Imlek,
Tionghoa dan Multikulturalisme
Fajar Kurnianto ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Februari 2015
TAHUN Baru Imlek yang jatuh pada
Kamis, 19 Februari 2015, merupakan Tahun Baru Imlek ke-2566, khususnya bagi
semua orang Tionghoa. Bagi mereka, ini hari perayaan terpenting. Perayaan
tahun baru Imlek dimulai di hari pertama bulan pertama Tionghoa, Pinyin,
Zheng Yuè, dalam penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di
tanggal ke-15 (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru Imlek dikenal
sebagai Chúx yang berarti malam pergantian tahun.
Perayaan Imlek bagi warga Tionghoa
dalam konteks Indonesia, lebih dari sekadar peringatan tahun baru, tetapi
juga merupakan selebrasi tahunan warisan dari budaya atau kultur leluhur
mereka. Imlek menegaskan bahwa di mana pun orang yang berdarah Tionghoa, baik
itu yang totok maupun yang peranakan, mereka tetap mempertahankan dan
melestarikan budaya mereka. Mereka merayakan Imlek yang berarti juga
merayakan kebebasan mereka mempertahankan dan melestarikan budaya mereka.
Sesuatu yang sebelum era reformasi sulit dilakukan karena stigma negatif
sebagai `orang asing' yang disematkan kepada mereka oleh masyarakat pribumi
dan kebijakan rezim yang memaknai nasionalisme secara rigid (kaku).
Dalam sejarah Indonesia, orang
Tionghoa dianggap `orang asing' dan sulit diterima orang pribumi. Menurut
Charles Coppel, susahnya etnik Tionghoa diterima kaum nasionalis Indonesia
dimulai sejak zaman kolonial. Masyarakat kolonial membeda-bedakan penduduk
Indonesia berdasarkan ras atau suku bangsa dan pemikiran kaum nasionalis
Indonesia telah banyak dipengaruhi cara berpikir kolonialis Belanda sehingga
mengakibatkan terpisahnya peranakan Tionghoa dari pergerakan nasional
Indonesia. Selain itu, nasionalisme Tionghoa timbul lebih awal daripada
nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Tionghoa inilah yang menjauhkan etnik
Tionghoa, termasuk peranakan dari nasionalisme Indonesia yang dipimpin
pribumi.
Beberapa orang Tionghoa pernah
mencoba untuk mengidentifikasikan diri mereka dengan para nasionalis
Indonesia, misalnya Liem Koen Hian dari Partai Tionghoa Indonesia. Namun,
gerakan ini kurang berhasil (Suryadinata, 1981). Sebenarnya, sejumlah tokoh
prakemerdekaan pada 1930-an, seperti Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Amir
Sjarifuddin mendefinisikan bangsa secara politik dan secara eksplisit
memasukkan etnik Tionghoa, seperti Liem Koen Hian ke dalam konsep Indonesier
(istilah Belanda untuk orang Indonesia).
Pada Maret 1963, Soekarno
memperjelas konsep yang pernah ia lontarkan pada 1945 tentang status orang
Tionghoa dalam wadah negara Indonesia, ketika ia menyampaikan pidato di
Kongres Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Ia
menyatakan bahwa peranakan Tionghoa ialah suku Indonesia. Suku artinya kaki. Bangsa
Indonesia memiliki banyak kaki, sama seperti lipan, yang memiliki kaki Jawa,
kaki Sunda, kaki Sumatra, kaki Irian, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, dan
kaki peranakan Tionghoa. Kaki peranakan ialah salah satu dari kaki-kaki
kebangsaan (Siauw, 1963).
Di era Orde Baru (Orba), HM
Soeharto menerapkan kebijakan asimilasi untuk menggabungkan etnik Tionghoa
yang berasal dari kelompok nonpribumi ke dalam tubuh penduduk asli.
Sehubungan dengan asimilasi, Donald Horowitz membedakan dua jenis asimilasi,
yaitu inkorporasi dan amalgamasi. Yang pertama berarti bahwa satu kelompok
tertentu mengambil identitas kelompok yang lainnya, sedangkan yang kedua
berarti dua kelompok atau lebih yang digabung untuk membentuk sebuah kelompok
yang baru yang lebih besar (Glazer dan
Moynihan, 1975). Model yang diacu Indonesia ialah model inkorporasi.
Sebenarnya, komunitas Tionghoa di
masa lampau lebih menekankan pada konsep kewarganegaraan ketimbang pada
kebangsaan. Kewarganegaraan ialah konsep yang lebih bersifat hukum atau
politik. Tradisi liberal dari kewarganegaraan berkaitan dengan negara dan
diberikan oleh negara ketimbang oleh masyarakat (Yuval-Davis, 1997). Konsep
asli kewarganegaraan berarti hak yang sama dan tugas atau kewajiban yang sama
untuk semua warga negara tanpa memandang ras dan agama (Marshall, 1950).
Dalam konsep Will Kymlicka (1995),
bangsa ialah komunitas sejarah yang kurang lebih lengkap secara kelembagaan
yang menduduki wilayah tertentu atau ta nah air yang berbagi (share) bahasa
dan budaya yang spesifi k. Bangsa dalam pe ngertian sosiologis ini berkaitan
erat de ngan konsep rakyat atau budaya—dan sesungguhnya konsep tersebut
sering kali didefi nisikan dengan istilah-istilah itu.
Di sinilah kemudian
multikulturalisme dianggap sebagai paham yang bisa menyelesaikan ‘masalah
Tionghoa’ dalam bingkai negara Indonesia. Multikulturalisme adalah pengaku an
dan dorongan terhadap pluralisme budaya; multibudaya menjunjung tinggi dan
berupaya untuk melindungi keanekaragaman budaya. Pada saat yang bersama an
memfokuskan diri pada hubungan budaya minoritas dengan budaya mayoritas yang
sering kali tidak seimbang (Jary dan Jary, 1999). Dengan kata lain, ini
merupakan doktrin yang menekankan pada kelebihan prinsip keanekaragaman
budaya dan pemeliharaan kekayaan budaya.
Sebagian orang memandang
multikulturalisme justru makin meruncingkan perbedaan dan berpotensi memecah
belah karena dengan demikian setiap orang merefl eksikan budaya atau kultur
mereka secara terbuka, tajam, dan mencolok, se perti halnya Imlek. Namun,
bagi Will Kymlicka, multikulturalisme atau upaya memajukan keanekaragaman
budaya akan menguntungkan negara yang bersangkutan dan prinsip
kewarganegaraan yang setara akan mempersatukan penduduk jika dibandingkan
dengan pembedaan warga negara yang membedakan hak-hak kelompok di antara
warga negara.
Saat ini tampaknya bukan lagi
masanya memperbincangkan nasionalisme sempit. Orang Tionghoa ialah warga
negara Indo nesia yang secara politik dan hukum di lindungi oleh negara
dengan tetap mem praktikkan budaya mereka. Mantra Binneka Tunggal Ika yang
dahulu hanya berlaku bagi suku bangsa pribumi sudah mencair dengan masuknya
Tionghoa ke dalam kebinnekaan itu.
Hari Raya Imlek yang secara resmi
menjadi hari libur nasional menjadi bukti nyata negara untuk makin memperkaya
budaya Indonesia. Hak berbudaya sudah dijamin negara, tinggal kemudian
kewajiban semua kultur yang ada untuk bergotong-royong dan bekerja sama
memajukan Indonesia. bingkai negara Indonesia. Multikulturalisme adalah
pengakuan dan dorongan terhadap pluralisme budaya; multibudaya menjunjung
tinggi dan berupaya untuk melindungi keanekaragaman budaya. Pada saat yang
bersamaan memfokuskan diri pada hubungan budaya minoritas dengan budaya
mayori tas yang sering kali tidak seimbang (Jary dan Jary, 1999). Dengan kata lain, ini merupakan doktrin
yang menekankan pada kelebihan prinsip keanekaragaman budaya dan pemeliharaan
kekayaan budaya.
Sebagian orang memandang
multikulturalisme justru makin meruncingkan perbedaan dan berpotensi memecah
belah karena dengan demikian setiap orang merefleksikan budaya atau kultur
mereka secara terbuka, tajam, dan mencolok, seperti halnya Imlek. Namun, bagi
Will Kymlicka, multikulturalisme atau upaya memajukan keanekaragaman budaya
akan menguntungkan negara yang bersangkutan dan prinsip kewarganegaraan yang
setara akan mempersatukan penduduk jika dibandingkan dengan pembedaan warga
negara yang membedakan hak-hak kelompok di antara warga negara.
Saat ini tampaknya bukan lagi
masanya memperbincangkan nasionalisme sempit. Orang Tionghoa ialah warga
negara Indonesia yang secara politik dan hukum di lindungi oleh negara dengan
tetap mempraktikkan budaya mereka. Mantra Binneka Tunggal Ika yang dahulu
hanya berlaku bagi suku bangsa pribumi sudah mencair dengan masuknya Tionghoa
ke dalam kebinnekaan itu.
Hari Raya Imlek yang secara resmi
menjadi hari libur nasional menjadi bukti nyata negara untuk makin memperkaya
budaya Indonesia. Hak berbudaya sudah dijamin negara, tinggal kemudian
kewajiban semua kultur yang ada untuk bergotong-royong dan bekerja sama
memajukan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar