Ujung
Cerita Praperadilan
Margarito Kamis ; Doktor Tata Negara, Staf Pengajar FH
Universitas Khairun Ternate
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Februari 2015
SIDANG praperadilan atas permohon
an kuasa hukum Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan diPengadilan Negeri
Jakarta Selatan berakhir sudah. Senin, 16 Februari, hakim tunggal yang
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan itu telah menjatuhkan
putusannya. Amar putusannya, antara lain, berisi penetapan tersangka terhadap
Komjen Budi Gunawan tidak sah.
Akankah berakhirnya sidang
praperadilan itu berakibat berakhir pula hiruk-pikuk tentang peresmian Komjen
Budi Gunawan, yang ditetapkan menjadi tersangka sehari menjelang DPR
menyelenggarakan uji kelayakan dan kepatutan?
Entahlah. Presiden, begitulah
yang dapat dikenali, pernah berucap menunggu putusan itu. Pernyataan tersebut
bermakna Presiden menjadikan sidang praperadilan itu sebagai sebab yang
menunda keputusannya.
Indah dalam esensi
Dalam ilmu hukum dikenal adagium cessante causa cessat effectus, dari
penyebabnya dapat dikenali akibatnya. Di samping adagium itu, dikenal juga
adagium cessante ratione legis, cessat ets ipsa les; bila dasar dari hukum
itu berhenti, hukumnya sendiri pun berhenti. Mungkin dua adagium tersebut
cukup masuk akal digunakan dalam menggambarkan putusan hakim tunggal
praperadilan itu.
Berstatus bukan sebagai
penyelenggara negara karena tempus delicti-nya
20042006, tahun-tahun Komjen Budi masih berpangkat kombes, jelas menjadi
sebab hilangnya hukum yang melahirkan yang disematkan kepada Komjen Budi.
Praktis, status sebagai kombes, dengan jabatan Kabirobinkar, menurut Keppres
Nomor 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara
Republik Indonesia, berkualifikasi sebagai pejabat eselon dua.
Jika ditilik dari sudut itu,
hukumnya jelas; Komjen Budi tidak memiliki kapasitas hukum sebagai
penyelenggara negara. Soal kapasitas tersebut memang mesti dikenali secara
cermat. Kapasitas subjek yang hendak disidik KPK menentukan atau menjadi
dasar bekerjanya kewenangan KPK. Mengapa bisa begitu? Ini disebabkan
semata-mata oleh norma yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mengatur kualifikasi subjek hukum,
juga jumlah kerugian keuangan negara, sadar atau tidak, terlepas dari hal itu
merupakan kebijakan pembentuknya, merupakan pembatasan atas kewenangan organ
yang diberi kewenangan itu. Dalam kasus ini, kewenangan KPK memang terbatas. Batasnya
ialah subjek harus berkapasitas penyelenggara negara, penegak hukum, kerugian
keuangan negara yang ditimbulkan dari perbuatan subjek harus lebih dari Rp1
miliar dan perbuatan itu menarik perhatian khalayak.
Itulah batas jangkauan kewenangan
KPK.Batas tersebut memiliki sifat fundamental, ditilik dari sudut
prinsip-prinsip negara hukum demokratis. Berdasarkan prinsip-prinsip negara
hukum demokratis pula, batas jangkauan itu mutlak tak bisa dilampaui atau
dicampuradukkan. Dalam hukum tata negara berlaku prinsip setiap organ dan
atau fungsionarisnya hanya bisa melakukan tindakan-tindakan hukum sepanjang
tindakan itu menjadi kewenangannya. Kewenangan umumnya bersumber dari UU atau
diperintahkan oleh UU, atau dalam langgam ilmu hukum tata negara positif
dikenal dengan terminologi peraturan perundangan.
Pembatasan kewenangan, untuk tak
mengatakan pembatasan kekuasaan, se suai dengan sejarahnya berinduk pada
kerinduan untuk memastikan bersinarnya kemanusiaan setiap orang. Pembatasan
kekuasaan, dalam bahasa yang lain, di maksudkan untuk membuat negara dan
kekuasaan berkhidmat pada kemanusiaan. Dengan membatasi kekuasaan,
tercegahlah, setidaknya secara teoretis, kesewenang wenangan.
Agar terjamin, negara hukum
demokratis tidak hanya menciptakan prosedur penggu naan kewenangan itu,
melainkan pada saat yang sama diciptakan pula organ tertentu yang diberi kewenangan
mengecek penggunaan kewenangan itu. Pada titik itu, hu kum yang mengatur
prosedur penggunaan kewenangan dan hukum yang mengatur substansi perbuatan
sama dalam nilai dan maknanya. Sungguh terasa indah dalam esensinya.
Lantik
Amar putusan hakim praperadilan
dalam ka sus tersebut nyata-nyata mengualifikasi tindakan penetapan Komjen
Budi Gunawan menjadi, tersangka tidak sah. Amar putusan itu, sebagaimana
putusan pengadilan dalam setiap perkara, didahului dengan pertimbangan, ratio decidendi. Pertimbangan memang
bukan hukum, tetapi tanpa pertimbangan putusan itu tak bernilai seka ligus
batal.
Terdapat serangkaian pertimbangan,
di antaranya tersangka tak memiliki kapasi tas sebagai penyelenggara negara.
Unsur itu memiliki sifat sebagai hal hukum yang fundamental dan determinatif.
Menyandang sifat itu menimbulkan serangkaian konsekuensi hukum, di antaranya
sebagai hal hukum yang menghalangi, bahkan mengesampingkan kewenangan KPK,
untuk misalnya berkehendak menyidik kembali kasus tersebut.
Praktis, andai muncul pendapat
yang menyatakan praperadilan, sesuai dengan sifat hukumnya tidak menyangkut
substansi-materi-perkara sehingga KPK masih dapat menyidik kasus itu, yang
harus dipastikan terlebih dahulu ialah apakah Komjen Budi berkapasitas
penyelenggara atau tidak. Faktanya, kapasitas itu tidak dimiliki Komjen Budi.
Pada titik ini tidak lagi tersedia ruang kewenangan untuk KPK kembali
menyidik kasus itu.
Konsekuensi logis lainnya yang
timbul dari putusan praperadilan tersebut ialah demi hukum hilanglah status tersangka
yang ditetapkan kepada Pak Komjen Budi Gunawan. Lain lagi soalnya bila ada
putusan pengadilan yang lebih tinggi yang menyatakan sebaliknya. Sejauh tidak
ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang menyatakan sebaliknya, demi
hukum, status tersangka yang dilekatkan pada Komjen Budi serta-merta hilang.
Putusan praperadilan itu tentu
berguna bagi Pak Komjen Budi Gunawan, juga Pak Presiden. Mengapa demikian?
Kedua subjek hukum memiliki hubungan hukum sejak Pak Presiden menominasikan
Pak Budi menjadi Kapolri ke DPR dan usul itu disetujui DPR. Pada tahap itulah
tercipta hubungan hukum antara Pak Budi dan Pak Presiden. Hubungan hukum itu
berupa Pak Budi memiliki hak untuk diresmikan Pak Presiden memangku jabatan
Kapolri.
Mungkin itu sebabnya, Pak Presiden
sebagaimana telah diketahui umum menunjuk praperadilan, yang menghebohkan
itu. Menunggu selesainya praperadilan sama nilai hukumnya dengan menjadikan
praperadilan yang berlangsung kurang lebih dua minggu itu sebagai hal hukum
yang menjadi sebab Presiden menangguhkan pelantikan Pak Budi.
Kini hal hukum yang
menjadi sebab itu telah hilang, maka akibat berupa penundaan pelantikan juga
serta-merta hilang. Hilangnya akibat hukum itu menimbulkan hukum baru berupa
kewajiban Pak Presiden meresmikan Komjen Budi Gunawan memangku jabatan
Kapolri. Begitulah
ujung cerita sederhana praperadilan yang menghebohkan itu terhadap yang
terhormat Bapak Presiden dan yang terhormat Bapak Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar