Senin, 23 Januari 2017

Inkonstitusionalitas Presidensial Treshold

Inkonstitusionalitas Presidensial Treshold
Agus Riewanto  ;  Pengajar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana
Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta
                                             SUARA MERDEKA, 21 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MESKIPUN pemilihan presiden baru akan berlangsung pada 2019, aroma persaingan antarparpol mulai terlihat. Persaingan agar partai politik (parpol) bisa mengusung calon presiden, terlihat dari pembahasan RUU Penyelengaraan Pemilu, terutama soal ambang batas suara parpol bisa mengusung calon presiden (presidential threshold).

Sebagian parpol menginginkan penghapusan presidential threshold dan sebagian lainnya ingin mempertahankan sistem itu.(Suara Merdeka, 19 Januari 2017). Sebuah kebijakan pembuatan peraturan perundang-undangan (legal policy) tidak dapat dilepaskan dari rujukan konstitusi (UUD 1945), termasuk pembuatan RUU Penyelenggara Pemilu yang terkait dengan presidential treshold (selanjutnya di tulis Pres-T).

Jika dibaca secara cermat dan dalam batas penalaran hukum yang wajar maka sesungguhnya berdasarkan pada ketentuan Pasal 6 A Ayat (2) UUD 1945 dengan tegas dinyatakan, bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik.

Jika dilakukan penafsiran hukum secara restriktif (dipersempit) terhadap ketentuan UUD 1945 tersebut, maka terkandung makna bahwa Pres-T tidak dikenal dan pasangan Capres/Cawapres diusulkan semua parpol dan atau gabungan parpol sepanjang parpol tersebut menjadi peserta pemilu. Artinya, baik parpol lama yang saat ini memiliki kursi di DPR RI, maupun parpol baru, ataupun parpol besar dan kecil dapat mengusung calon presiden.

Jika merujuk pada Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) No 14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan permohonan uji materi (judicial review) terhadap pasal 3 ayat 5, pasal 12 ayat 1 dan 2, pasal 14 ayat 2 dan pasal 112 UU Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres di tegaskan, bahwa pemilu presiden (Pilpres) dan pemilu legislatif (Pileg) diselenggarakan secara serentak yang berlaku pada tahun 2019 mendatang.

Adapun yang dimaksud serentak oleh putusan MKRI ini adalah Pilpres dan Pileg diselenggarakan pada hari yang sama. Dengan diadakan Pemilu serentak, maka ketentuan Pres-T tidak ada lagi. Jika tetap dipaksankan agar Pres T ada dalam RUU Pemilu, maka dapat bertentangan dengan UUD 1945 dan Putusan MKRI. Dengan demikian eksistensi Pres T inkonstitusional.

Problem dan Solusi

Sejumlah politikus anti-Pres T , terutama (PDIP, PAN, PPP dan Golkar) dengan menyatakan terdapat sejumlah problem peniadaan Pres T. Pertama, kelak akan muncul jumlah Capres/Cawapres yang banyak dan akan cenderung memboroskan anggaran negara, terutama terkait dengan biaya kampanye karena merujuk pada UU No10 Tahun 2016 tentang Pilkada kampanye dibiayai melalui anggaran negara.

Menurut saya, hal ini bukan problem demokrasi, justru dengan kian banyak Capres/ Cawapres rakyat akan disuguhi oleh beragam pilihan dan akan dapat menggairahkan kompetisi dalam demokrasi nasional.

Adapun mahalnya biaya kampanye dapat ditekan dengan cara pada kampanye putaran pertama dibuat sesederhana mungkin, barulah pada putaran kedua, setelah jumlah calon makin sedikit, dibuat agak lebih meriah.

Pada putaran kedua inilah juga terjadi konsolidasi bagi parpol yang calonnya sudah tidak lolos lagi di putaran kedua, untuk mendukung calon yang diusung parpol lain. Kedua, peniadaan Pres Takan dapat melemahkan dukungan Parpol di DPR terhadap Capres/Cawapres terpilih dan akibatnya pemerintahan tak berjalan efektif.

Argumentasi ini tak selalu relevan, karena sesungguhnya dalam praktik penyelenggaraan pemilu serentak di banyak negara terutama di negara-negara Amerika Latin dan Amerika Selatan, justru dengan pemilu serentak akan melahirkan sistem politik coat-tail effect dan pemerintahan yang efektif.

Menurut Amuitz Garmendia Madariaga, H Ege Ozen (2015: 66), Coat-tail effect adalah istilah yang merujuk pada suatu tindakan yang menimbulkan pengaruh pada tindakan lain (pengaruh ikutan). Ada kecenderungan pemilih akan memilih Capres/Cawapres yang sama dukungannya dengan Parpol di parlemen.

Lebih dari itu, mempertahankan Pres T juga akan berpotensi melahirkan Capres/Cawapres tunggal, potensi ini sangat terbuka jika merujuk pada perilaku politik para politikus kita saat penyelenggaraan Pilkada serentak selalu menyisakan calon tunggal. Modus yang kerap digunakan untuk menciptakan calon tunggal biasanya calon petahana (incumbent) akan cenderung memborong dukungan semua Parpol di DPR untuk menyokong calon tertentu dan mengunci Parpol lain untuk kehabisan Parpol mitra koalisi.

Kehadiran calon tunggal tentu akan membahayakan jalannya demokrasi, karena tidak akan terjadi polarisasi kompetisi antarcalon yang sehat dan cenderung akan mematikan Parpol baru dan Parpol kecil.

Dengan demikian mempertahankan Pres T sebagaimana dalam Pilres 2014 lalu, di mana Parpol yang mengajukan pasangan Capres/Cawapres harus terlebih dahulu minimal memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya adalah inkontitusional, tidak sejalan dengan putusan MKRI, tidak sesuai dengan praktik Pemilu serentak di negara-negara lain dan akan cenderung melahirkan calon tunggal dan sekaligus berpotensi mematikan Parpol kecil dan Parpol baru.

Di titik inilah DPR dan pemerintah dalam membahas RUU Pemilu serentak perlu mempertimbangkan kembali agar penghapusan/ meniadakan Pres T, demi kemaslahatan bangsa yang lebih luas dan upaya konsolidasi demokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar