Selasa, 10 Februari 2015

Buku Pacaran dan Darurat Perlindungan Anak

Buku Pacaran dan Darurat Perlindungan Anak

Akh Muzakki   ;   Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya
JAWA POS, 09 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PADA 3 Mei 2014, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) membunyikan alarm dengan keras. Pesannya konkret: darurat perlindungan anak. Dengan status darurat itu, bangsa ini diminta untuk memberikan perhatian penuh kepada kehidupan dan nasib anak dari berbagai penodaan hak dasarnya.

Kini taraf darurat perlindungan anak layak dibunyikan semakin lebih keras lagi. Beredarnya buku karya Toge Aprilianto berjudul Saatnya Aku Belajar Pacaran yang kini mengharu-biru nurani publik harus menjadi momentum. Kasus beredarnya buku yang dengan mudah dimaknai sebagai ajakan untuk mulai mempraktikkan perzinaan di lingkungan remaja dan anak muda itu melengkapi catatan publik atas serangkaian kasus penodaan terhadap hak hidup dan berkembang anak secara layak pada satu sisi dan sederetan kasus pornografi yang mengorbankan hak dasar anak tersebut.

Di buku itu terdapat bagian yang bertajuk Pacar Ngajak ML. Lalu, narasi yang cukup panjang, antara lain menjelaskan bahwa hubungan seksual dibolehkan bagi mereka yang sedang pacaran. Simak kutipan bagian itu: Sebetulnya, wajar kok kalo pacar ngajak kamu ML. Hal itu kan alamiah-naluriah. Jadi, itu justeru pertanda kalo kamu dan/atau pacarmu masih punya energi buat terlibat dalam proses reproduksi, yang memang sewajarnya dimiliki oleh tiap makhluk hidup.

Tidak berhenti sampai di situ. Di paragraf berikutnya, Toge Aprilianto memberikan ’’nasihat’’ dan bahkan ’’tuntunan’’ kepada mereka yang sedang berpacaran agar bisa menerima ajakan untuk berhubungan badan. Ini bunyi ’’nasihat’’ dan ’’tuntunan’’ tersebut: Jadi, kalo pacarmu ngajak ML, kamu boleh aja nurutin maunya dia, kalo kamu sanggup.

Bangsa ini tidak boleh hanya sehat fisiknya. Sehat pikiran dan perasaan melalui penumbuhan karakter yang luhur dan implementasi praktisnya dalam kehidupan riil juga harus dimiliki. Atas dasar itu, ada hak anak untuk tumbuh dan hidup secara layak serta luhur. Ruang privat dalam kehidupan pribadi dan keluarga harus berkorelasi positif dengan kehidupan di ruang publik. Sebaliknya, ruang publik harus mendukung penguatan nilai luhur yang ditumbuhkan di ruang privat. Bila tidak, upaya perlindungan anak akan memasuki tahap darurat yang sangat memaksa dilakukannya tindakan khusus.

Beredarnya buku Toge Aprilianto tersebut tidak boleh dianggap enteng. Itu memperkuat tanda bahaya dalam praktik perlindungan anak di negeri ini. Sebab, seks bebas sebagai bagian dari simbol kebobrokan moral sudah dikampanyekan dan dinasihatkan kepada remaja dan anak muda bangsa ini.

Keadaan darurat sendiri dalam bahasa Belanda lebih dikenal dengan istilah staat van oorlog en beleg (SOB). Dalam bahasa Inggris, itu disebut pula dengan istilah state of emergency. Itu berarti peringatan atas keadaan darurat lazim dikeluarkan saat kegentingan sudah memuncak. Pengalaman berbagai bangsa dan negara menunjukkan kelaziman yang dimaksud.

Istilah keadaan ’’darurat’’ itu bukan saja lazim digunakan di dunia politik, melainkan juga sosial kemasyarakatan. Bukan saja untuk kepentingan perbaikan tata kelola kepemerintahan yang kondisinya sudah mengkhawatirkan, melainkan juga perbaikan kondisi sosial yang sudah memilukan. Salah satu di antaranya, mengingatkan warga masyarakat agar mengubah aktivitas hal tertentu menyusul besarnya dampak negatif yang telah ditimbulkannya.

Buku karya Toge Aprilianto berjudul Saatnya Aku Belajar Pacaran boleh dibilang sudah di luar batas kewajaran. Pertama, buku tersebut termasuk kategori bacaan remaja (teenlit). Karena segmentasinya adalah kalangan remaja dan anak muda, buku itu seharusnya justru memberikan banyak insiprasi bagi pencapaian prestasi. Banyak teladan hidup dalam kehidupan ini yang bisa dijadikan materi perkembangan remaja dan anak muda ke arah yang lebih baik.

Alih-alih berisi semangat dan teladan hidup, buku tersebut memuat apa yang dalam tradisi sensor produk budaya pop audio-visual disebut dengan sexual scene (tayangan yang mengumbar seks). Pembaca yang berusia muda disuguhi dengan materi yang mengeksploitasi seks. Atau dalam istilah buku itu ML (making love), berhubungan seksual. Itu sungguh di luar batas kewajaran. 

Kedua, dari sisi tindak tulisan yang ada pada content (isi) materi, buku Saatnya Aku Belajar Pacaran sudah bukan lagi membiarkan isinya dicerna oleh pembaca dalam berbagai perspektif yang berbeda-beda. Namu, itu sudah pada taraf mengajak dan ’’menuntun’’ para pembaca remaja untuk melakukan satu perilaku buruk secara terfokus: berhubungan seksual di luar nikah. Dan lebih ironis lagi, ajakan dan ’’tuntunan’’ tersebut disertai dengan argumen pembenaran bahwa hubungan seksual di luar nikah adalah hal wajar sebagai kebutuhan manusia.

Sungguh itu semua mencederai nurani publik dan semangat bangsa ini untuk maju melalui revolusi mental. Dalam buku tersebut, bukan pembebasan dari cengkeraman keterbelakangan prestasi yang dituntunkan, melainkan keburukan perilaku melalui ajaran seks bebas. Itulah bentuk pornografi kasar.

Hampir satu dekade lalu, Prof Bryan S. Turner, pakar sosiologi agama, dalam seminar religious commodification di Singapura pada 22–25 November 2005 mengingatkan akan bahaya dua jenis pornografi: pornografi kasar (hard pornography) dan pornografi halus (soft pornography). Dalam perspektif Turner, pornografi kasar akan bisa dikenakan jika terdapat unsur yang mempertontonkan terjadinya penetrasi, baik seksual maupun bukan, secara transparan. Yang ditampilkan sudah menjurus kepada eksploitasi seksual secara jelas dan kuat mengiringi ’’alur narasi besar’’ sebuah produk yang dijual. Lebih-lebih jika eksploitasi seks tersebut diiringi ajakan dan ’’tuntutan’’ seperti dilakukan Toge Aprilianto dalam bukunya Saatnya Aku Belajar Pacaran tersebut.

Di negara mana pun, termasuk Barat sekalipun, publikasi yang bermateri eksploitasi seks bebas selalu masuk kategori bacaan/tontonan untuk pembaca 18 tahun ke atas. Itu pun tidak diperjualbelikan secara bebas. Ada pembatasan peredaran. Karena itu, tindakan serupa, termasuk pembatasan, harus dilakukan terhadap peredaran publikasi seperti buku di atas demi perlindungan hak dasar anak. Jangan menunggu menyesal dahulu, lalu baru tersadar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar