Selasa, 24 Januari 2017

Pendidikan dan Reorientasi Nilai Kebangsaan

Pendidikan dan Reorientasi Nilai Kebangsaan
Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                            MEDIA INDONESIA, 23 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PENDIDIKAN merupakan instrumen yang paling kuat untuk menciptakan sistem nilai sebuah bangsa. Melalui pendidikan, sebuah bangsa dapat memasukkan nilai-nilai apa saja yang dimaksudkan untuk mempertegas identitas kebangsaan.

Kita melihat Tiongkok, misalnya, menggunakan nilai-nilai sosialisme sebagai dasar dan argumen identitas kebangsaannya sejak sekolah dasar. Amerika menggunakan nilai-nilai kebebasan dan liberalisme sebagai dasar orientasi dan identitas kebangsaan dalam semua instrumen kurikulum pendidikan. Sementara itu, di beberapa negara yang mengatakannya sebagai negara Islam, nilai-nilai keislaman diajarkan untuk menegaskan identitas kebangsaan juga, tapi lebih banyak gagalnya.

Indonesia sebagai sebuah bangsa tak memiliki instrumen yang valid untuk menegaskan identitas kebangsaan dalam sistem pendidikan. Kita tak memiliki kejelasan identitas karena Pancasila sebagai dasar negara gagal dipahami sebagai medium untuk menegaskan kebinekaan, apalagi dengan banyaknya kejadian dan kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat karena enggan menerima kenyataan sebagai bangsa yang majemuk. Bangsa Indonesia saat ini bahkan berada di tengah krisis sosial yang dapat menyebabkan terpecahnya masyarakat kita karena baik negara maupun masyarakat abai untuk menggunakan Pancasila sebagai instrumen dan metode reorientasi nilai-nilai kebangsaan.

Persis seperti kata Madeleine Mattarozzi Laming dalam Education as a Method of Re-Orienting Values (2009), ketika hampir seluruh negara sedang berlomba untuk melakukan reorientasi nilai-nilai kebangsaan mereka melalui sistem pendidikan, negara-negara berkembang malah justru terseok oleh kesibukan kemiskinan dan kebodohan karena tidak kuatnya identitas kebangsaan mereka dalam sistem pendidikan.

Contoh kecil

Dalam konteks pendidikan kita, salah satu contoh kecil tidak adanya identitas nilai-nilai kebangsaan dalam sistem pendidikan terlihat dari masih maraknya kompetisi dalam sekolah. Padahal jika kita merujuk pada falsafah negara, aspek gotong royong atau kerja sama sebenarnya harus lebih nyata dalam praktik pengelolaan sekolah.

Kita lebih senang melihat sekolah lain sebagai kompetitor atau saingan daripada sebagai partner atau sahabat yang perlu dibantu atau dimintai bantuan. Kita lebih senang menggunakan terminologi sekolah unggul karena kelebihan-kelebihan fisik daripada keunggulan proses belajar-mengajar di dalamnya. Pendek kata, sistem pendidikan kita tak mengenal istilah collaborative schooling, melainkan lebih familier dengan jargon-jargon yang bersifat diskriminatif. Istilah collaborative schooling tidak pernah digunakan dalam praktik kependidikan di Indonesia. Collaborative schooling sebenarnya merupakan kritik dari kondisi aktual kualitas pendidikan kita di Tanah Air yang belum merata hingga saat ini.

Sekolah-sekolah yang dianggap baik oleh masyarakat, setidaknya dalam 40 tahun terakhir ini, tak pernah berubah. Dalam satu kota/kabupaten, biasanya sekolah yang dianggap baik kualitas atau mutunya oleh masyarakat hanya satu atau dua sekolah. Ini artinya sekolah-sekolah unggulan itu tidak pernah mempraktikkan terminologi collaborative schooling karena tak ingin mereka dikalahkan sekolah lain. Sistem pendidikan kita lebih mengedepankan kompetensi antarsiswa dan sekolah daripada mempraktikkan kolaborasi antar siswa dan sekolah.

Praktik kecil ketiadaan kolaborasi antarsekolah yang berimbas kepada ketiadaan kolaborasi antarsiswa sebenarnya bisa dilihat dari kebijakan rangking siswa pada masing-masing kelas dan sekolah. Sekolah dan bahkan orangtua, jika mereka pergi ke sekolah untuk menerima rapor dan evaluasi hasil belajar anak-anak mereka, hal tersering yang ditanyakan anaknya rangking berapa di dalam kelas.

Praktik kecil ini sesungguhnya seperti sedang menanamkan kompetisi yang tidak sehat di tingkat sekolah dan siswa karena mereka memandang siswa lain sebagai kompetitor dan sekolah lain sebagai saingan. Efeknya setiap sekolah berusaha mempertahankan posisi tersebut secara membabi buta karena tak ingin tersaingi oleh siswa lain dan bahkan sekolah lain.

Kondisi ini harus terus kita kritik dan ingatkan bahwa sistem pendidikan nasional tidak boleh memperlakukan siswa secara diskriminatif berdasarkan rangking kognisi semata, dan pada waktu yang bersamaan menilai sekolah lain rendah kualitasnya karena capaian akademik mereka berbeda-beda dalam waktu yang cukup lama.

Ini artinya rata-rata sekolah kita, dalam hal yang menyangkut proses belajar-mengajar, kurang menghargai proses yang positif. Pendidikan di sekolah sepertinya sama saja dengan industri yang bak sebuah mesin, memperlakukan anak-anak sebagai bahan baku yang siap dicetak menjadi orang yang hanya siap bekerja di pabrik. Karena lebih mementingkan pendekatan kognitif, sekolah dalam sistem pendidikan kita saat ini sangat mendorong para siswa untuk menjadi manusia-manusia individualis yang lupa sesungguhnya mereka makhluk sosial.

Di sekolah, pendekatan pembelajaran lebih banyak berorientasi pada aspek daya saing (competitive), sebuah budaya untuk mengalahkan dan menyisihkan orang lain sehingga menimbulkan banyak sekali pelabelan seperti murid pandai dan murid bodoh, kelas biasa dan kelas khusus, sekolah nasional dan sekolah internasional, serta atribut lain yang sungguh menyiksa perasaan siswa dan orangtua karena tingginya diskriminasi. Karena itu, wajar orang seperti Ivan Illich dan Paulo Freire menganggap proses pendidikan di sekolah tak ubahnya seperti ladang tempat tempat para guru membunuh dan menindas potensi kemanusiaan siswa-siswi mereka. Padahal menciptakan jejaring (networking) dan kolaborasi antar sekolah sangat dibutuhkan dalam rangka menciptakan partnership antara satu sekolah dengan yang lainnya.

Dengan menggunakan pendekatan sebagai pusat sumber belajar bersama (common learning resources center), misalnya, sebuah sekolah harus menawarkan diri kepada sekolah-sekolah sekitar untuk bekerja sama dalam melakukan proses belajar mengajar. Tujuan strategi ini ialah dalam rangka memberikan ruang yang luas kepada sekolah untuk mempelajari apa saja yang mereka inginkan dari lingkungan sekitar, yaitu akhirnya dapat menopang posisi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan.

Mari kita bersama-sama mengubah haluan, dari halusinasi pendidikan yang selalu mengejar keberhasilan dengan cara kompetisi menjadi kesadaran yang menghargai kolaborasi. Kesadaran dan kesediaan untuk bertahan dan percaya bahwa pendidikan ialah proses investasi berjangka panjang yang membutuhkan kerja sama, kesabaran, keuletan, dan kerja keras.

Nilai-nilai kegotongroyongan harus menjadi esensi nilai yang terimplementasi dengan baik pada kebijakan. Di sinilah reorientasi nilai-nilai kebangsaan untuk menegaskan identitas kebangsaan perlu dilakukan dalam kerangka sistem pendidikan yang berkeadilan.

Tanpa reorientasi nilai, sistem pendidikan kita pasti akan terus menerus melakukan kesalahan dalam membuat perencanaan kebijakan bidang pendidikan. Tanpa reorientasi nilai, sistem pendidikan kita akan terus terombang-ambing oleh nilai dan budaya yang lebih kuat seperti sosialisme dan liberalisme, dan akan menjadikan sistem persekolahan kita menjadi limbung tanpa identitas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar