Senin, 23 Januari 2017

Ancaman Delegitimasi Trump

Ancaman Delegitimasi Trump
Ahmad Safril ;  Pengajar Sistem Politik Amerika Serikat
di Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga
                                                    JAWA POS, 21 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SETELAH resmi dilantik sebagai presiden Amerika Serikat pada Jumat (20/1/2017), Donald Trump bakal dibayangi ancaman delegitimasi sepanjang masa pemerintahannya. Ancaman delegitimasi itu berasal dari tiga sumber. Pertama, terkuaknya dugaan peretasan Rusia atas hasil pemilu yang ditengarai komunitas intelijen telah membantu Trump meraih kemenangan. Kedua, maraknya protes publik yang menentang terpilihnya Trump. Ketiga, melemahnya dukungan politik terhadap Trump.

Peretasan Rusia

Setelah melakukan investigasi selama sekitar dua bulan, pada 16 Desember 2016, komunitas intelijen yang terdiri atas Badan Intelijen Pusat (CIA), Biro Investigasi Federal (FBI), dan Intelijen Nasional menyepakati temuan bahwa Rusia mendiskreditkan Hillary Clinton demi membantu Trump memenangi pemilihan presiden. Sebenarnya, sebulan menjelang pilpres 8 November 2016, pemerintah AS curiga Rusia meretas Komite Nasional Partai Demokrat (DNC).

Semula, komunitas intelijen tidak memiliki kesimpulan bahwa peretasan itu bertujuan untuk membantu Trump memenangi pilpres. Namun, dalam perkembangannya, mereka memaparkan bukti dukungan Rusia terhadap Trump.

Meski Rusia membantah, Barack Obama yang waktu itu masih menjabat presiden meyakini Vladimir Putin mengetahui peretasan tersebut. Dalam KTT APEC di Peru, 20 November 2016, Obama memperingatkan Putin agar tidak turut campur dalam politik domestik AS. Dia juga mengancam membalas Rusia. Ancaman tersebut akhirnya benar-benar direalisasikan ketika pada 30 Desember 2016 AS mengusir 35 diplomat Rusia.

Berbeda dengan Obama, Trump tidak memercayai temuan intelijen. Dia berkali-kali menyebut hasil investigasi intelijen itu sebagai ’’ridiculous’’. Dalam pernyataannya pada 10 Desember 2016, dia mengejek komunitas intelijen sebagai ’’These are the same people that said Saddam Hussein had weapons of mass destruction.’’

Hal itu ditujukan untuk menggambarkan bahwa hasil temuan intelijen tidak dapat dipercaya seperti halnya kepalsuan atas dugaan kepemilikan senjata pemusnah masal yang dijadikan dasar menginvasi Iraq pada 2003. Ketidakpercayaan Trump itu bakal berdampak buruk terhadap hubungan sang presiden dengan intelijen. Padahal, Trump jelas membutuhkan data-data intelijen untuk mengetahui potensi ancaman yang dihadapi AS.

Protes Publik

Sejak dinyatakan terpilih sebagai presiden, Trump disambut gelombang protes di mana-mana. Sehari pascapilpres, ribuan rakyat AS berdemonstrasi menentang Trump dengan membentangkan tulisan ’’not my president’’ dan ’’we don’t accept the president-elect’’. Protes yang terpusat di Trump Tower, New York, itu bergelombang dari Philadelphia dan Miami di pantai timur hingga Seattle dan San Francisco di pantai barat AS. Di media-media sosial, merebak gerakan penolakan dengan mengusung tanda pagar #AntiTrump dan #NotMyPresident. Bukan hanya masyarakat akar rumput, kalangan selebriti juga mengungkapkan hal serupa.

Dalam pentas panggungnya di American Music Awards pada 21 November 2016, grup musik Green Day menyanyikan lagu yang liriknya menyuarakan ’’no Trump, no KKK (Ku Klux Klan), no fascist USA’’. Ketika memberikan sambutan dalam Golden Globes Awards pada 8 Januari 2017, aktris kawakan Meryl Streep mengkritik Trump yang menggunakan kekuasaannya untuk melecehkan orang lain. Ironisnya, Trump menyerang balik semua pengkritiknya tersebut. Melalui kicauannya di Twitter pada 9 Januari 2017, dia mengejek Streep sebagai ’’... Hillary flunky who lost big’’.

Dua hari kemudian, Trump memancing permusuhan dengan kalangan media. Dalam konferensi pers, dia menuding CNN sebagai stasiun televisi yang menyiarkan ’’fake news’’. Sikap semacam itu tentu membuat dia tidak bisa menjadi sahabat baik media. Rentetan kata-katanya yang kerap menghina bakal menimbulkan kegaduhan yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan sehingga berpotensi menurunkan derajat legitimasi Trump.

Dukungan Politik

Sejak awal, Trump tidak memperoleh dukungan penuh dari Partai Republik. Sejumlah tokoh berpengaruh partai itu seperti mantan Presiden George W. Bush, Senator John McCain, dan pemimpin mayoritas senat Mitch McConnel berseberangan dengan Trump. Kalangan Republik tidak menyukai sikap Trump yang rasis dengan beragam komentarnya yang melecehkan. Apalagi, Trump dipandang sebagai orang luar yang menominasikan diri sebagai capres Republik, bukan politikus partai itu yang telah berpengalaman menduduki jabatan publik.

Karena itu, penguasaan Republik atas 52 kursi senat dan 241 kursi DPR bisa jadi tidak banyak berarti bagi pemerintahan Trump. Apalagi, McCain dan McConnel, dua sosok senator berpengaruh yang meyakini dugaan keterlibatan Rusia dalam pemilu AS, menuntut investigasi lebih lanjut atas kasus itu. Jika dugaan tersebut terbukti, ada kemungkinan Trump menghadapi ancaman pemakzulan.

Kali terakhir presiden yang terancam dimakzulkan adalah Bill Clinton atas dugaan perselingkuhan dengan Monica Lewinsky, pegawai magang Gedung Putih. Publik memaafkan Clinton karena skandal itu merupakan urusan pribadi yang tidak merugikan kepentingan publik. Namun, belum tentu publik memaafkan Trump karena skandal peretasan pemilu jelas berbahaya bagi demokrasi AS yang telah dibangun secara kukuh selama ratusan tahun. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar