Selasa, 31 Januari 2017

Radikalisasi Amerika Tanpa Kendali

Radikalisasi Amerika Tanpa Kendali
René L Pattiradjawane  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 30 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Banyak pengamat menganggap terlalu dini menilai kepemimpinan Presiden Amerika Serikat Donald Trump karena janji-janji kampanye akan berbeda dengan kebijakan yang diterapkan Trump. Selama ini, Trump memang penuh dengan retorika politik yang berjanji menerapkan kebijakan utuh tentang "America First" sebagai perilaku populis nasionalistik.

Namun, ketika Presiden Trump mengeluarkan perintah eksekutif mencegah masuknya orang-orang Muslim dari tujuh negara, yakni Suriah, Irak, Iran, Sudan, Libya, Somalia, dan Yaman, dunia terkejut. Argumentasinya, menghentikan untuk kurun waktu tertentu mereka yang mau masuk AS sebagai pengungsi dari negara-negara tersebut dan dianggap menjadi penghambat bagi orang-orang AS yang kehilangan pekerjaannya oleh orang-orang asing tersebut.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi langsung menyatakan penyesalan yang mendalam akibat kebijakan yang dipandang rasialis atas kepercayaan tertentu. Sebagai negara berpenduduk Islam terbesar, Indonesia akan memandang perlakuan pemeriksaan ekstrem (extreme vetting) atas dasar kepercayaan bertentangan dengan prinsip hidup berdampingan secara damai.

Dalam konteks ini, keseluruhan pandangan kebijakan luar negeri banyak negara dunia tidak bisa menunggu lagi dan perlu menentukan proposisi awal dalam menentukan sikap pandangan atas Presiden Trump yang akan berubah total dalam mengejawantahkan kebijakan-kebijakan keadidayaannya yang menyimpang dari sebelumnya. Salah satunya adalah sikap kebanyakan negara, termasuk Indonesia, tentang Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang dihentikan secara unilateral.

Pandangan kita terhadap AS pada masa depan harus dirumuskan dalam beberapa prinsip. Pertama, menghubungkan persoalan keimigrasian dengan terorisme adalah pencemoohan atas budaya dan peradaban banyak negara sebagai pelaku kriminal berdarah. Dalam persepsi ini, kita khawatir norma dan nilai hukum internasional tentang terorisme sebagai kejahatan ekstrem transnasional tidak memiliki pijakan pengembangan kerja sama yang luas dan komprehensif dalam pencegahannya.

Kedua, melihat perintah eksekutif yang dikeluarkan Presiden Trump satu pekan setelah pelantikan, pemahaman kita tentang "America First" berdampak pada kemunculan berbagai ragam aksi afirmatif yang sangat diskriminatif pada banyak bidang, termasuk ekonomi, perdagangan, kebudayaan, politik, dan keamanan. Gagasan "Asia First" bisa menjadi antitesis geopolitik dalam upaya perebutan kekuatan dan kekuasaan global melalui kebangkitan RRT yang nyata kuat dan menjadi pelopor perdagangan, militer, ataupun keuangan melalui pembentukan berbagai gagasan dan institusi baru.

Secara keseluruhan, kebijakan "America First" pada banyak hal, seperti pendidikan, kesehatan, kerja sama perubahan iklim, dan inovasi teknologi. Sejauh ini masih belum terlihat landasan keputusan anti imigran ini. Anehnya, dari tujuh negara yang terkena kebijakan Presiden Trump, semuanya adalah negara tempat Donald Trump sebagai pengusaha tidak memiliki hubungan bisnis.

Ada persoalan etis dalam keputusan Presiden Trump tidak memasukkan negara Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab karena keluarga Trump memiliki hubungan bisnis. Politik regional dan global kesulitan berurusan dengan Presiden Trump yang condong transaksional dalam penentuan kebijakannya. Pola diskriminatif ini cerminan paling jelas ancaman stabilitas dan keamanan ketika radikalisasi Amerika bergerak tanpa kendali dan mengancam kerja sama komprehensif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar