Sabtu, 28 Januari 2017

Menghela Kemajuan Bangsa

Menghela Kemajuan Bangsa
Suwidi Tono  ;  Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”
                                                      KOMPAS, 27 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di tengah involusi gagasan dan tindakan yang menjejak hakikat, kita mendapati ”lubang besar” berupa lemahnya kelembagaan sosial-ekonomi-politik sehingga menghambat gerak kemajuan bangsa.

Fundamental modal sosial, khususnya pendidikan, amat rapuh. Struktur tenaga kerja Indonesia (BPS, Agustus 2016) menyebutkan, 60,24 persen berpendidikan SMP ke bawah, 27,12 persen berpendidikan menengah, dan hanya 12,24 persen lulusan perguruan tinggi. Konfigurasi ini jelas tidak memadai untuk menghela kemajuan di dunia yang semakin kompetitif, yang bertumpu pada keunggulan sains dan teknologi.

Kelemahan tersebut jelas terkonfirmasi pada data Indeks Pembangunan Manusia/ IPM (peringkat ke-109 dari 170 negara), di luar 50 besar negara kategori inovatif dan kreatif, Global Competitiveness (nomor 41 dari 138 negara), dan urutan terbawah (peringkat ke-34) pada survei kecerdasan (literasi, numerasi, serta pemecahan masalah) siswa tingkat menengah dan tingkat kompetensi penduduk dewasa.

Di lapangan ekonomi, persaingan bebas (free fight liberalism), pemusatan aset, dan ekonomi rente terus berkembang tanpa koreksi dan intervensi memadai. Keganjilan struktural yang ditimbulkan, misalnya, dengan jelasditemukan dalam tata niaga komoditas pangan strategis, seperti beras, daging unggas, dan sapi.

Harga gabah kering panen di tingkat petani dibeli Rp 3.700 per kilogram (kg), sedangkan harga jual beras ke konsumen bervariasi Rp 9.000-Rp 12.000 per kg. Harga daging ayam ras di tingkat peternak hanya Rp 1.800 per kg bobot hidup, sementara harga di pasar minimal mulai Rp 35.000 per kg. Untuk daging sapi, di tingkat peternak dihargai hanya sekitar Rp 30.000 per kg bobot hidup, tetapi sampai di konsumen harga jual minimal Rp 100.000 per kg. Sebanyak 12 perusahaan besar menguasai 80 persen pasar daging ayam ras dengan produksi sekitar 2,2 miliar ekor per tahun.

Margin keuntungan tipis dan risiko tinggi di tingkat produsen dan harga mahal di tingkat konsumen adalah fenomena menetap yang selalu luput dari pendekatan kebijakan dan eksekusi pemerintah. Sekitar 90 persen subsidi pupuk jatuh ke petani kaya yang jumlahnya hanya 5 persen, sedangkan 65 persen petani miskin hanya menerima subsidi 3 persen.

Sudah saatnya alokasi subsidi pertanian pangan strategis tidak diarahkan ke sektor hulu (benih, pupuk, pestisida, alat, dan mesin pertanian), tetapi lebih tepat di hilir dalam bentuk peningkatan harga produk akhir. Menekan harga di tingkat petani dengan tujuan mengendalikan laju inflasi bukan hanya tidak tepat, tetapi juga menyebabkan produktivitas dan semangat bertani terus melemah. Sebaliknya, penetapan harga wajar sebagai insentif akan memacu produktivitas dan memberikan keuntungan pada semua pemangku kepentingan pertanian, termasuk industri/ pabrikan.

Singkatnya, produsen (petani, peternak) dan konsumen awet menjadi korban struktur tata niaga yang memelihara golongan para pemburu rente,kartel, dan oligopoli. Pragmatisme kebijakan lewat impor untuk memenuhi kebutuhan dan menekan harga yang terus berulang dari rezim ke rezim membuka sisi gelap ketidakkonsistenan membangun basis produksi sebagai soko guru kedaulatan pangan.

Tidak berkualitas

Di lapangan politik, oligarki, patronase, dan politik uang (money politics) menyuburkan golongan politisi yang dalam idiom Jawa disebut kere munggah bale atau petruk dadi ratu. Sebuah sindiran atas ketidakcukupan modal integritas dan kapasitas yang mendominasi sirkulasi elite politik dan pemerintahan. Rakyat tidak mendapatkan pemimpin mumpuni karena parpol gagal memunculkan kader atau sosok kredibel akibat terbelenggu kepentingan-kepentingan sesaat.

Praktik demokrasi dan prospeknya muskil dapat mengawal cita-cita proklamasi yang beralas-sumbu kecerdasan akal budi bangsa. Hampir dua dekade reformasi 1998, parpol hanya sibuk berebut kekuasaan dan melupakan tujuan politik utama: memajukan bangsa.

Jika politik kita makin mengarah sekadar demokrasi elektoral dan acap kali mengusung sentimen primordial dengan daya rusak luar biasa, praktik ekonomi melanggengkan ketimpangan dan ketidakadilan. Pertumbuhan tidak berkualitas dan berkelanjutan mudah ditengarai dari trade-off capaian peningkatan produk domestik bruto (PDB), tetapi tak mendongkrak IPM. Ditambah faktor kalibrasi berupa kerusakan sumber daya alam tak terbarukan, kesenjangan pendapatan dan pemilikan aset, pertumbuhan hanya sekadar menggambarkan capaian makro tanpa hakikat substansial. Apalagi capaian itu lebih banyak didorong peningkatan konsumsi dan non-tradable goods, bukan pertumbuhan produksi dan kreativitas.

Seluruh uraian ini menunjuk pada kemiskinan visi dan tindakan. Hulusemuanya adalah bersemayamnya kultur korup yang merusak. Pembangunan gencar infrastruktur dan pemerataan lewat redistribusi aset hanya akan menuai hasil serupa jika struktur ekonomi-politik tidak lebih dulu disiapkan agar kompatibel memihak dan memberdayakan rakyat.

Tidak membungkuk

Kita membutuhkan sekurang-kurangnya 20 persen lapisan penduduk yang mandiri, inovatif, dan kreatif. Sebuah lapisan kelas masyarakat yang ”merdeka” dan ”tidak membungkuk” pada sistem yang korup dan merusak. Era teknologi digital dan dunia tanpa tapal batas membuka peluang itu.

India merupakan fenomena terbaik dalam mengembangkan daya cipta manusianya. Saat ini, orang-orang India menempati posisi-posisi puncak di korporasi-korporasi terkemuka dunia, terutama di bidang manajemen, teknologi informasi, keuangan, dan sains. Para eksekutif dan ilmuwan ini mendorong anak-anak dan generasi muda India mengembangkan bakatnya di luar India. Selain korporasi, universitas-universitas terbaik dunia kini dibanjiri anak-anak muda India.

Dengan semboyan fireflies arising (kunang-kunang bermunculan), diaspora India yang tersebar di seluruh dunia bersatu memancangkan knowledgebased society untuk mengentaskan sebagian besar warga bangsanya dari kemiskinan dan keterbelakangan. Keterpanggilan kaum mapan dan terpelajar India itu merupakan sumber inspirasi untuk mengatasi sekat kultural-politik yang mengekang kemajuan bangsa.

Indonesia memiliki kekayaan beragam modal sosial untuk melawan kejumudan politik dan ekonomi. Konsolidasi modal sosial itu memerlukan banyak volunteer, sukarelawan, untuk gerakan pendampingan tanpa kenal lelah. Fokus pada perbaikan kesejahteraan dan pendidikan rakyat secara signifikan, mensyaratkan ketersediaan lembaga pemberdayaan yang berakar dan organik di tingkat komunitas.

Program pengentasan rakyat dari kemiskinan, misalnya, terbukti tidak menuai hasil signifikan selama satu dekade terakhir justru ketika alokasi anggaran melonjak dari Rp 42 triliun tahun 2006 menjadi Rp 214 triliun tahun 2016. Jumlah orang miskin tak beranjak, tetap sekitar 28 juta jiwa atau 10,56 persendari total penduduk.

Sumber utama kemiskinan adalah ketiadaan atau minimnya aset produksi, pengetahuan dan keterampilan rendah, keterbatasan aksesibilitas modal, serta tidak adanya lembaga pendampingan, menempatkan kaum marjinal—terutama buruh tani, pemilik lahan kecil, dan nelayan— tidak tersentuh program pengentasan rakyat dari kemiskinan. Tanpa perombakan menyeluruh dalam menetapkan golongan sasaran dan perubahan radikal pendekatan program, momok kemiskinan akan terus menjadi problem panjang dan permanen.

Nawacita mencanangkan membangun Indonesia dari pinggiran. Revolusi kemajuan bangsa dapat menemukan momentumnya jika kita mengenali kekuatan modal sosial lokal yang ditopang modal sumber daya alam dan potensi setempat. Premisnya harus bermulamenjadikan rakyat berdaya dan kuat agar negara kuat. Bukan sebaliknya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar