Rabu, 25 Januari 2017

Investasi Asing di Pulau Kecil

Investasi Asing di Pulau Kecil
Arif Satria ;  Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
                                                      KOMPAS, 24 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Isu ”penyewaan” pulau kembali mengemuka setelah ada berita rencana pemanfaatan pulau di Morotai oleh investor Jepang. Bagaimana kita menyikapi isu tersebut dan langkah apa yang diperlukan?

Keinginan pemerintah melibatkan pihak asing untuk mengelola pulau-pulau kecil sempat memunculkan polemik dan kekhawatiran publik. Kasus pulau di Morotai itu sendiri satu dari sejumlah kasus pemanfaatan pulau kecil oleh investor asing yang menarik dicermati.

Secara faktual kita memang perlu wisatawan mancanegara dan wisata bahari merupakan sektor yang sangat menjanjikan secara ekonomi, baik untuk ekonomi lokal berupa penciptaan lapangan kerja maupun secara nasional untuk memperbaiki kondisi fiskal, baik pajak maupun pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Meski demikian, ternyata ada juga sejumlah kekhawatiran publik, seperti kekhawatiran bakal terciptanya enklave (enclaves) akibat investasi asing yang menjurus pada ”privatisasi” pulau yang menutup akses publik. Hal ini berakibat pada muculnya pesimisme terhadap peran investasi untuk kesejahteraan masyarakat lokal. Bagaimana kita menyikapi isu tersebut dan langkah apa yang diperlukan?

Regulasi

Ada dua rezim yang bisa digunakan untuk menganalisis pemanfaatan pulau kecil oleh asing, yaitu rezim perairan dan pertanahan.

Pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 sebagai revisi atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai rujukan utama untuk rezim perairan. UU tersebut tidak mengenal istilah ”penyewaan”. Yang ada adalah istilah pemanfaatan. Pasal 26 a sebenarnya sudah mengatur pemanfaatan pulau kecil oleh pihak asing dengan ketentuan mendapat izin dari menteri dan rekomendasi dari pemda dengan tetap menjaga kepentingan nasional.

Lebih jauh, pada ayat 4 dijelaskan pula persyaratan izin yang tak ringan: (a) berbentuk perseroan terbatas, (b) menjamin akses publik, (c) tidak berpenduduk, (d) belum ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal, (e) bekerja sama dengan peserta Indonesia, (e) melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia, (g) melakukan alih teknologi, dan (h) memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.

Dengan demikian, undang-undang ini membolehkan pemanfaatan oleh asing dengan syarat yang ketat. Hanya saja, turunan dari UU ini memang belum lengkap. Hal ini karena semua peraturan masih menunggu disahkannya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan. RPP ini sangat mendesak karena mengatur seluruh aktivitas di wilayah pesisir. Namun, peraturan pemerintah (PP) ini juga belum bisa berfungsi di lapangan bila rencana zonasi di wilayah pesisir belum dibuat oleh pemerintah provinsi.

Jadi, kuncinya tetap ada pada peran pemerintah provinsi untuk membuat rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi sebagaimana mandat UU. Dengan demikian, agenda penting pemanfaatan pesisir dan pulaupulau kecil adalah tersusunnya rencana zonasi atau tata ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Khusus untuk pulau terluar sebagai Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), kewenangan ada pada menteri.

Kedua, UU Pokok Agraria semestinya masih menjadi rujukan utama dalam pengaturan rezim pertanahan. Dalam PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai, ternyata asing hanya diperbolehkan memiliki hak pakai (Pasal 39) dan tidak diperbolehkan memiliki hak milik, HGB, dan HGU.

Itu pun dibatasi waktu 25 tahun dan bisa diperpanjang hingga 20 tahun. Sementara itu, pemerintah juga sudah membuat ketentuan bahwa hanya 70 persen wilayah pulau kecil yang bisa dimanfaatkan, 30 persen lainnya untuk kepentingan kawasan konservasi.

Keadilan pesisir

Secara empiris, praktik investasi asing di pulau kecil sudah banyak ditemukan dan umumnya bergerak di wisata bahari. Persoalan yang muncul adalah saat investor menguasai pulau, seolah otomatis juga punya hak untuk menguasai perairan. Padahal, hak pemanfaatan perairan belum diatur lagi pasca tidak berlakunya hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007. Di sinilah konflik dengan nelayan muncul karena adanya klaim secara sepihak oleh investor terhadap wilayah perairan yang menutup akses publik.

Bagi nelayan, ”pengaplingan” inilah yang disebut sebagai coastal grabbing. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa nelayan termarjinalkan akibat tertutupnya akses publik, baik akses pulau maupun wilayah perairan sekitarnya. Nelayan yang secara turun-temurun beroperasi di wilayah itu tiba-tiba tercerabut hak-hak komunalnya. Inilah yang menyebabkan ketidakadilan pesisir. Forsyth (2004) menyebut isu seperti ini sebagai bentuk tragedy of enclosure, sebuah tragedi yang terjadi akibat dominasi hak swasta atau Negara terhadap sumber daya yang menyebabkan marjinalisasi masyarakat akibat krisis akses. Meski demikian, harus diakui ada juga penguasaan pulau oleh asing yang tak menimbulkan masalah dengan nelayan.

Selain itu, pulau-pulau kecil di beberapa tempat juga dijadikan arena sejumlah praktik kriminal seperti penyelundupan, perdagangan manusia, dan perikanan ilegal. Inilah yang saat ini sedang dibereskan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Belajar dari kerangka regulasi dan situasi empiris di atas terdapat sejumlah agenda yang penting. Pertama, diperlukan kelengkapan instrumen hukum untuk memastikan bahwa pemanfaatan pulau kecil oleh asing tidak mengganggu kedaulatan, keberlanjutan, dan keadilan. Instrumen turunan UU No 1 Tahun 2014 saat ini sangat ditunggu dan setelah itu sosialisasi ke daerah mesti lebih intensif. Kelengkapan instrumen hukum ini diharapkan bisa menjamin keadilan dan kepastian untuk investasi.

Kedua, perlu penertiban terhadap praktik pemanfaatan pulau kecil yang selama ini berlangsung yang sebagian diduga melanggar aturan main dan mengganggu kehidupan masyarakat lokal. Ketiga, diperlukan peta jalan investasi pulau kecil serta strategi peningkatan peran pengusaha nasional dan pengaturan untuk investasi asing, termasuk di dalamnya membatasi investasi asing di pulau terdepan.

Keempat, program adopsi pulau yang pernah dikembangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu digairahkan lagi dengan mengundang BUMN sehat untuk turut andil membangun pulau, khususnya pulau terdepan. Hal ini untuk mengatasi krisis investasi oleh swasta nasional di pulau kecil.

Kelima, perlu percepatan penyusunan rencana zonasi oleh pemerintah provinsi untuk perairan 0-12 mil sebagai dasar kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan rencana zonasi ini, akan makin jelas alokasi ruang pemanfaatan untuk berbagai aktivitas sehingga konflik pemanfaatan wilayah pesisir bisa dihindari.

Keenam, strategi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu yang sudah dikembangkan KKP perlu diakselerasi dengan dukungan lintas sektor untuk menjamin penguatan ekonomi perikanan di pulau kecil terdepan. Membangun pulau-pulau kecil adalah wujud gagasan untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Tentu upaya ini harus selalu mengacu pada prinsip kedaulatan, keberlanjutan, dan keadilan pesisir. Karena itulah, menimbang seberapa besar dorongan untuk investasi asing di pulau kecil mestinya juga mengacu pada prinsip-prinsip tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar