Jumat, 27 Januari 2017

Menguatkan Teologi Kerukunan

Menguatkan Teologi Kerukunan
Ismatillah A Nu'ad ;  Peneliti Indonesian
Institute for Social Research and Development, Jakarta
                                            MEDIA INDONESIA, 26 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

RAPAT konsultasi antara Presiden Joko Widodo dan pimpinan MPR di Istana Merdeka (24/1) yang membahas soal kerukunan dan mengedepankan nilai-nilai keindonesiaan dalam menyelesaikan persoalan sangat penting untuk diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mengingat dewasa ini menguatnya pihak-pihak yang cenderung mengungkit sentimen agama untuk saling membenturkan kerukunan kehidupan umat beragama.

Karena itu, dituntut adanya kewaspadaan dari oknum pihak ketiga yang ingin bermain di 'air keruh'. Di sisi lain, perlu ditegaskan agar nilai-nilai toleransi serta kerukunan harus tetap terjaga sebab bangsa ini bagai sebuah mozaik, baik keyakinan agama, karakter budaya, identitas, maupun etnik. Lazimnya sebuah mozaik, jika direnungkan sesaat, di dalam diri bangsa ini tecermin apa yang disebut antropolog Prancis, Claude Levi-Strauss (1995), bahwa keragaman ada di belakang, di depan, dan bahkan di sekeliling kita.

Dengan demikian, keragaman dalam berbagai hal itu memang sebuah realitas, sama sekali bukanlah hal yang baru. Emosi karena kebencian yang terus disuarakan ditakutkan akan menyulutkan api-api kecil yang akan membesar di seluruh penjuru negeri. Bahkan, hal itu dikhawatirkan memunculkan statemen yang mengatakan dan menghujat agama lain berasal dari kaum yang dibenci Allah. Sebagai umat muslim janganlah kita hanya memandang dari satu arah seperti mengharamkan toleransi sehingga kita memeranginya hanya karena ada ayat yang berbunyi "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka." (QS Al-Baqarah:120).

Kebencian timbul biasanya disebabkan ketidakadilan, baik oleh umat lain, pemerintah, LSM, maupun pemberitaan sehingga kadang kala kita menuntut hal tersebut, berlaku tidak adil, bahkan sampai melarangnya. Padahal, ada ayat yang menyatakan, "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah! Karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS Al-Maidah:8). Di masa kini, teramat penting untuk membangun masyarakat yang bertolak dari rasa saling menghargai, menghormati, dan mengasihi antarsesama.

Masyarakat bisa dikatakan ideal jika di dalamnya terdapat bangunan jiwa persaudaraan, persamaan, dan keadilan yang tecermin pada setiap pribadi manusia sebagai anggota masyarakat. Bagaimanapun sikap-sikap kemanusiaan semacam itu sangat diperlukan untuk menandingi kecenderungan di sebagian kecil masyarakat yang membenarkan adanya praktik-praktik kekerasan. Praktik kekerasan yang ditimpakan pada komunitas yang berbeda paham ideologi maupun keagamaan oleh pihak-pihak tertentu, atau fenomena mengerikan seperti tindakan terorisme atau bom bunuh diri atas nama agama.

Seorang ahli syariat Islam di University of California, LA, Khaled Abu al-Fadl menyebutkan bahwa sebenarnya tindakan-tindakan kekerasan tak bertanggung jawab yang mengatasnamakan Islam dilakukan oleh segelintir kalangan yang tentu sedikit jumlahnya (peripheral). Namun, jumlah yang sedikit tersebut seakan-akan mewakili dari jumlah umat Islam yang banyak. Ini tentu pada gilirannya sangat merugikan umat Islam secara keseluruhan. Sikap keberagamaan tertutup sebenarnya menjadi pangkal persoalan karena praktik kekerasan maupun terorisme atas nama agama bermula dari sikap keberagamaan itu.

Ciri utama keberagamaan tertutup, antara lain seperti menolak kebenaran dalam agama-agama lain, mengklaim agamanya yang paling benar, sempit dalam menafsirkan kitab suci Alquran, menolak keterbukaan, kerja sama, dan dialog dengan penganut agama lain. Sikap keberagamaan tersebut tentunya tidak menguntungkan bagi keberadaan bangsa Indonesia yang sangat majemuk. Bangsa majemuk mensyaratkan bagi warga negaranya untuk bersikap terbuka, mendialogkan adanya perbedaan-perbedaan, saling menghormati, menghargai, bekerja sama, dan menyayangi antarsesama.

Dengan kata lain, persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) teramat diperlukan bagi sebuah bangsa yang majemuk. Tanpa adanya rasa persaudaraan kebangsaan, tekad yang sama, cita-cita bersama, bangsa ini sudah sedari awal mengalami perpecahan atau disintegrasi. Karena itulah, sikap keberagamaan tertutup dapat merusak tatanan kebangsaan ini. Karena dengan sikap tersebut, sebuah komunitas umat akan terblokade berdasarkan paham keagamaannya saja.

Sementara dalam bernegara dan berbangsa, kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang berbeda-beda sebagai fitrah ketuhanan, sebagaimana ayat Alquran yang dikutip di bagian awal tulisan ini. Bukankah hadis Nabi Muhammad SAW menyebutkan, "Belum sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sama seperti ia mencintai dirinya sendiri." (HR Bukhari). Ini menandakan betapa dalam Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan antarsesama umat manusia, terlepas dari perbedaan agama, ideologi, ras, atau suku bangsa.

Sayangnya, terlalu banyak muslim di negeri ini tidak melaksanakan keimanan dan ketakwaannya yang sesungguh-sungguhnya sehingga bangsa ini akhirnya terombang-ambing dan karut-marut dilanda berbagai persoalan, baik ekonomi, sosal, maupun politik. Kehidupan masyarakatnya penuh dengan ketidakmenentuan, penyakit-penyakit sosial masih eksis. Pengembangan dan pelaksanaan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) perlu dilakukan dan dikukuhkan secara bersama-sama, saling mendukung, dan bersifat sinergis.

Persaudaraan kebangsaan perlu ditopang dengan adanya kesadaran persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah) bukan hanya sebatas persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah) semata-mata. Jika hanya mengukuhkan persaudaraan Islam tanpa mengikutkan persaudaraan kemanusiaan, sama halnya mengutubkan kemanusiaan dalam sebuah blokade-blokade perbedaan agama yang sangat merugikan. Sementara iklim peradaban saat ini pun mengharuskan adanya kerja sama yang terbuka yang dibangun berdasarkan kesadaran bersama, saling menghargai, menghormati, dan mengasihi antarsesama umat manusia untuk membangun peradaban kemanusiaan di masa kini dan untuk masa datang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar