Eksepsionalisme
Indonesia
Faried F Saenong ; Peneliti pada Pusat Studi
Alquran dan The Nusa Institute
|
KORAN
SINDO, 21 Februari 2015
Dalam sebuah workshop bertajuk ”Female Islamic Authority in Comparative Perspective: Exemplars,
Institutions, Practices” yang diadakan 8- 9 Januari 2015 di KITLV Leiden,
diskusi tentang eksepsionalisme Indonesia kembali mengemuka.
Hampir semua paper dalam workshop yang diurus David Kloos
(Indonesanis muda di KITLV) dan Mirjam Kunkler (Princeton University) itu membahas
berbagai model otoritas ulama perempuan di Iran, Tajikistan, Thailand,
Singapura, Indonesia, dan India. Mungkin oleh kekhasannya, di sini selalu
saja berlangsung diskusi tentang Indonesian exceptionalism (keterkecualian
Indonesia).
Secara khusus, paper penulis berjudul ”Exercising
Religious Authority: Female Islamic Authority in Majelis Taklim Circles in
Jakarta” juga menyedot perhatian tentang eksepsionalisme Indonesia.
Exceptionalism mengandaikan adanya model budaya yang melekat kuat pada masyarakat
tertentu–yang sulit dipengaruhi atau berubah oleh faktor eksternal.
Sejak muncul dalam konteks Weberianisme (yang awalnya
meyakini hanya Protestanisme yang mampu menerima demokrasi dan modernitas),
istilah exceptionalism sangat bernuansa negatif. Negara- negara Arab,
misalnya, disebut sebagai exceptionalism karena hanya mereka yang tidak dapat
menerapkan dan menjalankan demokrasi secara baik.
Menariknya, eksepsionalisme Indonesia justru bernuansa
positif. Dalam banyak diskursus ilmiah di berbagai disiplin ilmu, Indonesia
selalu dikecualikan secara positif. Dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia
selalu mendapat pengecualian dengan dibedakan dari Malaysia, Singapura, dan
Thailand dalam hal tren negatif tentang Islam dan masyarakat muslim.
Dalam konteks dunia Islam pun, Indonesia selalu
dikecualikan sebagai satusatunya negara berpenduduk muslim yang dapat
mengembangkan demokrasi, baik secara teoretis, maupun dengan pengayaan
melalui kreasi lokalitas. Dalam ekspresi yang lain, demokrasi di Indonesia kuat
dan menguat karena ditopang oleh semangat moderasi para elite dan anggota
masyarakat.
Dalam workshop di Leiden tersebut, Indonesia kembali
disebut eksepsional karena memiliki banyak eksemplar dan institusi yang
menopang terbentuknya otoritas ulama perempuan sejak dulu hingga kini.
Sebelum Islam datang ke Indonesia, perempuan telah menikmati otoritas politik
dengan adanya ratu-ratu yang berkuasa.
Perempuan-perempuan berstatus sultanah, pahlawan dan
pejuang di berbagai bidang, mudah ditemukan di Indonesia. Dalam konteks
keulamaan, Indonesia telah melahirkan ulama perempuan model Indonesia, meski
tidak terekspos secara berimbang dengan ulama laki- laki. Kita mungkin bisa
mengingat-ingat peran Rahmah El-Yunusiah, Nyai Ahmad Dahlan, Nyai Khiriyah
Hasyim Asyari, Nyai Sholihah Wahid Hasyim dalam bidang pendidikan perempuan
Islam di awal Abad 20.
Di masa sekarang ini, sebagaimana dibahas dalam lima
makalah tentang ulama perempuan Indonesia dalam workshop tersebut, beberapa
individu dan berbagai institusi tampak terlibat dalam reproduksi ulama
perempuan. Proses reproduksi itu dilakukan secara sadar dan terstruktur dalam
lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia.
MUI, dengan program
Pendidikan Kader Ulama (PKU), yang awalnya hanya menerima laki-laki, telah
melibatkan peserta perempuan. Secara khusus, LSM Rahima telah menjalankan
program Pengaderan Ulama Perempuan (PUP) sejak 2005 dengan melibatkan nyai
(istri kiai) dan ning (anak perempuan kiai) yang memiliki potensi besar dari
berbagai pesantren di Indonesia.
Tradisi kitab kuning selalu menjadi bagian penting dalam
program ini. NU dan Muhammadiyah juga melakukan reproduksi yang sama sehingga
dapat terlibat dalam forum bahtsul masail dan majlis tarjih yang memutuskan
banyak hal tentang hukum Islam di Indonesia.
Lingkungan majelis taklim (MT) di Jakarta juga cukup
memiliki model dalam reproduksi muballighah yang berotoritas di lingkungannya
masing-masing. Kehadiran Tuti Alawiyah, Suryani Thahir dan Faizah Ali adalah
sosok ulama perempuan yang mewarisi otoritas keagamaan dari bapak mereka yang
ulama besar.
Ditambah dengan pewarisan tradisi keulamaan dan keilmuan
dari Indonesia (MT, pesantren, dan IAIN) dan Mesir (Al-Azhar), mereka mampu
membangun otoritas keagamaan yang diakui secara nasional. Hal ini kemudian
terdiseminasi secara efektif dan terstruktur dalam lingkungan majelis taklim
yang telah menjadi fenomena luar biasa di Indonesia.
Individu dan institusi seperti ini yang jarang–untuk
mengatakan tidak ada–ditemui di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim
lain. Paper yang mengangkat ulama perempuan dari negara lain lebih fokus pada
model alamiah (Iran dan India), atau memang peran otoritas keagamaan yang
sulit dilakukan oleh ulama laki-laki (Tajikistan).
Meski dengan model otoritas keagamaan yang telah
terfragmentasi sedemikian rupa, Indonesia mampu hadir sebagai negara muslim
yang dapat beradaptasi secara cepat dan tepat dengan demokrasi dan
modernitas. Akademisi seperti Henk Nordholt, Mirjam Kunkler dan Ben Soares
yang terlibat aktif dalam diskusi di workshop ini pun mengakui banyak hal
bahwa Indonesia selalu menjadi pengecualian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar