Rabu, 18 Februari 2015

Jangan Lantik BG sebagai Kapolri

Jangan Lantik BG sebagai Kapolri

Richo Andi Wibowo  ;  Dosen FH UGM, peneliti di Institute of Constitutional and Administrative Law and Legal Theory, Utrecht University School of Law, Belanda
JAWA POS, 17 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

’’A fish rots from the head down’’

DULU Jokowi menunda pelantikan Kapolri karena BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Lalu, setelah penetapan tersangka tersebut dianulir putusan praperadilan, publik bertanya-tanya: apakah Jokowi berarti harus melantik BG sebagai Kapolri? 

Hemat penulis, Jokowi tidak harus melantik, bahkan tetap dapat menganulir pencalonan BG. Setidak-tidaknya terdapat lima argumentasi hukum yang dapat diajukan mengenai hal ini.

Pertama, putusan praperadilan yang menganulir status BG sebagai tersangka berbenturan dengan hukum. Sebab, menurut KUHAP, kewenangan forum praperadilan memang bukan untuk status tersangka.

Sesungguhnya, sebelum kasus ini disidangkan, forum akademisi hukum mengkritik keras rencana praperadilan. Setelah putusan ini lahir, kritik atas putusan praperadilan bahkan juga disampaikan kalangan hakim MA sekalipun.

Kedua, selain itu, perlu dicatat bahwa putusan praperadilan tidak berwenang (dan oleh karena itu tidak menghasilkan) kejelasan benar tidaknya BG melakukan korupsi. Hal ini sesungguhnya memberikan ruang kepada Jokowi untuk membatalkan pelantikan dan menganulir pencalonan BG sebagai Kapolri.

Melantik atau tidak suatu pejabat adalah urusan penyelenggara negara. Karena itu, landasan hukum yang perlu diperhatikan adalah asas hukum administrasi negara (HAN). Dalam HAN, keputusan dapat diambil dengan berdasar pembuktian yang berkarakter ’’more likely than not’’.

Artinya, untuk memutuskan sesuatu hal terkait dengan penyelenggaraan negara, pejabat pemerintah tidak harus selalu menunggu bukti hitam di atas putih. Bukti abu-abu yang cenderung hitam, sepanjang itu meyakinkan, sudah cukup untuk menjadi landasan dalam pengambilan keputusan.

Jika diterapkan dalam kasus ini, Jokowi perlu serius mempertimbangkan hasil transaksi janggal rekening BG yang terekam oleh PPATK, serta penetapan tersangka oleh KPK. Dua lembaga ini memiliki rekam jejak yang sangat bagus dalam pemberantasan korupsi. Pengakuan ini lahir dari masyarakat dan komunitas internasional. Seharusnya, sikap dua lembaga tersebut sudah lebih dari cukup untuk Jokowi dalam menganulir pencalonan BG sebagai Kaplori.

Ketiga, sebagaimana ungkapan masyarakat Eropa yang disampaikan di awal tulisan ini, ’’ikan membusuk dimulai dari kepala’’. Jika figur yang tidak berintegritas yang terpilih menjadi Kapolri, figur tersebut akan memberikan pengaruh buruk kepada seluruh anak buah yang ia pimpin. Mengingat Polri saat ini tengah berbenah, melantik BG berarti sinyal buram. Jokowi menghambat proses transisi reformasi yang tengah berjalan di tubuh Polri.

Keempat, implikasi lanjutan dari poin ketiga di atas adalah kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum (Polri) akan turun. Padahal, hal ini sangat berbahaya.

Menurut penelitian Marien dan Hooghe (2011), masyarakat yang tidak percaya kepada pemerintah cenderung lebih melanggar hukum daripada masyarakat yang percaya terhadap pemerintah. Dengan kata lain, kewajiban Jokowi untuk menolak BG perlu dibaca sebagai kewajiban dalam memastikan keberlangsungan keteraturan (social order) dalam masyarakat.

Kelima, poin di atas amat relevan serta perlu dipertimbangkan secara serius oleh Jokowi karena itu merupakan janjinya kepada masyarakat dan bangsa ini. Merujuk pada situs KPU, pasangan Jokowi-JK berjanji kepada segenap rakyat Indonesia dengan sembilan program prioritas (Nawa Cita).

Program prioritas nomor 2 tertulis dengan gamblang bahwa: ’’kami akan membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya’’. Artinya, jika Jokowi membiarkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga pemerintah dan lembaga hukum turun, dia bersama JK berarti telah menjilat ludahnya sendiri.

Berpihak pada Rakyat

Sesungguhnya, sebagaimana paparan di atas, logika hukum atas urusan praperadilan, untuk kasus BG, sudah cukup terang. Namun, tampaknya, urusan politiklah yang membuat rumit. Banyak pihak meyakini, Jokowi tersandera oleh kepentingan partai penyokongnya.

Terhadap hal ini, Jokowi serta para pengagumnya perlu melakukan refleksi kembali. Jokowi terpilih karena rekam jejaknya dalam memimpin pemerintahan. Kala itu, ramai diberitakan, sekalipun kerap mendapat tekanan, Jokowi selalu memilih berdiri untuk mendukung kepentingan rakyat, dan bukan kepentingan politik.

Seharusnya, sikap tersebut pulalah yang harus ditunjukkan Jokowi pada urusan ini. Tetaplah istiqamah bersama rakyat, dan rakyat akan tetap bersama Jokowi. Beranilah bersikap, apa pun putusan praperadilan, bukan BG yang menjadi Kapolri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar