Minggu, 08 Februari 2015

Sebelas Tahun KPK

Sebelas Tahun KPK

Achmad Fauzi   ;  Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
KOMPAS, 06 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SUDAH keberhasilan membongkar skandal korupsi di pemerintahan pusat hingga daerah. Namun, banyak pula kasus besar yang masih terkatung-katung. Kasus korupsi dana haji, misalnya, hingga kini belum menunjukkan progres signifikan. Langkah KPK tertatih-tatih karena KPK hanya memiliki 143 penyelidik, 79 penyidik, dan 94 penuntut umum.

Banyak kendala dihadapi KPK sehingga target yang ditetapkan belum sempurna tercapai. Beberapa kendala klasik itu, antara lain, pertama, munculnya manuver yang ingin membonsai KPK melalui pemangkasan kewenangan. Resistensi ini muncul ketika segelintir politisi menjadi incaran KPK karena terlibat korupsi.
Meski siasat politik legislasi tersebut tidak berhasil karena mendapat kritik tajam masyarakat, bukan berarti gerakan perlawanan terhadap KPK surut.

Pemangkasan anggaran untuk KPK adalah buktinya. Tahun 2014, jatah anggaran penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi turun Rp 1,7 miliar atau hanya Rp 31,5 miliar dibandingkan pada 2012 yang berjumlah Rp 33,3 miliar.

Kedua, kegigihan KPK memberantas korupsi pernah mengalami antiklimaks ketika tidak didukung sepenuhnya oleh pengadilan tipikor. Alih-alih hakim tipikor menjatuhkan vonis berat kepada koruptor, korps pengadil tersebut justru turut terjerembab dalam kubangan korupsi.

Obral vonis bebas marak terjadi. Banyak fakta membuktikan putusan kontroversial justru dijatuhkan hakim tipikor yang bermain mata dengan pihak beperkara.

Ketiga, saat ini semangat pemberantasan korupsi mengalami penggembosan. Kabarnya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi kepada 49 terpidana kasus korupsi di perayaan Natal.

Padahal, Menkumham Yasonna Laoly mengatakan tidak akan memberikan remisi kepada narapidana kasus korupsi. Keputusan pemberian remisi koruptor menjadi preseden buruk karena menyamakan hak koruptor dengan terpidana lainnya. Artinya, kejahatan korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa.

Pemberian remisi itu tidak menghargai KPK yang susah payah melakukan penyidikan, mengumpulkan barang bukti, dan menjerat koruptor dengan dakwaan maksimal.

Remisi koruptor juga tidak menghargai pengadilan tipikor yang saat ini mulai menemukan ritme kekompakan dalam menjatuhkan vonis pidana pokok yang disertai pidana tambahan berupa uang pengganti dan pencabutan hak politik.
Obral remisi kepada koruptor sampai kapan pun akan ditentang masyarakat karena kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi.

Semestinya Kemenkumham menghitung secara cermat berapa kerugian materiil yang telah diderita negara akibat korupsi. Apabila dikalkulasi, jelas biaya penanganan korupsi jauh lebih besar ketimbang uang yang dikembalikan koruptor melalui uang pengganti.

Belum lagi berbicara dampak sosial korupsi yang merusak peradaban masyarakat. Korupsi membuat integritas birokrasi lemah karena setiap pelayanan dipenuhi praktik pungli, perizinan sarat suap dan pemerasan, serta tender disesaki koloni dengan pengusaha hitam.

Oleh karena itu, Presiden harus merespons cepat fenomena obral remisi koruptor ini agar karsa pemberantasan korupsi tidak berakhir antiklimaks.

Upaya preventif

Satu hal yang perlu diapresiasi dari KPK—tanggal 29 Desember 2014 berusia sebelas tahun—adalah pembangunan sistem mitigasi korupsi yang bukan hanya berkisar pada wilayah penindakan, melainkan juga menyangkut pencegahan.
Upaya preventif inilah yang memberikan harapan baru agar korupsi tidak membiak pada generasi berikutnya dan lingkup kekuasaan.

Langkah pencegahan salah satunya dengan memberdayakan entitas keluarga, dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran dan sikap kesederhanaan. Revitalisasi keluarga sebagai benteng korupsi setidaknya memiliki dua alasan.

Pertama, tipologi korupsi telah menggumpal menjadi kejahatan keluarga. Banyak kasus korupsi dengan keluarga sebagai bagian dari jaringan kejahatan. Keluarga koruptor terlibat untuk mengaburkan dana hasil korupsi dalam berbagai bentuk, misalnya pembelian sekuritas, polis asuransi, serta tanah dan bangunan.

Kedua, nilai-nilai fundamental dalam keluarga bisa membendung hasrat koruptif. Masing-masing keluarga dapat mendetoksifikasi racun korupsi dalam lingkup kecil sebelum menjadi kesadaran sosial yang masif.

Detoksifikasi berarti keberdayaan entitas keluarga untuk membunuh sifat-sifat rakus, tidak jujur, pamrih, dorongan memperkaya diri, dan matinya rasa malu.
Saat ini, KPK tengah menjalankan proyek percontohan pencegahan korupsi berbasis keluarga di Kelurahan Prenggan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta. Artinya, saat ini memberantas korupsi bukan hanya tanggung jawab penyelenggara negara. Keluarga dan masyarakat juga bisa mengontrol penyimpangan oleh orang-orang terdekatnya.

Potret korupsi

Potret korupsi belakangan ini makin mengkhawatirkan karena dipicu ketamakan. Mayoritas pelaku penilap uang negara adalah orang berkecukupan dan memiliki jabatan strategis. Artinya, mereka korupsi bukan karena kebutuhan mendesak, melainkan kerakusan.

Di samping itu, budaya malu di kalangan elite makin menipis. Meski sanksi sosial berupa kecaman dan pengucilan ditambah hukuman badan telah diberikan kepada koruptor, tidak sepenuhnya terjadi efek jera dan pembelajaran bagi yang lain. Justru ketika ada satu kepala daerah ditangkap KPK, esok atau lusa lainnya menyusul.

Tak ada pilihan selain menghukum berat pelakunya, merampas harta yang tak jelas asal-usulnya melalui pembuktian terbalik, serta tidak memberikan kelonggaran remisi atas dalih apa pun. Hanya dengan demikian militansi KPK dalam memberantas korupsi mendapat momentum dukungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar