Minggu, 08 Februari 2015

(Bukan) Sesat Bahasa

(Bukan) Sesat Bahasa

Eko Endarmoko Munsyi  ;  Penulis Tesaurus Bahasa Indonesia
KOMPAS, 07 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Di dalam orang membincangkan sesat bahasa, salah satu pokok yang sering berulang adalah soal yang ”sederhana”. Awalan dan kata depan yang bertukar-tukar tempat (di jual, dimana, di kontrakkan, diantara), pemakaian kata yang tak pada tempatnya (mengharu biru, emosi), atau penulisan kata (sembilanbelas, tujuhribu, bergeming, mengritik, merubah). Padahal, teks-teks panduan berbahasa, kamus atau pedoman ejaan, kini sudah makin mudah diperoleh, edisi cetakan maupun edisi dalam jaringan. Jangan pula lupa, para pemerhati bahasa Indonesia sudah sejak lama menyiarkan pikiran mereka lewat berbagai media yang punya ruang untuk topik kebahasaan, insidental atau sebagai rubrik tetap, baik media cetak, seperti Intisari, Kompas, Optimis, Pikiran Rakyat, Riau Pos, Suara Karya, Tempo maupun stasiun televisi (kita ingat Amin Singgih, Anton Moedardo Moeliono, Jusuf Sjarif Badudu) dan radio.

Dan tidak hanya itu. Ivan Lanin pernah secara berkala mengunggah tulisan kebahasaan di berbagai media cetak itu ke situs buatannya (lihat https://rubrikbahasa.wordpress.com). Lalu juga, seperti ingin merengkuh pembaca yang lebih luas, tulisan-tulisan tadi pun diterbitkan kembali dalam bentuk buku. Kita tahu, kumpulan artikel ini ada yang terbit atas nama seorang penulis, tapi ada juga yang berupa himpunan oleh sekaligus beberapa penulis.

Kenyataan tersebut setidaknya menjelaskan betapa banyak, dan sering, informasi tentang pelbagai masalah kebahasaan disajikan kepada khalayak, para pengguna bahasa Indonesia. Namun, mengapa penggunaan bahasa—terutama dalam ragam tulis—tak kunjung mencerminkan pemahaman yang memadai mengenai kaidah bahasa Indonesia, bahkan kaidah yang paling sederhana sekalipun? Tidak bisa segera kita menyimpulkan bahwa sekian banyak informasi kebahasaan tadi tidak disimak oleh banyak penutur bahasa Indonesia termasuk, atau terutama, oleh mereka yang bergelut dalam dunia tulis-menulis. Kecuali kita berasumsi mereka malas membaca, jangan lagi melakukan riset atau bertukar pikiran dengan orang lain.

Mari kita bayangkan dalam siklus waktu tertentu, setelah satu lapisan khalayak cukup memahami kaidah berkat persentuhan yang cukup lama dan intens dengan bahasa (Indonesia), hadir menyusul satu lapisan baru yang belum mengerti banyak. Seperti sekelompok editor senior (kata lain dari sepuh, tua) dalam sebuah penerbitan besar menjalani masa pensiun, dan kemudian digantikan oleh sejumlah editor junior (bau kencur). Permutasi periodik itu kurang lebih berlangsung secara tetap. Kecakapan berbahasa selalunya berkembang sedikit demi sedikit seiring dengan makin seringnya mereka bergulat dengan teks, dengan bahasa. Siklus ini membantu menjelaskan mengapa para polisi bahasa ceriwis mengenai topik itu-itu saja: yaitu soal yang ”sederhana” seperti saya singgung di awal. Sekaligus ia menunjukkan kepada kita, pengetahuan (dasar) sebagian penutur bahasa Indonesia tentang bahasa sendiri tampaknya tak pernah cukup. Ini terutama kita lihat dalam ragam tulis.

Ironis. Mereka yang lebih sering berurusan dengan bahasa malah tak sepenuhnya menguasai kaidah bahasa, baik dalam tataran tata kalimat maupun tata makna. Dari sinilah kita dapat mengatakan, bila demikian maka persoalan terletak bukan dalam bahasa, tapi dalam diri si penutur. Itulah mengapa kita perlu sedikit kritis terhadap ungkapan ”soal bahasa”. Jika ada orang menulis merubah padahal yang ia maksud adalah mengubah, di mana letak soal bahasanya? Sudah sangat terang-benderang bahwa mengubah ’membuat jadi berubah’ berasal dari kata dasar ubah yang memperoleh awalan me–. Tidak ada awalan mer– dalam bahasa Indonesia. Karena itu, merubah tidak bisa lain berarti ’menjadi rubah’, bukan ’membuat jadi berubah’.

Kita menyebut soal bahasa manakala soalnya menyangkut bahasa. Ini contoh serampangan: terang-benderang itu perlu menggunakan tanda hubung atau tidak? Mengapa anda harus ditulis dengan huruf awal kapital, sedang engkau, kamu, sampeyan tidak? Soal yang tidak lagi sederhana saya kira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar