Konsumen
Maskapai Semakin Tak Terlindungi
M Said Sutomo ; Ketua Yayasan Lembaga
Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim
|
JAWA
POS, 21 Februari 2015
BERITA Jawa Pos (20/2) –ratusan penumpang maskapai
penerbangan Lion Air mendapat pengalaman terburuk dalam liburan Imlek 2015–
seolah-olah menegaskan bahwa masyarakat konsumen barang dan/atau jasa di
negeri ini tak akan pernah mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur
dalam UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Terbukti, memasuki tahun
2015 ini, ada beberapa kejadian mencolok yang merugikan konsumen yang
menimbulkan kerugian moral, material, bahkan kerugian jiwa manusia yang tak
sedikit nilainya.
Ingatan kita belum reda terhadap konsumen korban pesawat
AirAsia QZ8501, bahkan penyelesaiannya pun belum kunjung tuntas sampai saat
ini. Dalam waktu hampir bersamaan, muncul dampak negatif atas pembekuan
penerbangan 61 pesawat dari beberapa maskapai penerbangan yang tak memiliki
izin terbang oleh Menhub Ignasius Jonan karena kebijakannya tak diiringi
dengan solusi perlindungan konsumen. Itu baru kerugian konsumen di sektor
jasa penerbangan yang mencolok ke permukaan publik.
Belum terhitung kerugian konsumen di bidang produk barang
seperti telah ditemukannya berupa ribuan wafer kedaluwarsa siap edar yang
menjadi konsumsi anak-anak kita yang ditangkap Satreskrim Polrestabes
Surabaya. Belum lagi kerugian dua pasien RS Siloam yang meninggal Kamis
(12/2) gara-gara disuntik obat produk PT Kalbe Farma berisi kandungan asam
Tranexamic yang merupakan bahan baku obat injeksi penghenti pendarahan dengan
merek Kalnex tertukar dengan bahan baku obat injeksi anestesi merek Buvanest
Spinal.
Kejadian tersebut adalah peristiwa-peristiwa kerugian
konsumen yang terekspos ke publik. Masih banyak peristiwa kerugian konsumen
lain yang sifatnya individual dalam keseharian hidupnya di pasar tradisional
maupun di pasar modern namun tak terekspos ke publik. Karena apa peristiwa
itu terus terjadi? Karena selama ini para pelaku usaha yang telah nyata-nyata
terbukti melakukan pelanggaran UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen
(PK) tak pernah diseret ke meja hijau oleh pemerintah selaku regulator
sebagaimana diamanatkan dalam pasal 46 ayat (1) huruf d.
Hak gugat pemerintah itu dinyatakan: Gugatan atas
pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh pemerintah dan/atau instansi
terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan
mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Selain itu, gugatan dapat dilakukan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli
waris yang bersangkutan, kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang
sama, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat.
Namun, dalam beberapa kenyataan sejak UUPK diundangkan,
belum pernah ada perusahaan pelanggar UUPK di negeri ini yang diseret ke
pengadilan sampai mempunyai kekuatan hukum tetap dengan menerima sanksi
seperti ditetapkan dalam pasal 60 berupa sanksi administrasi ganti rugi
paling banyak Rp 200 juta; sanksi pidana pasal 61, yakni penjara paling lama
lima tahun, atau denda paling banyak Rp 2 miliar (pasal 62 ayat 1); dan
sanksi pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak
Rp 500 juta.
Di dalam UUPK, ada empat kategori pelanggaran pelaku
usaha. Pertama, pelanggaran terhadap kewajiban pelaku usaha. Kedua,
pelanggaran terhadap larangan-larangan pelaku usaha. Ketiga, pelanggaran
klausul baku. Keempat, pelanggaran tanggung jawab pelaku usaha.
Misalnya, ada pelanggaran pelaku usaha terhadap larangan
pasal 16 UUPK, bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
melalui pesanan dilarang untuk: a. tidak menepati pesanan dan/atau
kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan; b. tidak
menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi. Dengan demikian, Lion
Air yang penerbangannya delayed sehingga merugikan konsumen dapat
dikualifikasikan melanggar larangan pelaku usaha dalam pasal 16 UUPK karena
tak memberikan manfaat prestasinya.
Karena Lion Air patut diduga melanggar pasal 16 UUPK, ada
konsekuensi sanksi pidana. Karena itu, penyidik pejabat negeri sipil (PPNS)
di lingkungan kementerian perhubungan, dalam hal ini PPNS di otoritas bandara
setempat, dapat melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penyidik di
bidang perlindungan konsumen. Sebab, UUPK pasal 59 memberikan wewenang khusus
kepada PPNS sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yang berlaku.
Karena ada dugaan tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen dalam kasus Lion Air, PPNS berwenang melakukan pemeriksaan yang
berkenaan dengan tindak pidana di tempat kejadian. Selain itu, PPNS wajib
memeriksa direksi/pengurus Lion Air yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang perlindungan konsumen. Karena itu, seharusnya PPNS telah meminta
keterangan dan bahan bukti dari direksi/pengurus Lion Air sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. Namun, dalam proses penyidikan
itu, PPNS memberitahukan dan melaporkan hasilnya kepada penyidik pejabat
polisi.
Selama langkah-langkah hukum semacam itu tidak dilakukan
secara proaktif di lingkungan Kemenhub, termasuk juga di lingkungan
kementerian lainnya, penegakan hukum perlindungan konsumen tak akan pernah
terwujud di muka bumi Nusantara ini. Masyarakat konsumen –penduduk Indonesia
yang berjumlah 250 juta– akan selalu terancam keamanan, kenyamanan,
kesehatan, dan keselamatan jiwanya ketika mengonsumsi produk barang dan/atau
jasa, terutama jasa penerbangan.
Pemberian kompensasi sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Perhubungan No PM 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara tak
cukup untuk menjamin peristiwa delay serupa tak akan terjadi lagi di kemudian
hari. Hanya, masalahnya, para PPNS di Kemenhub di bawah kepemimpinan Ignasius
Jonan apakah tak ciut nyali ketika menghadapi manajemen Lion Air dalam
melakukan penyidikan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar