Sisi
Lain Kekalahan Indonesia di WTO
Adhi S Lukman ; Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan
Minuman Seluruh Indonesia; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Indonesia;
Ketua Komite Tetap Pengembangan
Industri Pangan Kadin Indonesia
|
KOMPAS, 16 Januari
2017
Opini
Prof Bustanul Arifin (”Peluang Banding di WTO”, Kompas, 7/1/2016): WTO
mengabulkan gugatan Selandia Baru dan Amerika Serikat. Indonesia akan
banding, bukan hanya sekadar mengulur waktu, melainkan untuk menunjukkan
kedaulatan bangsa dan kesempatan emas untuk memperbaiki ketentuan dan
kebijakan impor.
Biarlah
para ahli menyiapkannya dan menunjukkan ke dunia atas kedaulatan bangsa di
tengah kawah candradimuka perdagangan global. Sisi lain gugatan WTO
menyadarkan kita semua bahwa dalam era globalisasi, segala kebijakan dan
sistem perdagangan dunia saling terkait satu sama lain. Apa yang terjadi di
industri dan perdagangan agro dan pangan? Keterkaitan regulasi dalam Rantai
Nilai Global (Global Value Chain/GVC) kian masif terjadi.
Industri
pangan di Indonesia terus menggeliat, tumbuh 8,55 persen (BPS, September
2016). Di balik angka itu, industri pangan menghadapi tantangan persaingan
global yang semakin meningkat. Keuntungan perusahaan kian tergerus karena
strategi perusahaan untuk memenangi persaingan. Kondisi ini sebenarnya tak
sehat, pertumbuhan industri harusnya diiringi perolehan keuntungan yang wajar
untuk keberlanjutan industri.
Komoditas
agro sebagai bahan baku utama industri pangan sudah lama masuk dalam pusaran
Rantai Komoditas Global (Global Commodity Chain) yang dimulai akhir 1970-an
dan terus berevolusi menjadi GVC dari hulu ke hilir. Awal 2000-an, GVC mulai
dikenal luas. GVC pada awalnya banyak diterapkan di industri semikonduktor
dan farmasi, dengan mengandalkan kekuatan teknologi dan inovasi pengembangan
produk.
Saat
ini GVC terus berkembang merambah ke sektor lain, seperti agro dan pangan,
dan banyak negara maju memanfaatkan konsep GVC demi menang dalam persaingan
global. Ketentuan WTO, regulasi negara, insentif, subsidi serta business best
practice dikombinasikan dengan cantik agar bisa menunjang GVC tanpa memberi
kesempatan adanya gugatan dari negara lain.
GVC
saat ini diiringi revolusi industri generasi keempat disertai penerapan
perdagangan daring. Perusahaan global mengembangkan GVC disertai pengembangan
merek global. Kantor WorldPanel melaporkan hasil surveinya pada 2015,
sebanyak 50 merek yang paling sering dibeli konsumen di dunia dikuasai oleh
perusahaan yang siap menerapkan GVC dan memiliki merek global. Satu merek
Indonesia masuk dalam daftar Top 50 ini.
Antisipasi kebijakan
pemerintah
Di
tataran kebijakan, pemerintah memegang peran penting. Ketidaksesuaian
kebijakan di satu negara akan memicu gugatan karena semua berujung pada
bagaimana memenangi persaingan. Maka, sebelum membuat kebijakan strategis,
pemerintah wajib melakukan analisis dampak kebijakan (regulatory impact
assessment) secara global.
Terkait
GVC di industri agro dan pangan, pemerintah harus meninjau ulang konsep
kedaulatan dan ketahanan pangan yang termaktub dalam UU No 18/2012 tentang
Pangan. Kedaulatan harus ditunjukkan dengan kebijakan pemerintah tanpa
didikte negara lain dan untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi tak
terjebak dalam koridor sempit harus swasembada dan mengharamkan impor.
Arah
hilirisasi industri agro dan pangan, serta menjadikan industri bernilai
tambah sudah benar sesuai konsep GVC agar daya saing meningkat. Impor bahan
baku industri tidak tabu untuk menunjang industri bernilai tambah sepanjang
tidak tersedia di dalam negeri serta sesuai permintaan konsumen di pasar
global yang berubah sangat cepat.
Di
negara maju seperti Jepang, siklus produk pangan olahan disesuaikan dengan
empat musim dan bisa dibayangkan perubahan yang cepat sekali. Dibutuhkan
kecepatan inovasi dan pengembangan produk mulai dari penggunaan bahan baku,
bahan tambahan pangan, teknologi proses, kemasan dan bahkan sistem
distribusinya agar cepat sampai ke mulut konsumen. Maka pemberdayaan bahan
baku global jadi pilihan GVC dalam rangka menunjang kecepatan inovasi produk
dan menaikkan daya saing.
Pemerintahan
Kabinet Kerja sudah dalam arah yang benar dalam menarik investasi, dengan
melakukan berbagai terobosan deregulasi dan kemudahan dalam berusaha.
Deregulasi sudah diluncurkan sebanyak 14 paket dan indeks kemudahan berusaha
versi Bank Dunia meningkat dari peringkat ke-109 menjadi ke-91 pada 2016.
Investasi di industri pangan juga meningkat signifikan mencapai Rp 46 triliun
sampai September 2016 (peringkat kedua dari semua sektor usaha).
Namun,
semangat deregulasi belum konsisten di semua lini. Sinkronisasi kebijakan
antarkementerian/lembaga serta pusat-daerah menjadi tantangan besar
menghadapi arus GVC. Dengan kasus gugatan di WTO, pemerintah harus jeli
sehingga kebijakan daerah sekalipun bisa membuka peluang gugatan jika tidak
sesuai kesepakatan global.
Memanfaatkan
GVC menjadi keniscayaan, apalagi indeks partisipasi GVC Indonesia ditengarai
masih rendah, nomor lima di ASEAN (bahkan di bawah Vietnam). GVC dipastikan
akan menambah investasi, membuka lapangan kerja lebih luas, memberi nilai
tambah yang dinikmati rakyat Indonesia serta pemasukan pajak yang lebih besar
bagi negara. Pengembangan konsep GVC dengan memperhatikan kesepakatan global
WTO diharapkan memberi keuntungan bagi bangsa dan negara.
Pemangku
kepentingan lain, seperti pelaku usaha, konsumen, dan akademisi, perlu
menyesuaikan perubahan dengan pemerintah sebagai nakhodanya. Semua harus
waspada mengantisipasi kian kencangnya arus globalisasi agar bisa memenangi
persaingan dan tidak sekadar bertahan dalam pusaran tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar