Rabu, 04 Februari 2015

Kunjungan ke Malaysia dan Poros Maritim

Kunjungan ke Malaysia dan Poros Maritim

Dinna Wisnu  ;  Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 04 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Besok, 5 Februari 2015, adalah kunjungan kenegaraan pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kerangka kerja sama bilateral dan beliau memilih untuk mengunjungi Malaysia. Sebelumnya, Jokowi telah berkunjung ke China dalam kerangka APEC, Myanmar dalam kerangka KTT ASEAN dan Australia dalam rangka KTT G-20. Pilihan mengunjungi Malaysia adalah cara untuk menyampaikan kepada masyarakat di dalam negeri dan luar negeri tentang isu yang menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Yaitu, tentang relasi Indonesia dengan negara-negara tetangga, dan dalam hal Malaysia terkait isu perbatasan dan tenaga kerja migran.

Saya pribadi tertarik untuk melihat apakah kedua negara akan membicarakan politik luar negeri yang terkait dengan pertahanan dan keamanan. Bagaimana atau diskusi apa yang akan muncul dari Malaysia terkait masalah perbatasan dalam konteks gagasan Poros Maritim. Hal ini tidak hanya penting dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, tetapi juga dalam kaitan strategi Indonesia sebagai negara penting di kawasan Asia Tenggara.

Meskipun tidak banyak dibahas di dalam negeri, ada keresahan dari negara-negara tetangga termasuk Malaysia terkait keputusan pemerintahan Jokowi untuk menenggelamkan perahu-perahu nelayan yang masuk dan mengambil sumber daya kelautan di wilayah perairan Indonesia.

Dari pihak Indonesia, kegiatan ini dianggap sebagai penegakan hukum, tetapi di mata negara-negara lain, cara yang diambil dianggap sebagai unjuk kekuatan yang entah di mana akan berujung. Secara diplomatis, negaranegara tetangga kita menyambut baik gagasan Poros Maritim terutama dengan peluang investasi yang dibuka oleh pemerintah Indonesia terkait dengan proyek-proyek ratusan triliun rupiah untuk membangun pelabuhan-pelabuhan di beberapa kepulauan.

Namun demikian, rasa optimistis itu juga disertai dengan kecemasan tentang kemungkinan investasi yang lebih besar dari pemerintah Indonesia di bidang pertahanan dan kemananan di laut. Negara-negara tetangga kita masih menunggu langkah-langkah konkret Jokowi untuk meningkatkan kapasitas pertahanan dan keamanan di laut.

Setidaknya ada 3 alasan untuk ini. Pertama, pemerintahan Jokowi telah memilih untuk mengebom dan menenggelamkan kapal asing yang masuk tanpa izin untuk mencuri kekayaan laut Indonesia. Dalam hubungan internasional, penggunaan kekuatan militer di laut adalah bagian dari gunboat diplomacy di mana kekuatan Angkatan Laut dipakai untuk menggentarkan siapa pun yang memasuki perairan Indonesia agar merekat tidak berani mengusik kedaulatan wilayah.

Dalam gunboat diplomacy, efek yang diharapkan berbeda dengan kegiatan showing the flag (unjuk bendera di batas wilayah) dimana penjaga laut semata akan menegur siapa pun yang melintas batas tetapi tidak untuk unjuk kekuasaan. Cara keras yang dipilih Jokowi erat kaitannya dengan kebiasaan negara yang ingin unjuk kekuasaan agar dianggap sebagai hegemoni (penguasa) di suatu kawasan.

Dalam sejarahnya, gunboat diplomacy bahkan merupakan instrumen imperialisme. Pertanyaannya kemudian, apa saja hal-hal yang harus diwaspadai oleh negara tetangga terkait intensi tersebut? Apakah akan terjadi konflik seputar penentuan batas negara? Kedua, dalam meningkatkan kapasitas penjagaan perbatasan, biasanya ada ideologi politik yang menjadi basis kebijakan.

Misalnya untuk menjalin kerja sama militer yang lebih kuat dengan negara tertentu, bersinergi dengan negara-negara tertentu, atau menggenjot industri pertahanan di Tanah Air. Dalam konteks Indonesia, meskipun untuk kebutuhan militer seharihari sudah mampu dipenuhi dari industri pertahanan domestik, untuk kebutuhan teknologi canggih, khususnya untuk menjaga wilayah-wilayah laut dalam dan udara, Indonesia masih tergantung pada industri militer di Amerika Serikat, Rusia, Jepang dan China.

Pertanyaannya kemudian, kerja sama pertahanan seperti apa yang patut diantisipasi negara-negara tetangga? Akankah terjadi penajaman keberpihakan pada AS atau China di Asia Tenggara? Ketiga, penegakan hukum adalah hal lazim bagi semua negara, tetapi ketika langkah penegakan hukum tidak berjalan sepenuhnya, muncul keresahan tentang arah yang sesungguhnya dari kebijakanJokowi dilaut.

Misalnya saja Automatic identification System menangkap ada 22 kapal nelayan yang berasal dari China yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Dari jumlah tersebut, angkatan laut kita dapat menggiring 8 kapal dan sisanya masih bebas berkeliaran atau kabur.

Kabarnya Menteri Kelautan dan Perikanan sudah mengirimkan surat kepada Duta Besar China untuk membicarakan hal ini, tetapi sampai saat ini belum ada kabar selanjutnya. Mungkin ini urusan diplomasi yang membutuhkan kerahasiaan, tetapi kalau isunya adalah penegakan hukum sebagaimana disampaikan oleh Menteri Luar Negeri dan Presiden Jokowi dalam sejumlah kesempatan, mengapa ada rahasia?

Apakah ini sekadar masalah teknis karena Indonesia belum punya kemampuan menangkapi kapal-kapal asal China yang bandel ataukah ada pengecualian tertentu? Dari sini semoga dapat tergambarkan bahwa pilihan Jokowi untuk memberi perhatian pada pengembangan Poros Maritim dan menegakkan hukum di batas wilayah bukanlah hal yang tunggal dimensi kebijakannya.

Ada efek-efek samping bagi upaya diplomasi. Patutlah diingat bahwa di Asia Tenggara masih belum tuntas masalah sengketa di Laut China Selatan. Ada Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan China yang terjerat masalah dalam sengketa tersebut. Indonesia mendukung upaya penyelesaian sengketa lewat mekanisme code of conduct, tetapi sampai hari ini belum terlihat ada kemajuan yang berarti dalam pencapaian kesepakatan lewat cara itu.

Bahkan informasi terkini menunjukkan bahwa China telah membangun pulau-pulau buatan yang dijadikan tempat persinggahan kapal induk militer di karang Fiery Cross di Kepulauan Spratly. Menjaga kedaulatan wilayah adalah hal yang penting, tetapi lebih penting lagi strategi yang dipilih dan dilaksanakan untuk mencapai kedaulatan wilayah.

Hari ini kita telah mengirimkan pesan yang keras terhadap negara tetangga terkait dengan illegal fishing dan mereka tentu berharap kita tidak diskriminatif dan memberikan pengecualian kepada negara tertentu. Sampai saat ini belum ada nota protes yang keras dari negara-negara yang kapalnya telah atau akan ditenggelamkan, meski demikian kita harus siap apabila terjadi pembalasan.

Kesiapan itu tidak hanya dari sisi diplomatik, tetapi juga dari sisi ekonomis apabila negaranegara yang kapalnya ditenggelamkan menurunkan derajat kerja sama dan bantuan ekonomi yangdiperlukanuntukmembiayai proyek-proyek infrastruktur kita. Apabila kita tidak siap maka gagasan Poros Maritimlah yang akan menjadi korban.

Semoga Presiden Jokowi memperhitungkan segala langkah dan konsekuensi jangka panjang dari kegiatan diplomasi beliau, termasuk ketika mengunjungi Malaysia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar