Jumat, 06 Februari 2015

Efektivitas Penyanderaan Penunggak Pajak

Efektivitas Penyanderaan Penunggak Pajak

Chandra Budi  ;  Bekerja di Ditjen Pajak, Alumnus Pascasarjana IPB
JAWA POS, 05 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

DALAM seminggu terakhir, Ditjen Pajak sangat gencar menyandera penunggak pajak. Tercatat, sudah ada satu wajib pajak (WP) ’’SC’’ yang dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Salemba, Jakarta, dan ’’KMS’’ yang menghuni Lapas Sukun, Malang. Ke depan, ada sekitar 57 penunggak pajak lagi yang disandera. Penyanderaan penunggak pajak itu dimaksudkan untuk memberikan efek jera (deterrent effect) sehingga meningkatkan kepatuhan membayar pajak. Lantas, apakah cara tersebut efektif?

Gijzeling

Sebenarnya, penyanderaan terhadap penunggak pajak bukanlah hal pertama yang dilakukan Ditjen Pajak. Pada 2003, Ditjen Pajak melakukan gijzeling (paksa badan) terhadap salah satu penunggak pajak besar (JL) yang kemudian disandera di Lapas Cipinang (28 Oktober 2003). Walaupun saat itu berhasil membuat 36 penanggung pajak yang terancam penyanderaan mau membayar pajak, tindakan gijzeling oleh Ditjen Pajak tidak terdengar lagi.

Secara terminologi, gijzeling dalam UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) diartikan penyanderaan, yaitu pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan ditempatkan di tempat tertentu. Yang dapat dikenai tindakan penyanderaan adalah penanggung pajak yang cakupannya meliputi penunggak pajak (wajib pajak) dan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak. Penyanderaan merupakan bagian dari serangkaian kegiatan dalam penagihan pajak. Apabila dirunut dari belakang, penagihan dimulai dengan penerbitan surat teguran, kemudian penerbitan surat paksa.

Apabila utang pajak ditambah biaya penagihan tidak juga dibayarkan dalam jangka waktu 14 hari dari penerbitan surat paksa, bisa dilakukan penyitaan yang dilanjutkan dengan penyanderaan. Dua syarat utama penyanderaan adalah jumlah utang pajak minimal Rp 100 juta dan iktikad baik penanggung pajak dalam membayar utang pajak diragukan.

Aturan pelaksanaan penyanderaan sudah lengkap. Pada 1998 diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 1998 tentang Penyanderaan dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan pada 2000 dikeluarkan PP Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi.

Juga, sejak 25 Juni 2003, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan serta Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor M-02.UM.09.01 dan Nomor 294/KMK.03/2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak yang Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, penyanderaan semakin terbuka diimplementasikan.

Karena itu, langkah Ditjen Pajak untuk mengintensifkan lagi penyanderaan terhadap penunggak pajak sudah tepat. Sebab, sudah menjadi rahasia umum, ada persepsi di kalangan wajib pajak, pasal mengenai penyanderaan hanya berfungsi untuk menakut-nakuti penanggung pajak sehingga dengan terpaksa mau membayar utang pajak. Penanggung pajak hanya menganggap penyanderaan sebagai alat gertak sambal. Argumentasi itu diperkuat fakta bahwa penagihan pajak selama ini paling banter hanya sampai pada tahap penyitaan.

Efektivitas

Penyanderaan terhadap penunggak pajak dipastikan efektif meningkatkan kepatuhan membayar pajak. Pada 2003, penyanderaan penunggak pajak langsung memberikan efek jera bagi wajib pajak. Pada saat itu, direncanakan ada 36 penunggak pajak yang terancam disandera. Tetapi, dalam waktu singkat, jumlah tersebut berkurang menjadi delapan penunggak pajak saja yang tidak kooperatif dan akhirnya semua melunasi utang pajaknya. Demikian pula saat ini, setelah menginap sehari di Lapas Sukun, Malang, wajib pajak ’’KMS’’ langsung akan melunasi utang pajaknya. Rencana Ditjen Pajak yang menyandera 57 penunggak pajak bakal gagal karena mereka semua akan melunasinya.

Perlu diingat juga, pelaksanaan penyanderaan itu membutuhkan biaya yang besar. Ditjen Pajak berhak menahan penunggak pajak dalam waktu enam bulan dan bisa dilanjutkan enam bulan lagi apabila diperlukan. Semua biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penyanderaan itu ditanggung negara. Tentu dapat dihitung berapa besar biaya yang akan dikeluarkan negara.

Terlebih, apabila kurun waktu penyanderaan sudah melewati setahun, belum ada aturan tindak lanjut terhadap penunggak pajak tersebut. Aturan yang ada hanya mengatur berakhirnya masa penyanderaan bagi penunggak pajak. Yaitu, utang pajak dan biaya penagihan telah dibayar lunas, jangka waktu surat perintah penyanderaan habis, adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan berdasar pertimbangan tertentu dari menteri keuangan atau gubernur. Artinya, penunggak pajak akan bebas secara otomatis jika jangka waktu penyanderaan habis.

Isu yang harus diantisipasi Ditjen Pajak, penyanderaan akan dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). Isu tersebut dapat saja diembuskan dan dimanfaatkan pihak yang berkepentingan sehingga dikhawatirkan menghambat laju penagihan pajak. Ternyata, jika dikaji lebih lanjut, aturan-aturan atau norma-norma yang berkaitan dengan HAM telah dimasukkan dalam SKB penyanderaan. Hal-hal prinsip terkait dengan HAM telah diatur jelas dalam SKB itu.

Misalnya, penyanderaan tidak dilakukan saat penanggung pajak sedang beribadah dan memperhatikan hak penanggung pajak saat menjalankan penyanderaan. Misalnya, menjalankan ibadah, memperoleh pelayanan kesehatan, mendapat makanan yang layak –termasuk menerima kiriman makanan dari keluarga–, memperoleh bahan bacaan dan informasi atas biaya sendiri, serta wajib memberikan pelayanan kepada penanggung pajak yang sakit keras atau meninggal.

Asalkan dilakukan dengan konsisten, penyanderaan terhadap penunggak pajak akan efektif meningkatkan penerimaan pajak secara cepat. Kepatuhan sukarela wajib pajak akan mengikuti irama penegakan hukum perpajakan, termasuk penyanderaan. Semakin kencang penyanderaan dilakukan, kepatuhan wajib pajak akan semakin meningkat. Demikian pula sebaliknya. Kepatuhan wajib pajak akan menurun seiring dengan minimnya penyanderaan terhadap penunggak pajak.

Konkretnya, Ditjen Pajak bisa menyusun program penyanderaan sedemikian rupa sehingga ada kesinambungan penyanderaan pajak untuk jangka panjang yang menyebar di seluruh Indonesia. Misalnya, mewajibkan 31 kantor wilayah (kanwil) Ditjen Pajak di seluruh Indonesia untuk menyandera minimal satu penunggak pajak dalam setahun. Dengan begitu, setidaknya ada dua atau tiga penunggak pajak yang disandera setiap bulan dan diberitakan media massa. Cara tersebut akan lebih efektif daripada menggebrak pada awal, namun setelah itu tidak ada penyanderaan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar