Jumat, 27 Januari 2017

Hoax dan Islam

Hoax dan Islam
Husein Ja'far Al Hadar ;  Pendiri Cultural Islamic Academy Jakarta
                                                    TEMPO.CO, 25 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hoax sedang mendapatkan momentum sebagai bagian dari hiruk-pikuk politik Ibu Kota. Tulisan ini hendak mengaitkan hoax, yang berarti berita bohong atau fitnah, dengan wilayah yang paling sensitif, yakni agama, khususnya Islam.

Jauh sebelum menyerang politik Ibu Kota, berita bohong telah menggerogoti sendi-sendi keberislaman, sehingga umat Islam hanyut dalam silang pendapat dan konflik yang sebenarnya semu karena ditopang oleh hoax. Seringkali kita bertengkar atas nama keyakinan (yang subyektif dan palsu), bukan kebenaran (obyektif dan nyata). Misalnya, yang kini kian populer, sebagian umat Islam yakin bahwa bumi datar dengan berbasis pada paradigma dan pendekatan "ayatisasi": mencocok-cocokkan ayat Al-Quran dengan pseudosains. Ini menjadi sesuatu yang bisa membawa persepsi salah bahwa Islam dan sains bertentangan serta mengingatkan kita pada "tragedi Galileo", yang menjadi kisah pertentangan agama-sains paling memilukan dalam sejarah.

Lebih jauh, dalam sejarah Islam, berita bohong dicatat sebagai penyebab pertama guncangan besar bagi tatanan keislaman yang telah dibangun oleh Nabi Muhammad. Itu terjadi saat terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, yang kemudian disebut sebagai al-fitnah al-kubra (fitnah besar). Saat itu, umat Islam saling menebar berita bohong tentang pembunuhan Khalifah Usman untuk kepentingan politik sehingga terjadi perpecahan pertama dalam sejarah Islam, yang bermuara pada peperangan antara Ali dan Muawiyah serta lahirnya sekte-sekte dalam Islam. Karena itu, tak aneh jika Sayyidina Ali buru-buru menasihati umat Islam agar jangan terjebak dalam kekacauan tersebut lantaran terprovokasi oleh berita bohong.

Diktum "perbedaan adalah rahmat" batal demi berita bohong. Padahal wacana sehat dalam perbedaan sebenarnya bersifat konstruktif. Menurut Imam Ghazali, kebenaran seperti cermin yang jatuh dari langit dan pecah di bumi. Ia disatukan dalam satu khazanah wacana keislaman, atau lebih luas lagi: keberagamaan. Karena ia bersumber dari pengetahuan dan dilakoni oleh orang-orang berpengetahuan, maka yang berkembang adalah sikap moderat, toleran, dan saling menghargai.

Kita bisa lihat wacana itu dalam ushul fiqh (yurisprudensi Islam) di antara para imam (yang paling populer: Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali). Sikap para imam itu pun, di tengah perbedaan mereka, adalah saling menghargai dan memuji yang berpuncak pada diktum Ibn Hajar al-Haitami: "Mazhabku benar dan mengandung kesalahan, mazhab selainku salah dan mengandung kebenaran."

Berita bohong menjadikan semua itu berubah menjadi tuduhan yang merusak. Berita bohong justru menyulap perbedaan (ikhtilaf) menjadi perpecahan (iftiraq). Karena itu, perbedaan dalam teologi Islam awal yang terjadi atas dasar berita bohong justru melahirkan perpecahan, konflik, dan saling bunuh di tubuh umat Islam.

Lantaran bersumber dari ego, berita bohong dalam Islam menyeruak hingga salah satu simpul terdalam agama: hadis. Sejak 41 Hijriyah, berita bohong atas nama Nabi diproduksi dan disebarkan untuk kepentingan-kepentingan kekuasaan. Ia menganiaya mazhab, ulama, pandangan, dan segala sesuatu yang menjadi benteng bagi ego rezim. Sekadar gambaran kuantitasnya: dari 600 ribu hadis yang dikumpulkan Imam Bukhari, hanya 2.761 hadis yang dipilihnya. Sejak awal, Nabi telah bersabda, "Barang siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka."

Sebagian pembuat hadis palsu ini dijuluki "pembohong zuhud". Artinya, mereka sebenarnya seorang yang taat beribadah. Namun ketika digugat, mereka mengatakan telah berbohong bukan terhadap Nabi ('ala Nabi), melainkan untuk Nabi (li Nabi) dengan asumsi untuk kebaikan Islam. Ini persis seperti fenomena dalam beberapa tahun terakhir di kalangan umat Islam Indonesia, ketika mereka secara sadar menganiaya sesama muslim atau umat non-muslim dengan berita-berita bohong atas dasar imajinasi bahwa dirinya "pembela Allah dan rasul-Nya".

Kesucian agama dari berita bohong bersifat signifikan dan mendasar. Sejak awal, Al-Quran Surat Al-Hijr ayat 9 menegaskan bahwa apa yang difirmankan-Nya adalah benar-benar dari-Nya dan akan terus Dia jaga sampai akhir masa. Nabi diutus sebagai manusia suci (ma'shum) untuk meneguhkan kesucian agama yang dibawanya dari tuduhan atau prasangka berita bohong. Walhasil, Tuhan begitu keras terhadap pembuat dan penyebar berita bohong: melaknat, menyebut tak beriman, dan memastikan tempatnya di neraka. Sebab, berita bohong dalam keberagamaan bukan hanya membuat kesucian agama batal, tapi juga memaksa umat menerimanya meski bertentangan dengan akal. Walhasil, tutur Ibn Rusyd, "Jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala hal dengan agama."

Kita juga harus ingat bahwa keberislaman dan keberagamaan kita telah lebih dulu dikoyak-koyak oleh ragam berita bohong yang membuat umat Islam dan beragama terpecah. Tragedi Sampang, Tolikara, dan lain-lain adalah segelintir contohnya. Kita berharap kebijakan dan gerakan anti-berita bohong ini akan terus terjaga semangat dan performanya setelah pemilihan Gubernur DKI. Bukan hanya untuk urusan politik, tapi juga agama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar