta menghadirkan kemaslahatan.

Dalam konteks inilah, PKB yang didirikan NU –sebagai respons PB NU terhadap tuntutan warga nahdliyin pada pertengahan 1998– memiliki peran strategis untuk melakukan integrasi perjuangan Islam ke dalam perjuangan nasional. PKB harus menjadi tumpuan harapan bagi penyelesaian dan solusi permasalahan.

Mengapa PKB? Sebab, pertama,PKB merupakan partai yang diilhami perjuangan NU dan dimaksudkan menjadi kendaraan utama politik NU. Sehingga platform perjuangan PKB merupakan kombinasi dari spirit demokrasi dan spirit religiusitas yang terkodifikasi dalam berbagai teks fikih serta kitab kuning. Karena itu, dimensi perjuangan PKB juga menyentuh level transenden demi menegakkan Islam rahmatan lil ’alamin di Indonesia. Kedua, PKB berideologi nasionalis. Politik ideologi nasionalis sebagai basis partai telah menjadikan PKB sebagai partai yang dapat menjadi kendaraan politik bangsa Indonesia tanpa membeda-bedakan suku, agama, maupun ras.

Karena itulah, berkat peran politik kebangsaan NU yang konsisten, serta peran politik PKB dalam mentransformasikan politik kebangsaan NU, melalui konsolidasi partisipasi politik NU dalam penataan dan pengelolaan negara, NU dan PKB akan mampu menjawab berbagai problem kebangsaan Indonesia. Baik tantangan transnasionalisme, terpinggirkannya nilai-nilai moral keagamaan, maupun terabaikannya hak-hak dasar rakyat. Melalui pengembangan politik rahmatan lil ’alamin, sebagai representasi utama politik NU, PKB harus berdiri sebagai panglima penyelamatan Indonesia dari ancaman transnasionalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar