Selasa, 31 Januari 2017

Proteksionisme Trump, Ketahanan Ekonomi Kita

Proteksionisme Trump, Ketahanan Ekonomi Kita
A Tony Prasetiantono;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
UGM, Yogyakarta
                                                      KOMPAS, 30 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Begitu dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald J Trump langsung merealisasikan idenya untuk memproteksi perekonomian negaranya. Sebenarnya perekonomian AS saat ini sedang menuju ke pemulihan sesudah krisis 2008. Tingkat pengangguran kini hanya 4,6 persen, pertumbuhan ekonomi 1,6 persen, dan inflasi 1,2 persen. Itulah pencapaian positif yang dilakukan pemerintahan Barack Obama.

Namun, rupanya Trump belum puas. Ada statistik ekonomi yang begitu mengganggunya, yaitu defisit perdagangan, terutama terhadap Tiongkok. Pada 2015, AS menderita defisit 367 miliar dollar AS terhadap Tiongkok, yang berarti naik daripada sebelumnya 343 miliar dollar AS (2014). AS hanya berhasil mengekspor 116 miliar dollar AS, sedangkan impornya 484 miliar dollar AS terhadap Tiongkok. AS banyak mengimpor barang-barang elektronik, pakaian, dan mesin dari Tiongkok.

Ini sebenarnya persoalan lama yang belum ditemukan solusinya. Mengapa Tiongkok begitu superior? Pertama, Tiongkok memiliki keunggulan komparatif pada biaya tenaga kerja. Pendapatan per kapita AS saat ini 56.000 dollar AS, sedangkan Tiongkok 9.000 dollar AS (untuk kota terbesar Beijing dan Shanghai mencapai 11.000 dollar AS). Kedua, Pemerintah Tiongkok secara sengaja menetapkan kurs yuan (renminbi) secara tetap sehingga cenderung lebih murah daripada semestinya (undervalued). Hal ini kian menguntungkan posisi harga barang-barang Tiongkok sehingga menjadi lebih murah.

AS sebenarnya sudah lama mencoba melobi Tiongkok untuk mengatasi ketidakseimbangan ini. Caranya, waktu itu, Menteri Luar Negeri AS Hillary R Clinton dan bahkan Presiden Barack Obama terbang ke Beijing. Akan tetapi, hasilnya sia-sia. Kurs yuan sempat akan diserahkan pada mekanisme pasar sejak Oktober 2016. Namun, ternyata hasilnya tidak tampak. Dengan dukungan cadangan devisa 3,2 triliun dollar AS, Pemerintah Tiongkok tetap bisa menyetir ”semaunya” dalam menentukan kurs yuan agar produk Tiongkok tetap kompetitif.

Masalah inilah yang sebenarnya ingin dibidik Donald Trump. Dia ingin Tiongkok menyerahkan mekanisme kurs yuan pada pasar sehingga yuan akan mengalami apresiasi, katakanlah antara 2 persen dan 3 persen per tahun. Oleh karena tidak ada tanda-tanda Tiongkok akan mematuhi kemauan AS, Presiden Trump pun ingin memaksakan pengenaan tarif tinggi terhadap berbagai produk Tiongkok.

Kebijakan ini tentu menakutkan seluruh dunia. Tiongkok bisa dipastikan tidak tinggal diam. Joseph Stiglitz mengingatkan akan terjadinya bencana perang dagang (trade war) antara AS dan Tiongkok, kemudian AS melawan Meksiko, lalu merembet ke seluruh dunia. Ini bahaya. Selain proteksionisme perdagangan, Trump juga akan memotong tarif pajak dan menambah defisit anggaran dengan utang. Ini mirip jurus ekonomi Presiden Ronald Reagan yang disebut supply-side economics, yang sesungguhnya tidak berjalan baik (Stiglitz, ”Trumpian Uncertainty”, Project Syndicate, 9/1/2017).

Bagi Paul Krugman, Trump ibarat memutar jarum jam ke seperempat abad silam ketika World Trade Organization berdiri pada 1 Januari 1995. Perang dagang akan terjadi, terutama AS melawan Tiongkok, meskipun mungkin tidak menyebabkan terjadinya kenaikan pengangguran besar, seperti yang ditakutkan banyak pengamat (Krugman, ”The China Shock and the Trump Shock”, The New York Times, 25/12/2016).

Benang merah pendapat Krugman dan Stiglitz adalah perekonomian global tidaklah dalam sekejap berubah dari era liberalisme/globalisasi (borderless world) menuju era proteksionisme. Semuanya perlu proses yang tidak mudah dan makan waktu. Tidak bisa seketika. AS memang keluar dari skema Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), tetapi skema WTO tidak serta-merta bubar.

Jalan Trump masih panjang dan terjal untuk bernegosiasi dengan Tiongkok yang pasti akan melawan dengan sengit. Sementara bagi Indonesia, AS merupakan mitra dagang yang penting. Selama 2016, AS menjadi negara tujuan ekspor terbesar Indonesia senilai 15,68 miliar dollar AS, disusul Tiongkok (15,09 miliar dollar AS), dan Jepang (13,21 miliar dollar AS). Dari sini dapat disimpulkan, meski tidak berarti kita pasti akan terkena dampak kebijakan Trump, upaya untuk mencari pasar di luar AS menjadi hal yang harus dilakukan.

Namun, ada berita baik bagi kita dari sektor primer. Sejak Desember 2016, para produsen minyak dunia mulai menahan diri untuk tidak menggenjot produksi hingga 90 juta barrel per hari. Mereka harus mengerem produksi untuk menyetop kejatuhan harga minyak lebih lanjut. Arab Saudi dan Rusia akhirnya rela mengurangi produksinya dengan masing-masing 500.000 barrel per hari. Langkah ini diikuti produsen lain, baik anggota OPEC maupun bukan.

Hasilnya, kini harga minyak stabil di level 53 dollar AS per barrel (WTI) dan 55 dollar AS per barrel (Brent). Ini membawa mata rantai positif pada harga komoditas substitusinya, yaitu batubara dan kelapa sawit.

Ditambah dengan kuatnya komitmen pemerintah untuk membelanjakan fiskalnya pada proyek-proyek infrastruktur (Rp 346 triliun), pada dasarnya perekonomian Indonesia masih memiliki daya tahan terhadap kemungkinan gempuran Trump. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar