Senin, 09 Februari 2015

Fanatis, Penipu, Ekonom

Fanatis, Penipu, Ekonom

Jean-Marie Guehenno ;  Mantan Wakil Sekretaris Jenderal PBB
urusan Penjagaan Perdamaian
KORAN TEMPO, 07 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Di seantero dunia tampaknya krisis tengah mencengkeram politik di banyak negara. Dalam pemilu demi pemilu, besaran peserta pemilih terus merosot. Politikus di mana-mana dicerca. Partai politik, yang berusaha tetap relevan dalam situasi yang buruk ini, terpaksa memilih untuk melacurkan diri dalam ekstremisme atau berisiko tenggelam dalam gerakan populis anti-kemapanan.

Belum pernah terjadi sebelumnya sejak berakhirnya Perang DuniaII, bahwa uangtelah memainkan peran yang begitu penting dalam politik, mengalahkan kekuatan ide. Di Amerika Serikat, misalnya, gemerincing miliaran dolar yang mengalir ke dalampundi-pundi dana kampanye pemilu menenggelamkan suara pemilih. Di bagian dunia di mana rule of law lemah, jaringan kriminal dan korupsi menggantikan proses demokratis.

Pendeknya, upaya mengejar kebaikan kolektif itu tampak aneh. Kondisi ini mulai terjadi padaakhir Perang Dingin ketika runtuhnya ideologi komunis yangbangkrut itudengan mudahnya ditafsirkan sebagai kemenangan pasar. Sementara itu, komunisme dicampakkan, begitu pula yang terjadi dengan konsep negara sebagai agen di mana ambisi dan kepentingan kolektif kita bisa diupayakan.

Individu menjadi agen utama perubahan-individu dianggap sebagai tipe aktor rasional yang menjadi model ekonom. Identitas individu seperti ini bukan bersumber dari kepentingan kelas atau karakteristik sosiologis lainnya, melainkan dari logika pasar yang mendikte maksimalisasi kepentingan sendiri, apakah itu sebagai produsen, konsumen, atau pemilih.

Sesungguhnya, ekonom telah diletakkan di sebuahtumpuan dandiabadikan dalam lembaga-lembaga sepertibank sentral dan otoritas persaingan yang telah dengan sengajadipisahkan dan dibuat independen dari politik. Akibatnya, pemerintah telah ditempatkan pada posisi pinggiran alokasi sumber daya pasar.

Krisis finansial global yang terjadi pada2008 karena resesi dankesenjangan pendapatan yang makin melebar dengan cepat serta ketidaksetaraan kekayaan telah menusukgelembung kemenangan ekonom itu. Politik, bukannya bangkit untuk menempati kedudukannya, terus didiskreditkan, sementara para pemimpin utamanya-terutama di Amerika Utara dan Eropa-mengemukakan teori-teori ekonomi untuk membenarkan pilihan-pilihan kebijakannya.

Upaya mengejar pencapaian individu merupakan lambang masa kini yang memudarkan dimensi kolektif nasib manusia. Namun kebutuhan mendalam manusia untuk menjadi bagian dari suatu kelompok masih belum sirna. Ia tetap ada, tapi tanpa salurankeluar yang kredibel. Proyek-proyek nasional tidak bergema dan apa yang dinamakan masyarakat internasional itu tetap merupakansesuatu yang abstrak. Hasrat terbentuknya komunitas yang tidak terpenuhi ini dapat dirasakan dengan akut terutama oleh generasi muda-termasuk, misalnya, oleh jihadis-jihadis muda.

Sesungguhnya, politikus-politikus jihadis dan tokoh-tokoh agama adalah mereka yang pertama megenali kekosongan ini, dan mereka dengan cepat mengisinya. Paus Fransiskus, Vladimir Putin, Abu Bakr al-Baghdadi, dan Marine Le Pen tidak memiliki persamaan satu sama lain. Tapi mereka berbagi satuwawasan:dambaan terciptanya komunitas yang didukung oleh nilai-nilai yang sama,bukan oleh kebutuhan fungsional.

Krisis politik di banyak negara yang terjadisaat ini punya konsekuensi yang menggema jauh melintasi batas negara. Nasionalisme yang sempit dan fundamentalisme agama akan tetap ada, dan bersamanya terorismedipeluk ekstremis dari segala kelompok, karena kedua fenomena ini memang sesuaidengan zaman individu:ia memberikan jawaban imajiner pada angstindividu, bukan jawaban politik atas tantangan kolektif yang ada. Tidak berbentuknya gerakan-gerakan ini-yang sering disalurkan melalui tokoh-tokoh yang karismatik-memungkinkan setiap individu memproyeksikanimpiannya pada gerakan-gerakan itu, sehingga membuatnya sulit dilawan dalam kerangka politik tradisional.

Jika politik hendak mengambil kembaliladang nilai-nilai itu dari kelompok-kelompok fanatis, penipu, dan ekonom itu, ia harus dibangun kembali dari bawah.Lebih dari separuh populasi dunia sekarang hidup di kota-kota, dan setiap kebangkitan kembali politik harus mampu mengimbangi daya tarik komunitas-komunitas maya yang besar itu dengan masyarakat-masyarakat kota yang pegas. Masyarakat harus dilibatkan dalam proses politik, diberikan pendidikan mengenai soal-soal publik, dan dibekali platform yang riil, (bukan yang maya semata) untuk menyuarakan perbedaan dan memperdebatkan pandangan-pandangan alternatif.

Tapi yang paling utama, politikus-politikus jangan lagi mencoba menopang kredibilitasnya yang sudah merosot itu dengan kepura-puraanilmu ekonomi. Politik dimulai di mana ekonomi kontemporerberakhir-dengan etika dan upaya menciptakan suatu masyarakat yang teratur dengan adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar