Minggu, 22 Januari 2017

Bahaya Kematian Sila Ketiga

Bahaya Kematian Sila Ketiga
Lasarus Jehamat ;  Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang
                                           MEDIA INDONESIA, 21 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KEBINEKAAN Indonesia sedang diuji. Bangsa tengah dilanda trauma sosial. Itulah suara dari Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bineka dan Inklusif (AuI) (17/1). Sebab utamanya karena institusi sosial yang bertugas merawat kebinekaan tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, beberapa kelompok sudah mulai memaksakan kehendak untuk menerapkan pandangan yang serbaeksklusif dan tertutup. Tiga hal yang menjadi titik fokus para antropolog yakni pendidikan, ekonomi, dan hukum serta penerapannya. Disebutkan, persoalan intoleransi yang melanda bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir disebabkan tiga bidang itu kurang, atau bahkan tidak diperhatikan, oleh pihak yang berkepentingan.

Lembaga-lembaga yang mestinya menjaga dan merawat kebinekaan justru terjebak dalam eksklusivisme. Fundamentalis dan ekstremis keluar dari ruang pengap eksklusivitas seperti ini. Faktanya, beragam pandangan serta sikap menang sendiri dari kelompok-kelompok fundamentalis seakan membenarkan tesis bahwa bangsa ini sudah mati dan dikalahkan kelompok ekstremis. Anak bangsa seakan lupa bahwa para pendiri bangsa telah merumuskan sila ketiga Pancasila; Persatuan Indonesia. Semua yang belajar bahasa dalam konteks sosialnya akan segera tahu alasan ada sila ini. Hemat saya, sila ketiga ini muncul karena memang kita beda.

Indonesia merupakan negara dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi. Itu berarti, kerja untuk menjadikan bangsa ini sama dengan menggarami air laut. Kerja homogenisasi bangsa merupakan sebuah utopia sebab bangsa Indonesia memang beda. Faktanya, keragaman itu kurang atau bahkan tidak disadari anak bangsa.

Kondisi negara bangsa

Dalam The End of The Nation State, Ohmae (1995) menyebutkan sebuah konsepsi penting tentang posisi negara bangsa saat ini. Menurut Ohmae, kualitas negara bangsa saat ini sangat ditentukan oleh apa yang disebut 4I (industry, investment, individuals, information). Industri dan investasi merupakan ruang di mana negara dan modal bekerja di era modern. Sementara itu, individu dan informasi di sudut yang lain merupakan konteks sosial dan politik modal dan negara. Keempat hal itu bekerja secara terpisah atau bersama secara simultan. Relasi negara dan modal serta masyarakat sangat kompleks di sana.

Menurut Ohmae, ketika masyarakat tidak mampu memahami dan mengkritisi kerja modal dan negara, di situ akan muncul relasi dominatif. Sebaliknya, jika ketiganya bekerja sama, bangunan koordinatif untuk tujuan kesejahteraan bersama bisa tercapai. Masalahnya, dalam perjalanan, karena kuatnya kerja rasionalitas instrumental, modal dan negara terlampau dominatif. Bersamaan dengan itu, ideologi liberal masuk tak terbendung dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Dalam kondisi demikian, warga bersikap defensif. Di sana, benih-benih integrasi internal kelompok mulai terbentuk. Ketika integrasi internal sudah terbentuk, masalah lain muncul. Adaptasi eksternal pasti melemah.

Itulah alasan mengapa banyak sekali muncul beragam pandangan tentang apa pun di masyarakat. Agama dan politik harus disebutkan di sini. Atas nama kebebasan, teknologi informasi turut menyebabkan melemahnya kekuatan sebuah bangsa. Hal itu terjadi ketika semua informasi bebas bergerak di ruang komunikasi melalui beragam sarana. Watak kuriositas manusia menyebabkan beragam informasi itu diterima dan dikonsumsi tanpa ada seleksi yang ketat terlebih dahulu. Di sana, dibutuhkan loyalitas warga tidak hanya kepada kelompoknya, tetapi juga kepada sesama yang berbeda sebagai sebuah bangsa. Menurut Waller dan Linklater (2003) dalam Political Loyalty and the Nation-State, loyalitas diperlukan ketika relasi negara bangsa menjadi goyah karena beragam sebab di atas.

Loyalitas yang dimaksud jelas bukan loyalitas dungu, melainkan loyalitas kritis dan terukur. Tanggung jawab sebagai bangsa harus ditempatkan di atas kepentingan individu dan golongan. Di sana, identitas setiap kelompok harus terus dipelihara tanpa harus menghilangkan legitimasi sosial dan budayanya. Tugas semua pihak ialah merawat loyalitas, identitas, dan legitimasi itu. Meminjam analisis Ohmae di atas, sulit untuk tidak mengatakan bahwa modal menjadi salah satu sebab lemahnya peran negara di masyarakat. Ketika negara lemah, entitas bangsa akan semakin menunjukan karakter individunya secara simultan. Munculnya beragam kelompok massa dengan berbagai karakter di Tanah Air bisa dijelaskan dengan pendapat Ohmae di atas. Di sini, oleh kelompok oportunis, kemajemukan menjadi berkah agar negara terus dilemahkan.

Konteks Indonesia

Indonesia adalah bangsa majemuk. Realitas itu merupakan sebuah faktisitas. Sebagai bangsa, kita memang beda. Para pendiri bangsa telah menyadari hal itu. Masalahnya, seperti yang disampaikan Ohmae di atas, politik terlampau jauh masuk ke ruang sosial dan budaya. Sebaliknya, realitas sosial dan budaya terlampau ketat dan rigid sehingga untuk memahami perbedaan pun menjadi sulit dilakukan setiap orang. Di situ kita memerlukan sikap loyal. Seperti dijelaskan Waller dan Linklater, loyalitas yang dimaksud ialah kemauan untuk menerima realitas bahwa kita memang beda. Yang dibutuhkan dalam perbedaan ialah mengontrol sikap dan perilaku diri. Sifat dan karakter diri serta kelompok jelas tidak diketahui banyak orang.

Maka, kontrol diri dan kelompok adalah sebuah kewajiban moral yang harus dilakukan agar bisa bergaul dengan dunia di luar kelompok. Jika itu masih sulit, negara telah menyiapkan payung besar untuk melindungi dan menaungi bangsa ini. Itulah alasan keberadaan hukum dan peraturan. Menjadi masalah ketika semua pihak tidak lagi menghargai hukum lalu segera mencederai hukum itu dengan berbagai sikap dan perilaku buruk. Kembali ke soal situasi kekinian Indonesia sebagai bangsa. Apresiasi harus diberikan kepada AuI dan banyak pihak lain yang turut prihatin atas kondisi kekinian bangsa. Banyak catatan yang harus diberikan kepada negara. Yang pasti bahwa negara harus kuat ketika berhadapan dengan berbagai kekuatan lain di luar negara. Kekuatan negara tidak saja memberi efek ketakutan pada otoritas negara, tetapi juga pada kewibawaan pemerintah sebagai regulator. Pada titik yang lain, negara harus mampu mengelola beragam perbedaan dan tegas menerapkan beragam aturan.

Elite harus mampu memberi contoh kepada masyarakat baik untuk menjunjung tinggi dan menghargai perbedaan maupun pada pengelolahan beragam perbedaan tersebut di lapangan. Bahwa ekonomi menjadi dasar dari munculnya gerakan fundamentalis, sulit ditolak. Jika hal tersebut telah diketahui, negara harus segera merealisasikan janji mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan mengurangi kesenjangan sosial. Itu saja langkah yang harus dilakukan untuk menghindari kematian sila ketiga Pancasila. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar