Rabu, 18 Februari 2015

Kriminalisasi Pasal Gratifikasi

Kriminalisasi Pasal Gratifikasi

Lalola Easter  ;  Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch
KOMPAS, 17 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SEHARI sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka dalam perkara korupsi. Mantan ajudan Megawati Soekarnoputri itu dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b, Pasal 5 Ayat 2, serta Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Semua pasal ini mengatur penerimaan hadiah atau janji.

Menarik mencermati penggunaan Pasal 12 B Undang-Undang Tipikor karena KPK tidak pernah menggunakan pasal ini untuk menuntut terdakwa korupsi. Lebih menarik lagi mencermati pernyataan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Ronny F Sompie yang menyatakan bahwa Budi Gunawan tidak korupsi karena ia tidak merugikan keuangan negara. Ia hanya menerima pemberian.

Ini bukan kali pertama gratifikasi atau suap tidak dianggap sebagai korupsi. Rudi Rubiandini, terpidana korupsi SKK Migas, pernah menyatakan hal yang sama. Bagi sebagian orang, menerima gratifikasi ataupun suap bukanlah korupsi karena tidak mengakibatkan kerugian negara.

Jika melihat Undang-Undang Tipikor, ada tujuh bentuk tindak pidana korupsi, yaitu perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, suap, penerimaan gratifikasi, konflik kepentingan dalam pengadaan, pemerasan, penggelapan, dan perbuatan curang. Dapat dilihat bahwa tindakan menerima gratifikasi termasuk dalam tindak pidana korupsi.

Mengapa demikian? Paling tidak ada dua alasan untuk mengkriminalisasi gratifikasi. Pertama, karena kebiasaan menerima dan memberi di antara warga masyarakat masih lekat. Kedua, karena pasal ini adalah batu loncatan penerapan norma illicit enrichment (peningkatan harta kekayaan secara tidak sah). Norma illicit enrichment belum diakomodasi dalam peraturan hukum anti korupsi di Indonesia.

Penjelasan Pasal 12 B Undang-Undang Tipikor menyebutkan bahwa gratifikasi adalah segala bentuk pemberian, artinya ketika seorang pegawai negeri atau pejabat negara menerima pemberian di luar pendapatannya yang sah, ia sudah menerima gratifikasi. Pertanyaan selanjutnya, apakah semua pemberian kepada pegawai publik atau penyelenggara negara dapat dipidana dengan pasal gratifikasi?

Disiplin PNS

Larangan menerima gratifikasi sebenarnya diatur pula dalam peraturan pemerintah tentang disiplin pegawai negeri sipil (PNS) sehingga semua pegawai publik dilarang menerima pemberian dalam bentuk apa pun terkait dengan jabatannya. Menerima pemberian dari seseorang berpotensi besar memengaruhi pelaksanaan tugas pegawai publik tersebut, baik secara sadar maupun tidak. Hal ini dapat memengaruhi pegawai publik dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik ataupun pengambilan kebijakan.

Pasal gratifikasi dalam Undang-Undang Tipikor berfungsi preventif dan represif. Langkah ini dapat dilihat dalam kewajiban melaporkan pemberian dalam jangka waktu 30 hari. Implikasi pelaporan adalah ia mendapatkan impunitas dari pemidanaan karena niat jahat melakukan tindak pidana menerima gratifikasi dianggap gugur. Pasal ini sekaligus mengatur kewajiban pembalikan beban pembuktian oleh penerima gratifikasi.

Lalu, penerimaan gratifikasi seperti apa yang dapat dipidana? Pada pasal gratifikasi terdapat frasa berikut, ”Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap…”. Artinya, gratifikasi yang memenuhi unsur-unsur pasal akan ”naik peringkat” menjadi menerima suap.

Kembali ke alasan mengkriminalisasi pasal gratifikasi, alasan kedua penerapan pasal ini adalah sebagai ”batu loncatan” untuk menerapkan norma illicit enrichment. Jika dilihat, pasal ini tidak menyaratkan ada atau tidak adanya perbuatan lanjutan dari penerimaan pemberian oleh pegawai publik karena perbuatan menerima pemberian itu sudah merupakan perbuatan melawan hukum.

Hal ini dapat dilihat sebagai berikut, segala bentuk pemberian kepada pegawai publik adalah ilegal sehingga pegawai publik yang tidak melaporkan pemberiannya dalam jangka waktu 30 hari dapat dianggap menerima suap, sampai dapat dibuktikan sebaliknya atau ia dapat membuktikan bahwa pemberian tersebut tidak berhubungan dengan jabatannya.

Lalu, di mana letak penerapan norma illicit enrichment? Hal ini berkaitan dengan pembuktian hukum, di mana pegawai publik yang dijerat dengan pasal gratifikasi wajib membuktikan bahwa pemberian tersebut tidak berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban dan tugasnya, dan/atau bahwa pemberian tersebut didapat dari sumber yang sah.

Di sinilah letak penerapan norma illicit enrichment, selama pegawai publik tidak dapat membuktikan kedua hal tersebut, ia dapat dipidana karena menerima suap, dan seluruh harta yang tidak dapat dijelaskannya dapat dirampas oleh negara.

Apakah pemberi suap lantas tidak dapat dipidana? Sepatutnya pemberi suap juga dapat dipidana mengingat penerimaan gratifikasi tersebut sudah ”naik peringkat” menjadi penerimaan suap, dengan demikian pemberi hadiah dapat pula dipidana dengan pasal pemberi suap, yaitu Pasal 13 Undang-Undang Tipikor.

Jadi, jika penuntut umum KPK betul-betul menuntut Budi Gunawan dengan pasal gratifikasi yang dianggap suap, si pemberi dapat pula dijerat dengan pasal suap. Inilah potensi besar Pasal 12 B Undang-Undang Tipikor yang belum disadari, termasuk penuntut umum KPK.

Kriminalisasi pasal gratifikasi dapat dimanfaatkan untuk menjerat pegawai publik dan penyelenggara negara yang tidak dapat membuktikan bahwa harta-harta yang diperolehnya berasal dari sumber yang sah, paling tidak hingga norma illicit enrichment diatur dalam Revisi Undang-Undang Tipikor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar