Kamis, 19 Februari 2015

Implikasi Hukum dan Politik jika BG Dilantik

Implikasi Hukum dan Politik jika BG Dilantik

Tjipta Lesmana  ;  Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR
KORAN SINDO, 18 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Setelah sidang praperadilan pada Senin (16/2) mengabulkan gugatan Komjen Pol Budi Gunawan (BG), opsi paling kuat bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya melantik perwira tinggi polisi itu sebagai kepala Polri.

Kemarin, Selasa (17/2), Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sudah mengatakan, dia akan melantik BG sebagai kepala Polri ”Kalau saya presiden!” Menurut pemikiran linear dan logis, memang tidak ada alasan bagi Presiden untuk tidak melantik BG. Bukankah hakim tunggal, Sarpin Rizaldi, dengan tegas memutus bahwa penetapan BG sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah dan oleh sebab itu hakim mengabulkan gugatan BG? Konkretnya, masih menurut pemikiran linear dan logis, BG sejak 16 Februari 2015 bukan seorang tersangka.

Lalu, apa lagi yang ditunggu Presiden? Bukankah sampai Minggu (15/2) malam di Istana Bogor, Presiden masih mengatakan kepada para awak pers bahwa dia harus menunggu putusan sidang praperadilan? Ketika Surya Paloh, ketua umum Partai NasDem, kemarin sore sekitar pukul 16.00 menghadap Presiden di Istana Negara, sinyal pelantikan BG semakin terang.

Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh adalah dua politisi KIH yang sejak awal mendesak Presiden tidak ragu-ragu melantik BG sebagai kepala Polri. Saya berpikir Presiden akan melantik BG kemarin. Tapi, rupanya Presiden masih harus berpikir-pikir, juga dengan alasan ada masalah penting lain yang mendesak yaitu persiapan peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada April mendatang.

Saya yakin alasan ini hanya dibuat-buat. Jelas dong, putusan tentang BG jauh lebih penting dan lebih mendesak ketimbang persiapan peringatan KAA! Maka itu, hampir dipastikan bahwa Presiden masih membutuhkan renungan dan timbang-timbang lagi sebelum mengeluarkan keputusan final, melantik BG atau melantik perwira bintang tiga lain sebagai kepala Polri?

Kenapa Presiden Masih Saja Ragu?

Menurut saya, pernyataan Wakil Ketua Tim 9 Prof Jimly Asshiddiqie merupakan jawaban yang jitu. Di mata Prof Jimly, Presiden mendapatkan dua tekanan yang sama-sama kuat dan harus dipertimbangkan masak-masak. Pertama, dari para politisi partai-partai pendukungnya maupun dari Koalisi Merah Putih. Kedua, dari rakyat.

Tekanan dari rakyat, kalau diabaikan, bisa menimbulkan risiko anjloknya integritas dan popularitas Presiden. Lima tahun ke depan dia akan ditinggalkan para pendukungnya. Sebaliknya, tekanan dari kalangan politisi ”berumur sehari-hari”. Dia akan digempur terus oleh politisi kalau Presiden tidak segera melantik BG sebagai kepala Polri.

Lalu, mana yang akan dipilih Presiden, risiko ditinggal rakyat banyak pendukungnya pada 2019 atau risiko berhadapan dengan DPR sehari-hari? Keduanya memang sama-sama tidak enak. Tapi, Presiden harus segera ambil keputusan! Seorang pemimpin, apalagi pemimpin negara dan bangsa, harus memiliki ketegasan dan keberanian mengambil keputusan secepatnya, sekaligus siap menanggung risiko apa pun yang timbul akibat keputusan yang diambilnya itu! Pemimpin yang tidak berani ambil risiko dan selalu merasa ketakutan ya dia tidak pantas memimpin negara.

Sekali lagi, kalau kita bertanya, kenapa Presiden membutuhkan satu bulan lebih untuk memutuskan masalah BG? Saya yakin seyakin-yakinnya, dalam hati sanubari yang paling dalam, Pak Presiden sesungguhnya tidak mau melantik BG.

Kenapa? Pertama , dia percaya penuh pada masukan ”9 Pendekar” yang tergabung dalam Tim 9 bentuk Presiden sendiri. Sembilan orang, semua, terdiri atas putra-putra Indonesia yang sangat bagus integritasnya, apalagi ada figur-figur seperti Buya Syafii Maarif, Prof Jimly Asshiddiqie, dan Prof Hikmahanto Juwana. Orang-orang ini juga yang berjuang mati-matian menopang Presiden ke kursi RI-1. ”Sialnya”, Tim 9 sejak awal sudah membisiki Presiden untuk membuang nama Budi Gunawan.

Kedua, Presiden rasanya tidak pernah lupa peristiwa 16 Januari 2015. Hari itu massa besar relawan Presiden turun ke jalan, termasuk di depan Istana, mendesak supaya Presiden tidak melantik. Ketika itu mereka sudah bersiap-siap balik badan, menarik dukungannya kepada Presiden.

Presiden sedikit panik dan lewat ajudan mengundang Fajroel Rahman, ketua Gerakan Salam Dua Jari, ke Istana. Tapi, bukankah pengadilan sudah menyatakan penetapan tersangka BG tidak sah? Jawaban atas pertanyaan ini, saya persilakan Anda buka media sosial dua pekan terakhir ini.

Ketiga, Presiden bukan tidak membaca dan tidak memperhatikan komentar-komentar para pakar hukum terkait putusan sidang praperadilan Senin lalu. Banyak sekali yang mengecam putusan yang dijatuhkan hakim Sarpin Rizaldi. Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko misalnya mengecam putusan Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka Komjen Budi Gunawan. ”Hakimnya tersesat! Ngawur..... Hakim terbawa arus!” Maka itu, Djoko Sarwono menyarankan KPK tidak usah indahkan putusan yang melanggar KUHAP itu.

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa berpendapat yang sama. ”Memperluas kewenangan praperadilan dengan alasan tidak diatur itu kan ngaco. Praperadilan sudah diatur dengan jelas kewenangannya.”

Menurut Jimly Asshiddiqie, mantan ketua Mahkamah Konstitusi, suatu saat KPK bisa memperbaiki proses penetapan tersangka. ”Bisa saja minggu depan, satu bulan depan, dua bulan lagi, Budi Gunawan dijadikan tersangka lagi. Bisa saja itu terjadi!” Sebab itu, Jimly ”membisiki” Budi Gunawan untuk tidak cepat-cepat merasa di atas angin. Maka itu, hampir dipastikan KPK akan mengajukan PK terhadap putusan praperadilan yang memenangkan BG.

Putusan praperadilan itu memang aneh bin ajaib. Pertama, putusan itu menjungkirbalikkan isi Pasal 7 KUHAP. Kedua, jika putusan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap, siapa pun yang jadi tersangka dapat menggugat ke sidang praperadilan dan pengadilan tidak dapat menolak karena sudah ada yurisprudensinya yaitu putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Februari lalu.

Ketiga, segera bakal banyak tersangka yang ”antre” menggugat ketetapan hukum atas diri mereka yang dinilai ”sewenang-wenang” seperti yang dikatakan hakim Sarpin Rizaldi. Jangan lupa, MA pernah menguji putusan praperadilan kasus PT Chevron. Saat itu, 27 September 2012, hakim tunggal di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Suko Harsono, memutus bahwa penetapan tersangka korupsi Bachtiar Abdul Fatah tidak sah. Tapi, dalam putusan kasasinya, Mahkamah Agung menyatakan hakim Suko telah melampaui kewenangannya. Kewenangan memutus legalitas penetapan tersangka tak termaktub dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Itulah sebabnya, Presiden atas masukan para penasihat hukumnya juga bimbang. Kalau BG dilantik dan putusan praperadilan 16 Februari 2015 kemudian dibatalkan oleh kasasi Mahkamah Agung, berarti BG tetap tersangka dan pasti akan secepatnya diproses oleh KPK untuk diajukan ke Pengadilan Tipikor. Lalu, seorang pakar hukum di Surabaya mengatakan Presiden bisa dimakzulkan bila dia tetap melantik BG sebagai kepala Polri!

Maka itu, pendapat yang mendesak Presiden segera melantik BG dengan alasan the case is closed setelah praperadilan memutus gugatan BG, menurut saya, hanyalah pendapat linear dan logis, tidak memperhatikan implikasi hukum dan politik yang lebih jauh. Atau pendapat yang terlalu simplistis. Faktanya, masalah tidak begitu mudah. Masalahnya, putusan hakim Sarpin Rizaldi bakal dikasasi ke Mahkamah Agung.

Dua mantan ketua Mahkamah Agung yang amat terhormat serta seorang mantan Hakim Agung yang terhormat sudah mengeluarkan ”legal opinion” yang sama bahwa putusan Sarpin Rizaldi ngawur dan ngaco. Presiden kini dalam posisi terjepit. Marilah kita sama-sama berdoa agar Pak Presiden pada akhirnya mengambil keputusan berdasarkan hati nuraninya yang paling dalam dan petunjuk Allah Yang Maha Penyayang lagi Pengasih.. Amin.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar