Kamis, 05 Februari 2015

Hukuman Mati dan Kejahatan Narkotik

Hukuman Mati dan Kejahatan Narkotik

Todung Mulya Lubis  ;  Ketua Dewan Pendiri Imparsial,
Pengacara Terpidana Mati anggota Bali Nine
KOMPAS, 05 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Saya percaya bahwa hukuman mati bukan hanya hukuman yang tidak adil, tapi juga hukuman yang tak menimbulkan efek jera (deterrence) atas para pelaku tindak kejahatan apa pun. Banyak studi yang membuktikan bahwa kejahatan pembunuhan dan narkotik tetap tak berkurang di negara-negara yang menganut hukuman mati. Rasanya inilah juga yang membuat mayoritas negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati (abolition) atau setidaknya melakukan moratorium yang notabene bisa disebut sebagai abolition de facto.

Mengapa harus menghapuskan hukuman mati? Pertanyaan inilah yang musti dijawab secara terang. Tentu alasan utama saya adalah bahwa "hak untuk hidup" itu adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945 sebagai hak yang tak bisa diganggu gugat dalam keadaan apa pun (non-derogable right). Ini berlaku secara universal, dan siapa saja yang berkiprah dalam hak asasi manusia akan tahu bahwa non-derogable right itu adalah hak yang paling asasi. Di Indonesia, legislasi yang mengatur hak asasi manusia juga ada yang memuat pasal hukuman mati. Ini adalah potret sikap mendua atau standar ganda, a contradiction in terminis.

Tidak ada sistem peradilan pidana yang sempurna, tanpa kekeliruan dan kesalahan. Di negara yang judicial corruption masih sangat kental, miscarriage of justice selalu terjadi. Di Amerika pada 1993, ada 48 terpidana mati yang dibebaskan dari hukuman karena terbukti mereka bukanlah pelaku tindak pidana yang dituduhkan, padahal mereka sudah ditahan selama 20 tahun. Angka ini berasal dari laporan yang berjudul Innocence and the Death Penalty: Assessing the Danger of Mistaken Execution yang disampaikan ke parlemen (congress).

Ketika hukuman mati dijatuhkan, tak akan ada koreksi yang bisa dilakukan jika ternyata ada kesalahan. Karena itu, hukum pidana menyediakan alternatif hukuman yang sangat berat, yaitu hukuman seumur hidup. Selain itu, setiap orang seharusnya diberikan hak untuk memperbaiki dirinya, membayar kesalahan yang dia lakukan, dan memberi kontribusi untuk masyarakat. Pada hakikatnya, tujuan pemidanaan itu adalah memperbaiki dan merehabilitasi seseorang. Dalam kejahatan hak asasi manusia berat sekalipun ada mekanisme pemaafan melalui mekanisme kebenaran dan rekonsiliasi, di mana dikenal adagium: to forgive, not to forget. Bisakah semangat itu diintegrasikan dalam sistem pemidanaan kita?

Dalam sistem hukum kita sebetulnya prinsip pemaafan ini bukan tak dikenal. UUD 1945 mengenal apa yang disebut sebagai "grasi", di mana seseorang bisa memohon pengampunan kepada presiden. Di sini presiden diberikan kewenangan konstitusional untuk memberi maaf setelah lebih dulu memperoleh opini hukum dari Mahkamah Agung. Sayangnya, penolakan grasi yang disampaikan oleh presiden itu tak disertai dengan pertimbangan sama sekali.

Saya kira pemohon grasi haruslah dilihat sebagai manusia (human), bukan sebagai angka (number). Saya khawatir bahwa permohonan grasi yang ditulis biasanya dengan berbagai alasan telah ditolak hanya dengan membaca apa yang tertulis di atas kertas, di mana Mahkamah Agung hanya membaca, dan presiden juga hanya berpegang pada apa yang tertulis. Kalau ini yang terjadi, fungsi grasi menjadi tak bermakna karena menolak permohonan grasi hanya berdasar bacaan tertulis tanpa assessment nyata terhadap manusianya, jelas tak akan memenuhi sasaran, apalagi keadilan.

Hukuman mati akan selalu menimbulkan silang pendapat, pro-kontra. Tapi, jika kita melihat perdebatan di tingkat internasional, khususnya PBB, hukuman mati itu sudah disimpulkan sebagai hukuman yang tak lagi etis dilakukan.

Khusus mengenai kejahatan narkotik, pendapat umum yang berlaku di tingkat PBB adalah bahwa kejahatan narkotik tak termasuk the most serious crime dan karenanya tak harus dijatuhkan hukuman mati. Mengapa? Karena Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik memang memungkinkan buat negara yang belum siap untuk tetap menjatuhkan hukuman mati untuk the most serious crimes. Tapi Indonesia, meskipun menduduki posisi sebagai anggota Komisi Hak Asasi Manusia PBB, tak mengindahkan konsensus internasional ini, dan tetap menjatuhkan hukuman mati buat kejahatan narkotik.

Dalam konteks pembelaan terhadap nasib tenaga kerja Indonesia yang berserakan di banyak negara, yang menerima hukuman mati untuk pelbagai jenis kejahatan, penghapusan atau setidaknya moratorium hukuman mati pasti akan membantu. Apabila kita tetap mempertahankan hukuman mati, negara-negara di mana hukuman mati dijatuhkan untuk para tenaga kerja Indonesia tersebut akan gampang sekali menolak pembelaan meniadakan hukuman mati. Di mana moralitas pembelaan itu jika dalam waktu bersamaan kita juga memperlakukan hukuman mati? Resiprositas (timbal balik) berlaku di sini. Jadi, kalau ingin pembelaan terhadap warga negara kita yang dijatuhi hukuman mati dilakukan secara efektif, prasyarat penting untuk itu adalah menghapuskan atau setidaknya memoratorium hukuman mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar