Rabu, 04 Februari 2015

Imunitas Terbatas

Imunitas Terbatas

Amzulian Rifai  ;  Guru Besar Ketatanegaraan
dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
KOMPAS, 04 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

TIDAK pernah terbayangkan pimpinan lembaga hukum seperti Kepala Negara Polri dan komisioner KPK berstatus tersangka. Ada banyak perdebatan politik dan yuridis soal ini. Namun, yang pasti ada keharusan untuk mendapatkan solusi agar keadaan saling mengunci seperti saat ini tidak terulang lagi. Oleh karena itu, sepatutnya dipertimbangkan pemberian imunitas terbatas bagi pimpinan lembaga hukum pada masa yang akan datang.

Salah satu problematika terbesar suatu negara dalam upaya memajukan berbagai aspek kehidupan warganya adalah akibat hukum tak bekerja secara baik. Padahal, hukum itu eksis dalam berbagai aktivitas bernegara. Jika dilakukan perbandingan antarnegara, ada kecenderungan korelasi antara bekerjanya hukum dengan ketertiban dan kemakmuran di negara itu. Sebaliknya, ketidakhadiran hukum juga menampilkan ketidakstabilan serta ketidakpastian, yang pada gilirannya juga sulit menghadirkan suatu kesejahteraan.

Indonesia juga masih bermasalah dengan berbagai aspek hukumnya, baik dari sisi substansi hukum, kelembagaan hukum, ataupun kultur hukum. Produk-produk hukum kita—terutama untuk tingkat peraturan daerah—terkadang rentan hasil copy paste, bukan dilahirkan dari proses kajian mendalam dan membumi. Indikasi ke arah itu antara lain cepat sekali ketidakmampuan produk hukum itu beradaptasi dengan perubahan.

Tak juga mudah apabila kita berharap lembaga-lembaga hukum Indonesia hadir secara profesional dan mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari publik. Publik terkadang menyaksikan hubungan yang tidak harmonis antarlembaga hukum. Justru tantangan utama lembaga hukum Indonesia adalah rendahnya kepercayaan publik. Kondisi ini menjadikan penegak hukum serba salah dengan hasil kerjanya.

Indonesia juga menghadapi tantangan lemahnya kultur hukum. Kultur hukum itu harus dimiliki baik oleh penegak hukum maupun oleh masyarakat. Tidak ada jaminan seseorang berprofesi di bidang hukum dengan sendirinya memiliki kultur hukum yang baik. Malah terkadang justru ada di antara aparat hukum yang malah memosisikan dirinya sebagai orang yang boleh melanggar hukum.
                                                    
Makna imunitas terbatas

Dapat dimaklumi apabila sebagian kita alergi menggunakan istilah imunitas (hukum) karena hal ini dapat berarti adanya pengistimewaan terhadap orang per orang. Ini adalah pelanggaran terhadap konstitusi. UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1 menegaskan bahwa ”segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Namun, mestinya pasal ini tak pula ditafsirkan dan diterapkan secara sempit, apa adanya. Pasal ini untuk memberikan jaminan bahwa setiap warga negara tidak mengalami diskriminasi hukum dalam kesehariannya. Namun, tidak dapat dikatakan menentang konstitusi apabila inequality itu dimaksudkan justru dalam rangka penegakan hukum dan bertujuan melindungi warga negara (publik) secara luas.

Imunitas dapat diartikan ”Exemption from certain generally applicable requirements of law or from certain liabilities, granted to special groups of people to facilitate the performance of their public functions.” Ada satu catatan penting dari definisi ini. Bahwa, pengecualian pemberlakuan hukum itu hanya pada sekelompok orang saja dalam rangka mereka menjalankan fungsi publik (kepentingan umum).

Ada beberapa hal yang perlu ditegaskan soal imunitas ini. Pertama, imunitas ini diberikan hanya dalam waktu terbatas: pada saat seseorang sedang memegang jabatan sebagai pimpinan tertinggi hukum. Keterbatasan itu juga berarti tidak berlaku apabila yang bersangkutan tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Hal ini dikarenakan dalam hal tertangkap tangan sudah jelas buktinya dan memang patut dijadikan tersangka. Karena itu, makna imunitas terbatas dapat dirumuskan bahwa seorang pimpinan tertinggi lembaga hukum tidak dapat diproses atau ditunda proses hukumnya selama sedang menduduki jabatannya.

Mungkin ada lima jabatan pimpinan lembaga hukum yang dapat dipertimbangkan memperoleh imunitas terbatas. Kelima pimpinan itu adalah ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, dan komisioner KPK.  Terbuka ruang debat soal siapa saja yang layak memperoleh imunitas terbatas tersebut.

Mengapa imunitas terbatas

Ada beberapa alasan mengapa diperlukan pemberian status imunitas terbatas kepada lima pimpinan lembaga hukum di atas. Pertama, agar tidak terjadi seorang pimpinan tertinggi lembaga hukum justru bermasalah hukum. Tidak pernah terbayangkan seorang Kepala Polri dan komisioner KPK berstatus tersangka. Sulit mencari referensi di negara lain, kepala kepolisian negara yang berstatus tersangka.

Kedua, agar tidak mengganggu jalannya organisasi. Sulit menyatakan status tersangka terhadap Kepala Polri dan komisioner KPK tidak mengganggu kedua organisasi ini. Status tersangka terhadap Kepala Polri yang ditunda pelantikannya merupakan pukulan telak terhadap organisasi Polri. Kepercayaan publik yang berusaha diraih kini menjauh lagi. Agenda KPK juga terganggu dengan status Bambang Widjojanto sebagai tersangka.

Ketiga, menghindari upaya kriminalisasi terhadap pimpinan lembaga hukum. Memang sulit membuktikan ada upaya sistematis untuk mengkriminalisasi para komisioner KPK. Namun, mengamati apa yang terjadi dengan BW yang ”hanya” dituduh telah mengarahkan saksi pada saat menjalankan profesi sebagai advokat pada 2010. Tanpa perlindungan dengan imunitas terbatas, maka upaya mengkriminalisasi para komisioner KPK dapat dengan mudah dilakukan.

Keempat, dalam konteks KPK, pemberian imunitas terbatas bertujuan agar tidak melumpuhkan lembaga ini dalam hal ada upaya kriminalisasi. Saat ini satu per satu pimpinan KPK diperkarakan atau dilaporkan ke polisi.

Setelah BW ditangkap dan dijadikan tersangka, tiga wakil ketua lainnya turut dilaporkan. Adnan Pandu Praja dilaporkan atas dugaan perkara perampokan perusahaan dan kepemilikan saham secara ilegal di PT Daisy Timber pada 2006. Selanjutnya Abraham Samad dilaporkan atas dugaan menjanjikan kemudahan perkara di KPK. Terbaru, Zulkarnain juga dilaporkan terkait dugaan suap penanganan korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat Jawa Timur pada 2008. Ketika itu, Zulkarnain masih menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

KPK akan lumpuh apabila semua komisioner KPK berstatus tersangka. UU No 30/2002 tentang KPK telah mengatur secara jelas apa yang terjadi apabila komisioner ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa. Pasal 32 (1) UU No 30/2002: apabila pimpinan KPK berstatus tersangka, maka diberhentikan sementara dari jabatannya yang ditetapkan oleh Presiden. Pasal yang sama juga mengatur bahwa pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena, antara lain, menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan.

Status tersangka terhadap Kapolri berimplikasi pada kegaduhan nasional yang berpengaruh terhadap lembaga ini. Begitu juga dengan upaya kriminalisasi terhadap komisioner KPK dan ketiadaan imunitas bagi mereka membuat KPK rentan tidak berfungsi.  Hanya dengan melaporkan para komisioner terhadap dugaan tindak pidana pada masa lalu saja sudah dengan mudahnya menjadikan mereka berhenti. Sebagai sosok yang banyak aktivitas di masa lalu tentulah mereka rentan untuk dikriminalisasi. Apalagi jika penentuan status tersangka itu menjadi kewenangan dari lembaga yang sedang berseteru dengan KPK.

Oleh karena itu, imunitas terbatas kepada para pimpinan lembaga hukum tersebut patut dipertimbangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar