Sabtu, 14 Februari 2015

Jokowi Harus Pegang Kendali Penuh

Jokowi Harus Pegang Kendali Penuh

James Luhulima   ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 14 Februari 2015
                                                        
                                                                                                                                     
                                                

Salah satu rekomendasi Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Rabu (11/2), adalah mengimbau semua penyelenggara negara dan politisi untuk mengedepankan sikap politik yang santun, yang didasari budi pekerti luhur dan meninggalkan praktik politik yang menghalalkan segala cara.

Saat membaca imbauan itu, perasaan lega langsung menyeruak masuk ke hati. Ternyata keresahan terhadap ulah politisi yang tidak mengedepankan sikap politik yang santun juga dirasakan oleh masyarakat luas.

Politisi, termasuk juga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), tidak segan-segan untuk mengkritik pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan nada sangat keras. Kosakata yang dipilih pun tergolong kasar bagi telinga awam. Agak aneh, beberapa petinggi PDI-P pun mengkritik Presiden Jokowi dengan nada keras, seolah-olah Presiden Jokowi tidak berasal dari PDI-P. Apalagi ketika pada hari ke-100 Jokowi menjadi presiden, salah seorang politisi PDI-P menyebutkan, saatnya Jokowi dimakzulkan.

Sebelum Jokowi dilantik menjadi presiden, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyebut Jokowi sebagai petugas partai PDI-P yang diperintahkan untuk menjadi calon presiden. Walaupun pada saat itu Megawati mengatakan bahwa istilah petugas partai lazim digunakan di PDI-P, tidak urung muncul perasaan bahwa penggunaan kata petugas partai tersebut sengaja dilakukan untuk merendahkan Jokowi.

Dalam pemilihan presiden langsung oleh rakyat, Jokowi meraih sebanyak 70.997.833 suara (53,15 persen). Dan, dengan raihan suara sebanyak itu, Jokowi ditetapkan sebagai presiden untuk periode 2014-2019. Itu sebabnya, menjadi agak aneh ketika Puan Maharani, putri Megawati yang diangkat Jokowi menjadi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, awal Februari lalu, mengatakan, yang jelas sekarang PDI-P bersama Jokowi dan Jokowi masih petugas partai.

Sesungguhnya, yang diduga ingin ditegaskan oleh Puan adalah PDI-P masih tetap mendukung Jokowi. Pertanyaannya, mengapa Puan harus menambahi kata-kata Jokowi masih petugas partai pada akhir kalimat yang diucapkannya?

Sama sekali tidak ada niatan untuk membungkam kritik terhadap Jokowi. Kritik adalah hal yang lumrah dalam kehidupan demokrasi. Orang memang cenderung tidak sabar dengan langkah Jokowi yang seolah-olah mengulur-ulur waktu dalam kasus calon Kepala Polri Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kita hanya berharap agar kritik yang dilontarkan kepada Jokowi dilakukan dengan sikap politik yang santun. Bagaimanapun, selain sebagai kepala pemerintahan, Jokowi juga kepala negara yang mewakili kita semua, 247 juta rakyat Indonesia.

Khusus mengenai pengajuan nama Budi Gunawan sebagai calon Kapolri yang dilakukannya tanpa berkonsultasi dengan Polri, KPK, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Presiden Jokowi menjelaskan, hal itu terpaksa dilakukannya karena ketiga institusi tersebut merupakan lembaga penegak hukum. Tujuannya agar tidak ada yang merasa berada di atas yang lain. Oleh karena itu, ia menggunakan hak prerogatifnya sebagai kepala negara.

Persoalan muncul ketika Budi Gunawan yang diajukan Komisi Kepolisian Nasional kemudian dinyatakan sebagai tersangka korupsi. Masalah bertambah pelik saat Dewan Perwakilan Rakyat ternyata meloloskan Budi Gunawan sebagai calon kepala Polri meski dia telah menjadi tersangka.

Pegang kendali

Kita percaya bahwa pada waktunya, Presiden Jokowi akan mengambil keputusan terkait dengan persoalan Budi Gunawan. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi selalu menegaskan, ”Keputusan ada pada saya.” Tidak ada yang meragukan itu. Namun, agar keputusan tersebut terlaksana sesuai dengan apa yang diinginkan, Jokowi harus memegang kendali penuh. Ia memiliki legitimasi untuk melakukan itu karena ia dipilih secara langsung oleh lebih dari 70 juta rakyat Indonesia.

Sejarah mencatat, Presiden Soekarno yang telah berkuasa selama 20 tahun tiba-tiba kehilangan kendali pada 30 September 1965 karena ia tidak mempunyai informasi yang lengkap tentang apa yang sedang terjadi pada hari itu. Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto yang memiliki informasi lengkap mengenai apa yang terjadi pada hari itu mengambil alih kendali dari Soekarno. Beberapa saat setelah tanggal tersebut, Soekarno masih menjabat sebagai presiden, tetapi kendali berada di tangan Soeharto.

Dalam kaitan itulah, Jokowi tidak boleh terlalu percaya atau dekat dengan kelompok tertentu. Sebab, bukan tidak mungkin informasi yang sampai kepadanya telah disaring lebih dulu. Tanpa informasi yang lengkap tentang apa yang terjadi di luar sana, ia bisa kehilangan kendali. Itu sebabnya, ia harus memiliki lebih dari kelompok sebagai sumber informasi agar tahu persis apa yang terjadi di luar, termasuk pergerakan dari institusi-institusi yang dipimpinnya. Hanya dengan demikian, Presiden Jokowi bisa mengamankan pelaksanaan dari keputusan yang telah diambilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar