Kamis, 19 Februari 2015

Ujung Cerita Praperadilan

Ujung Cerita Praperadilan

Margarito Kamis  ;  Doktor Tata Negara, Staf Pengajar FH
Universitas Khairun Ternate
MEDIA INDONESIA, 17 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SIDANG praperadilan atas permohon an kuasa hukum Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan diPengadilan Negeri Jakarta Selatan berakhir sudah. Senin, 16 Februari, hakim tunggal yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan itu telah menjatuhkan putusannya. Amar putusannya, antara lain, berisi penetapan tersangka terhadap Komjen Budi Gunawan tidak sah.

Akankah berakhirnya sidang praperadilan itu berakibat berakhir pula hiruk-pikuk tentang peresmian Komjen Budi Gunawan, yang ditetapkan menjadi tersangka sehari menjelang DPR menyelenggarakan uji kelayakan dan kepatutan? 

Entahlah. Presiden, begitulah yang dapat dikenali, pernah berucap menunggu putusan itu. Pernyataan tersebut bermakna Presiden menjadikan sidang praperadilan itu sebagai sebab yang menunda keputusannya.

Indah dalam esensi

Dalam ilmu hukum dikenal adagium cessante causa cessat effectus, dari 
penyebabnya dapat dikenali akibatnya. Di samping adagium itu, dikenal juga adagium cessante ratione legis, cessat ets ipsa les; bila dasar dari hukum itu berhenti, hukumnya sendiri pun berhenti. Mungkin dua adagium tersebut cukup masuk akal digunakan dalam menggambarkan putusan hakim tunggal praperadilan itu.

Berstatus bukan sebagai penyelenggara negara karena tempus delicti-nya 20042006, tahun-tahun Komjen Budi masih berpangkat kombes, jelas menjadi sebab hilangnya hukum yang melahirkan yang disematkan kepada Komjen Budi. Praktis, status sebagai kombes, dengan jabatan Kabirobinkar, menurut Keppres Nomor 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, berkualifikasi sebagai pejabat eselon dua.

Jika ditilik dari sudut itu, hukumnya jelas; Komjen Budi tidak memiliki kapasitas hukum sebagai penyelenggara negara. Soal kapasitas tersebut memang mesti dikenali secara cermat. Kapasitas subjek yang hendak disidik KPK menentukan atau menjadi dasar bekerjanya kewenangan KPK. Mengapa bisa begitu? Ini disebabkan semata-mata oleh norma yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mengatur kualifikasi subjek hukum, juga jumlah kerugian keuangan negara, sadar atau tidak, terlepas dari hal itu merupakan kebijakan pembentuknya, merupakan pembatasan atas kewenangan organ yang diberi kewenangan itu. Dalam kasus ini, kewenangan KPK memang terbatas. Batasnya ialah subjek harus berkapasitas penyelenggara negara, penegak hukum, kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari perbuatan subjek harus lebih dari Rp1 miliar dan perbuatan itu menarik perhatian khalayak.

Itulah batas jangkauan kewenangan KPK.Batas tersebut memiliki sifat fundamental, ditilik dari sudut prinsip-prinsip negara hukum demokratis. Berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum demokratis pula, batas jangkauan itu mutlak tak bisa dilampaui atau dicampuradukkan. Dalam hukum tata negara berlaku prinsip setiap organ dan atau fungsionarisnya hanya bisa melakukan tindakan-tindakan hukum sepanjang tindakan itu menjadi kewenangannya. Kewenangan umumnya bersumber dari UU atau diperintahkan oleh UU, atau dalam langgam ilmu hukum tata negara positif dikenal dengan terminologi peraturan perundangan.

Pembatasan kewenangan, untuk tak mengatakan pembatasan kekuasaan, se suai dengan sejarahnya berinduk pada kerinduan untuk memastikan bersinarnya kemanusiaan setiap orang. Pembatasan kekuasaan, dalam bahasa yang lain, di maksudkan untuk membuat negara dan kekuasaan berkhidmat pada kemanusiaan. Dengan membatasi kekuasaan, tercegahlah, setidaknya secara teoretis, kesewenang wenangan.

Agar terjamin, negara hukum demokratis tidak hanya menciptakan prosedur penggu naan kewenangan itu, melainkan pada saat yang sama diciptakan pula organ tertentu yang diberi kewenangan mengecek penggunaan kewenangan itu. Pada titik itu, hu kum yang mengatur prosedur penggunaan kewenangan dan hukum yang mengatur substansi perbuatan sama dalam nilai dan maknanya. Sungguh terasa indah dalam esensinya.

Lantik

Amar putusan hakim praperadilan dalam ka sus tersebut nyata-nyata mengualifikasi tindakan penetapan Komjen Budi Gunawan menjadi, tersangka tidak sah. Amar putusan itu, sebagaimana putusan pengadilan dalam setiap perkara, didahului dengan pertimbangan, ratio decidendi. Pertimbangan memang bukan hukum, tetapi tanpa pertimbangan putusan itu tak bernilai seka ligus batal.

Terdapat serangkaian pertimbangan, di antaranya tersangka tak memiliki kapasi tas sebagai penyelenggara negara. Unsur itu memiliki sifat sebagai hal hukum yang fundamental dan determinatif. Menyandang sifat itu menimbulkan serangkaian konsekuensi hukum, di antaranya sebagai hal hukum yang menghalangi, bahkan mengesampingkan kewenangan KPK, untuk misalnya berkehendak menyidik kembali kasus tersebut.

Praktis, andai muncul pendapat yang menyatakan praperadilan, sesuai dengan sifat hukumnya tidak menyangkut substansi-materi-perkara sehingga KPK masih dapat menyidik kasus itu, yang harus dipastikan terlebih dahulu ialah apakah Komjen Budi berkapasitas penyelenggara atau tidak. Faktanya, kapasitas itu tidak dimiliki Komjen Budi. Pada titik ini tidak lagi tersedia ruang kewenangan untuk KPK kembali menyidik kasus itu.

Konsekuensi logis lainnya yang timbul dari putusan praperadilan tersebut ialah demi hukum hilanglah status tersangka yang ditetapkan kepada Pak Komjen Budi Gunawan. Lain lagi soalnya bila ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang menyatakan sebaliknya. Sejauh tidak ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang menyatakan sebaliknya, demi hukum, status tersangka yang dilekatkan pada Komjen Budi serta-merta hilang.

Putusan praperadilan itu tentu berguna bagi Pak Komjen Budi Gunawan, juga Pak Presiden. Mengapa demikian? Kedua subjek hukum memiliki hubungan hukum sejak Pak Presiden menominasikan Pak Budi menjadi Kapolri ke DPR dan usul itu disetujui DPR. Pada tahap itulah tercipta hubungan hukum antara Pak Budi dan Pak Presiden. Hubungan hukum itu berupa Pak Budi memiliki hak untuk diresmikan Pak Presiden memangku jabatan Kapolri.

Mungkin itu sebabnya, Pak Presiden sebagaimana telah diketahui umum menunjuk praperadilan, yang menghebohkan itu. Menunggu selesainya praperadilan sama nilai hukumnya dengan menjadikan praperadilan yang berlangsung kurang lebih dua minggu itu sebagai hal hukum yang menjadi sebab Presiden menangguhkan pelantikan Pak Budi.

Kini hal hukum yang menjadi sebab itu telah hilang, maka akibat berupa penundaan pelantikan juga serta-merta hilang. Hilangnya akibat hukum itu menimbulkan hukum baru berupa kewajiban Pak Presiden meresmikan Komjen Budi Gunawan memangku jabatan Kapolri. Begitulah ujung cerita sederhana praperadilan yang menghebohkan itu terhadap yang terhormat Bapak Presiden dan yang terhormat Bapak Komisaris Jenderal Budi Gunawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar