Kamis, 26 Januari 2017

Memikir Ulang Pendidikan

Memikir Ulang Pendidikan
Daoed JOESOEF ;  Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
                                                      KOMPAS, 25 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Memasuki 2017, demi menciptakan prospek ekonomi, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menerbitkan paket kebijakan untuk mendorong investasi di sektor-sektor tertentu.  Terlepas dari penilaian tepat-tidaknya relevansi tindakan tersebut, kebijakan ini adalah tindakan antisipatif pemerintahan yang terpuji sebab gouverner c’est prevoir, ”memerintah adalah memprediksi”. Dalam hal ini pemerintah menyatakan bahwa ke depan ada masalah nasional dan sanggup mengatakan kepada rakyat apa-apa yang tidak mereka sadari.

Kebijakan serupa sebenarnya pantas diharapkan datang dari Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) mengingat di salah satu bidang yang menjadi tanggung jawabnya, yaitu pendidikan, terdapat segudang masalah yang perlu direspons secara relevan. Ujian nasional (UN), misalnya, jangan dianggap enteng. Ia adalah pucuk gunung es yang mengancam, tetapi tidak kasatmata.

Menko PMK bersama Mendikbud perlu dibiarkan melaksanakan kewenangannya, tanpa direcoki pejabat lain, untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan nasional karena bermuara pada masa depan negara-bangsa. Berbagai paket kebijakan pendidikan perlu segera diterbitkan untuk menghentikan karut-marut pendidikan nasional. Kekacauan pendidikan ini sudah lama, sudah melembaga. Pencarian solusi kemelut pendidikan ini nyaris seluruhnya berada dalam yurisdiksi nasional. Pembangunan pendidikan manusia Indonesia perlu direhabilitasi.

Pelumpuhan negara

Ada dua cara yang membuat negara-bangsa semakin lama semakin lumpuh. Pertama, melibatkannya dalam peperangan atau konflik berkepanjangan. Kedua, apabila pendidikan anak-anak bangsa diabaikan. Kedua aksi tersebut, walau tanpa disadari, sedang terjadi di NKRI.

Secara formal Indonesia memang tidak berperang. Tetapi, secara faktual, ia sudah dikacau oleh aneka disguised proxy wars berupa radikalisme antaragama, aksi teror, perang hibrida, peredaran narkoba, penisbian moral kebangsaan, serta pencemaran nilai-nilai kepancasilaan dan kebineka-tunggal-ikaan.

Secara formal proses pendidikan tetap berjalan, tetapi secara faktual ia bagai kerokot tumbuh di batu hidup segan mati tak mau. Perjalanannya kacau karena sudah dibebani aneka tindakan yang irelevan dan irasional seperti gonta-ganti kurikulum pembelajaran yang diikuti dengan berubahnya buku teks pelajaran dan format rapor; hilangnya bahasa pengantar bahasa Indonesia (yang merupakan bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda) di sebagian sekolah; sekolah dan dinas pendidikan hanya berlomba mencari ranking tinggi dengan mengabaikan fungsi utama pendidikan, yaitu pendidikan karakter; pendapat umum memasuki perguruan tinggi (PT) melalui jalur undangan diutamakan bagi siswa lulusan sekolah negeri; belum jalannya kebijakan sekolah inklusi walau sudah acap kali dicanangkan; pejabat kepala dinas di daerah kadang bukan berasal dan mengerti pendidikan.

Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan seperti penyampaian materi yang bersifat kearifan lokal seperti cara menghadapi bencana tsunami, erupsi gunung, banjir, gempa, tanah longsor tidak hanya dipelajari sekadarnya, tetapi harus disampaikan secara menarik dan menyenangkan; pengamalan keseharian dan praktis dari Pancasila dan nilai keindonesiaan di sekolah-sekolah karena materi ini bukan hanya untuk dihafalkan saja; pembuatan kisi-kisi UN dan USBN di sekolah menengah yang perlu lebih diperjelas dan difokuskan dengan materi ujian sehingga siswa dan gurunya tidak menjadi bingung karena terlalu luas.

Pembangunan manusia Indonesia yang pancasilais harus diserahkan pelaksanaannya kepada mereka yang tahu pendidikan dan paham nilai-nilai kepancasilaan. Pendidikan memang masalah setiap orang, tetapi tidak semua orang tahu pendidikan walaupun berprofesi guru.

Makna pendidikan

Misteri terbesar bukanlah bahwa kita terlempar secara acak di antara limpahan materi dan bintang, tetapi bahwa di dalam perangkap ini kita menciptakan citra yang cukup kuat untuk mengatasi ketidakberdayaan kita, to deny our nothingness. Bantahan ini diwujudkan melalui dan oleh proses pendidikan yang relevan.

Hidup manusia memang bertabur masalah. Tidak jarang jawaban terhadap sesuatu masalah malah menjadi masalah baru. Walaupun begitu, ada satu kebenaran: jawaban mengenai masalah nasional kita mengerucut ke satu perkataan (baca: perbuatan), yaitu pendidikan.

Progres kita selaku suatu negara-bangsa tidak akan bisa lebih cepat daripada perkembangan pendidikan nasional kita. Kemajuan pendidikan bergantung pada penegasan bahwa kemerdekaan nasional tidak nominal terus-menerus, tetapi menjadi satu realitas yang tak terbantah.

Pendidikan bertujuan mengetahui bukan fakta, melainkan nilai. Adalah satu keniscayaan, menurut Einstein, bahwa siswa/mahasiswa mendapat pemahaman dan perasaan tentang nilai. Dia perlu memperoleh makna yang jernih mengenai keindahan dan kebaikan moral. Jika tidak, dengan pengetahuannya yang spesialistis, dia akan lebih mirip dengan a well trained dog than a harmoniously developed person, orang yang berilmu pengetahuan, tetapi tanpa karakter yang baik.

Terkait keniscayaan tersebut, pendidikan sejatinya adalah membelajarkan kita bagaimana berpikir (how to think), bukan memikirkan apa (what to think), yang memungkinkan kita berpikir untuk diri sendiri dan lalu mengisi ingatan dengan memikirkan orang lain. Moralitas bukan doktrin bagaimana kita membuat diri sendiri bahagia, melainkan bagaimana kita membuat diri pantas berbahagia.

Berarti, pikiran manusia adalah sumber mendasar kita dan karena itu pembelajaran dan pikiran terpaut bagai lepat dengan daun. Belajar tanpa pikiran adalah membuang tenaga; pikiran tanpa belajar adalah sia-sia belaka.

Berhubung setiap makhluk bernyawa akan menjalani sisa hidupnya di masa depan, kita wajar memprediksi bahwa pendidikan tentang masa depan berupa pembentukan pikiran inventif. Hal ini bakal menimbulkan kepercayaan pada nilai-nilai luhur dari spirit inventif atau kreatif hingga kepercayaan itu akan mengembangkan sendiri spirit tersebut. Ada simbiosis mutualisme antara nilai dan spirit inventif begitu rupa hingga spirit inventif mampu menjabarkan pembaruan interogatif.

Praksis pendidikan

Mengingat pendidikan bertujuan mengetahui nilai, bukan fakta, maka pendidikan adalah suatu proses yang membiasakan anak didik sedini mungkin menggali, mempelajari, menguasai nilai, dan menerapkannya demi kecerahan pribadi, keluarga, dan masyarakat karena sama-sama mengakui kebajikannya.

Nilai memang sesuatu yang dianggap berharga. Berhubung nilai per definisi tergolong budaya, maka pendidikan adalah bagian konstitutif dari kebudayaan. Apabila sekolah dimaksudkan betul-betul menjadi organ fungsional negara-bangsa, kinerjanya tergantung lebih banyak pada atmosfer kebudayaan nasional ke lingkungan mana sekolah diposisikan ketimbang atmosfer pedagogis yang diciptakan dalam lingkungan sekolah. Budaya bisa berbentuk (tangible) dan nirbentuk (intangible). Bagian terbesar yang ditangani pendidikan adalah nilai intangible, di antaranya nalar dan ilmu pengetahuan, yang langsung terpaut pada cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.

Nilai adalah genus aneka spesies mata pelajaran. Maka tugas penyusun kurikulum adalah menjabarkan silabus yang mengandung ide-ide didaktis. Pendidikan dengan ide-ide yang hampa nilai ibarat pepesan kosong. Ia tidak hanya tak berguna, bahkan merusak karakter. Adapun tujuan pendidikan meliputi pembentukan karakter. Di antara ide-ide bernilai itu, UNESCO, misalnya, menyebut belajar (i) untuk membangun jati diri (to be), (ii) untuk tahu (to know), (iii) untuk berani menerapkan pengetahuan yang diperoleh pada kehidupan (to do), dan (iv) untuk membentuk sikap kebersamaan yang serasi (to live together).

Sejauh mengenai pembentukan karakter khas keindonesiaan, ide-ide bernilai tadi jelas dikandung oleh semua sila dari Pancasila. Bertakwa (sila pertama), berkepribadian matang (sila kedua), rasa kebangsaan (sila ketiga), berwawasan global, demokratis dan toleran (sila keempat), dan manusia yang manusiawi (sila kelima).

Pendidikan nasional harus berupa suatu kesetaraan kans (equality of chances) bagi rakyat, tetapi bukan yang mengacu pada kemampuan bersendikan bakat luar biasa, seperti berbiola ala Idris Sardi atau menari ala Didik Nini Thowok. Kemampuan seperti itu adalah anugerah ilahiah, sejenis takdir. Kesetaraan kans berada di bidang-bidang perbaikan kehidupan rakyat sehari-hari yang bersahaja: akses ke pendidikan normal, ke perumahan sederhana yang layak huni, ke lingkungan hidup yang tidak kumuh, ke zona pemukiman yang higienis.

Kartu pintar yang dibagi gratis kepada warga boleh saja secara formal dianggap kunci pembuka kesempatan, tetapi secara faktual tidak akan mengajarkan apa pun selama dia sendiri tidak bergairah belajar. Maka sistem wajib belajar tidak terelakkan. Orangtua yang memaksa anaknya membantu mencari nafkah keluarga, bukan bersekolah, perlu ditindak. Namun, pemerintah harus mencarikan jalan agar keluarga tidak semakin miskin tanpa bekerjanya sang anak. Orangtua wajib memberikan kesempatan kepada keturunannya untuk belajar, termasuk anak perempuan. Kita mendidik anak laki-laki kita mendidik satu orang, tetapi mendidik anak perempuan kita mendidik satu keluarga.

Pembelajaran dalam rangka pendidikan formal bukan bermaksud mencakup semua yang mungkin diketahui dari aneka materi yang diajarkan, tetapi betul-betul mempelajari setiap materi tentang apa-apa yang tidak boleh diabaikan oleh siswa/mahasiswa.

Maka penting bagi penyusun kurikulum dan penjabar silabus menyadari perbedaan antara mata pelajaran yang bersifat final dan yang berfungsi instrumental. Biologi, misalnya, bisa bersifat mata pelajaran final, pengetahuan tersendiri yang perlu diketahui. Matematika bisa bersifat final, bisa pula berfungsi instrumental.

Ujian merupakan bagian konstitutif dari pembelajaran. Sebab, selain untuk mengetahui tingkat penguasaan materi oleh anak didik mengenai materi yang sudah diajarkan, setiap pembelajaran formal mengenal akhir (graduation), jadi butuh tanda (ijazah).

Berhubung tidak semua lulusan SMA berniat melanjutkan ke perguruan tinggi, maka ujian yang menjurus ke perolehan ijazah tidak perlu mengikuti tuntutan mutu pembelajaran keilmuan di tingkat universiter. Jadi, ujian masuk ke PT tetap diniscayakan, harus dibedakan antara evaluasi (ujian akhir sekolah) dan seleksi (ujian masuk ke jenjang di atasnya). Berarti perlu ujian bertaraf nasional demi kemudahan mobilitas pencari kerja.

Dunia usaha tidak pantas menolak mereka dengan kilah para lulusan ”tidak siap pakai”. Perusahaan-perusahaan itu sendiri yang membuat buruh menjadi siap pakai melalui rangkaian training.

Harus diakui bahwa pendidikan nasional kita memang sedang menghadapi kemelut besar. Masalah perlu-tidaknya UN hanya merupakan pucuk dari gunung es yang tidak kelihatan. Untuk menyelesaikannya perlu serangkaian tindakan drastis dan serentak.

Pertama, kembalikan sentralisasi pelaksanaan pendidikan. Kedua, demi efektivitas kinerjanya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan punya kantor wilayah di setiap provinsi, seperti yang pernah berlaku hingga era Orde Baru. Hal ini demi tercapainya landasan yang idiil dari tingkat pusat ke daerah.

Ketiga, semua jenjang pendidikan dari TK hingga PT dikembalikan ke bawah satu atap, di bawah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar