KPK
vs Polri Pascavonis Praperadilan
Ahmad Yani ; Peneliti dan Peneliti di Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa
(P3B)
|
KORAN
SINDO, 18 Februari 2015
Hiruk-pikuk polemik KPK vs Polri yang dalam beberapa waktu
belakangan ini menjadi “tren” dan topik hangat di semua kalangan telah
menemui babak akhir ketika gugatan praperadilan yang diajukan oleh kandidat
“terkuat” kepala Polri, Komjen Pol Budi Gunawan (BG), dikabulkan oleh hakim
Sarpin Rizaldi di PN Jakarta Selatan.
Secara tidak langsung vonis atas gugatan praperadilan
tersebut telah menganulir penetapan status tersangka kepada BG yang dilakukan
oleh KPK atas indikasi dugaan korupsi “rekening gendut” yang dimiliki oleh BG
ketika menjabat sebagai Karobinkar Mabes Polri pada periode 2003-2006.
Beragam argumen, pendapat muncul menyikapi vonis
praperadilan tersebut, banyak pro dan kontra yang merespons vonis
tersebut–sambutan dari masyarakat luas pun cukup beragam melihat realitas
yang muncul atas vonis gugatan praperadilan itu. Salah satu isu yang cukup
krusial dan esensial pascavonis praperadilan tersebut ialah adanya dorongan
dan desakan yang ditujukan kepada pemerintah untuk segera menetapkan dan melantik
BG secara definitif sebagai kepala Polri.
Vonis atas gugatan praperadilan penetapan status tersangka
yang dilakukan oleh pihak BG, terlepas dari pro dan kontra yang ada, tetaplah
harus dilihat dalam kerangka pemikiran yang rasional dan objektif. Penulis
juga memiliki catatan tersendiri terkait materi atau substansi dari vonis
praperadilan ini.
Secara singkat dapat diuraikan bahwa terlepas dari pro dan
kontra terkait objek praperadilan sebagaimana diatur di dalam Pasal 77 KUHAP,
memang pada hakikatnya materi penetapan status tersangka di dalam hukum acara
pidana tidaklah menjadi bagian objek dari praperadilan.
Menurut penulis, penetapan status tersangka merupakan hal
ihwal pokok di dalam hukum acara pidana; dalam arti bahwa objek praperadilan,
yakni penangkapan, penahanan, serta penghentian penuntutan atau penyidikan
hanyalah merupakan akibat yang ditimbulkan dari hal ihwal pokok tersebut.
Hal itu juga hanya dapat dimaknai sebagai arus hilir dari
proses hukum acara pidana, sedangkan penetapan status tersangka merupakan
arus hulu dari rangkaian proses di dalam hukum acara pidana tersebut. Kerangka
pemikiran dengan rasionalitas berpikir seperti ini juga bersesuaian dengan
ide pembaruan dan pembahasan RUU KUHAP di DPR periode lalu.
Pada saat pembahasan memang telah diinisiasi untuk
memperluas objek praperadilan, yang memang di dalam RUU KUHAP mekanisme yang
ada ditempuh melalui jalur hakim komisaris. Inisiasi untuk memperluas objek
praperadilan sebagaimana dimaksud memang datang dari ide untuk lebih menjamin
pemenuhan serta perlindungan HAM bagi para tersangka, terdakwa, dan terpidana
di dalam sistem peradilan pidana.
Dalam konteks praperadilan gugatan BG, maka dengan
kerangka pemikiran dan rasionalitas berpikir sebagaimana diuraikan di atas,
meskipun hal tersebut bukanlah objek dan tidak diatur secara jelas di dalam
KUHAP, menurut penulis gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka
terhadap seseorang tersangka dapat menjadi objek gugatan di pengadilan.
Pada hakikatnya pemerintah, atau dalam hal ini Presiden,
memiliki hak prerogatif di dalam polemik penetapan status definitif kepala
Polri. Akan tetapi, hak prerogatif tersebut dapat dimaknai sebagai hak mutlak
yang dimiliki Presiden di dalam menentukan nama-nama calon kepala Polri.
Artinya, hak prerogatif tersebut berlaku secara mutlak ketika proses awal
seleksi penentuan nama-nama calon kepala Polri yang akan diajukan kepada DPR
(lihat Pasal 11 UU Kepolisian).
Dalam konteks polemik BG, Presiden telah
menggunakanhakprerogatiftersebut secara penuh ketika justru hanya mengirimkan
satu nama tunggal sebagai calon kepala Polri yang selanjutnya akan mengikuti fit and proper test di parlemen.
Secara logis, hak prerogatif tersebut tidak serta-merta memiliki
standardisasi yang mutlak ketika proses itu telah berada di parlemen (DPR);
sebab telah ada pengaruh cabang kekuasaan lain selain dari eksekutif
(presiden).
Dalam hal ini maka Presiden hanya tinggal menunggu hasil
persetujuan DPR, seketika setelah DPR setuju atas pengajuan kandidat kepala
Polri yang diajukan oleh Presiden, maka Presiden tinggal melantik kandidat
yang telah disetujui oleh DPR tersebut (lihat Pasal 11 angka (2), (3), dan
(4) UU Kepolisian).
Adanya penundaan yang selama ini menjadi polemik terkait
pelantikan BG sebagai kepala Polri secara rasional dapat dimaknai bukan
didasarkan oleh pertimbangan dari aspek yuridis, tetapi dapat dilihat dan
dimaknai karena alasan dari aspek sosial dan moral. Maka kemudian apabila mau
dilihat dari aspek sosial dan moral, vonis praperadilan terkait gugatan atas
penetapan status tersangka terhadap BG oleh KPK juga telah dianulir oleh
lembaga peradilan yang bebas dan tidak memihak (imparsial).
Artinya, di sini bahwa memang tidak ada lagi kondisi yang
dapat membenarkan penundaan ataupun pembatalan BG untuk dilantik sebagai
Kepala Polri. Dalam hal ini tentu jikalau menggunakan rasionalitas berpikir
yang objektif, semua pihak tidaklah dapat meragukan ataupun menyanggah
keputusan dari pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam gugatan peradilan
yang dilakukan oleh pihak BG.
Sebab, lembaga peradilan merupakan lembaga yang
independen, bebas, dan tidak memihak (imparsial)–sehingga produk pengadilan
sebagaimana yang tertuang di dalam vonis pengadilan tersebut haruslah
dipandang benar, sampai ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang
membatalkannya berdasarkan mekanisme dan prosedur hukum yang ada. Hal ini pun
bersesuaian dengan asas res judicata
pro veritate habetur yang berarti bahwa putusan hakim (vonis pengadilan)
haruslah dianggap benar sampai ada putusan dari pengadilan yang lebih tinggi
yang membatalkan putusan tersebut.
Jikalau merujuk dan melihat pada hubungan kausalitas
antara penundaan pelantikan BG dengan vonis akhir dari putusan praperadilan
sebagaimana dimaksud dalam hal ini, maka dengan dianulirnya status tersangka
kepada BG melalui vonis pengadilan dalam gugatan praperadilan yang diajukan
terlepas dari pro dan kontra yang ada tidak ada lagi hambatan atau pun batu
ganjalan untuk melantik BG sebagai kepala Polri.
Keputusan politik pemerintah yang didasarkan pada produk
pengadilan sebagaimana diuraikan sebelumnya memiliki poin penting guna
memenuhi stabilitas politik, hukum, dan pemerintahan. Catatan penting bagi
pemerintah atau Presiden dalam hal ini ialah harus segera melantik BG sebagai
kepala Polri (definitif) agar dapat segera menyelesaikan polemik yang terjadi
dan resistensi yang ada di tubuh Polri dan KPK.
Tentu langkah pemerintah yang responsif diharapkan dapat
segera mengembalikan stabilitas politik, hukum, dan pemerintahan yang mana
cukup terganggu atas polemik yang terjadi antara KPK dan Polri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar