Sabtu, 28 Januari 2017

Rakyat dan Ulama Bersatu Melawan ABG Bermotor

Rakyat dan Ulama Bersatu Melawan ABG Bermotor
Iqbal Aji Daryono  ;  Praktisi Media Sosial; Penulis; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
                                                  DETIKNEWS, 24 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pekan lalu, linimasa medsos teman-teman Jogja sempat riuh oleh satu berita tragis. Seorang anak SMP ngebut dengan sepeda motor sport barunya, menabrak mahasiswi UGM hingga tewas di TKP, motor sportnya terbelah jadi dua, dan belakangan si anak SMP juga menyusul meninggal dunia.

Getir sekali hati kita mendengar tragedi rutin semacam itu. Tapi sampai kapan kita cuma berasyik-masyuk dalam kegetiran? Maksimal kita cuma akan bilang "Ya Allaah, kasihan sekali..."; "Omaigaaat, itu kenapa anak sekecil itu dikasih motor sama ortunya?"; "Ya Allah Tuhan YME, kenapa negara diam saja melihat kasus-kasus begini?"

Percayalah, ratapan model demikian paling-paling hanya akan berakhir nasibnya menjadi meme. Jadi mari berhenti mengeluh, dan mulai ikut memikirkan jalan keluarnya.

Kita mulai dengan 'kenapa'-nya dulu. Kenapa ada anak-anak di bawah umur dibiarkan membawa sepeda motor, padahal jelas-jelas itu merupakan pelanggaran hukum?

Faktor penyebabnya lumayan kompleks. Pertama, minimnya transportasi publik yang baik, aman, tepat waktu, dengan jalur yang lengkap. Karena transportasi publik terbatas, orang tak punya pilihan selain membeli kendaraan sendiri. Klir, semua juga sudah paham soal ini.

Masalahnya, jika semata menunggu aspek transportasi dibenahi, terlalu lama. Sampai Lebaran Kuda pun kita belum akan bisa mengakses kemewahan demikian sampai ke desa-desa. Apalagi pemerintah dihabiskan waktunya buat mengurusi hoax.

Kedua, kredit kendaraan bermotor yang terlalu murah dan gampang. Sebagai solusi atas minimnya transportasi publik, ini memang positif untuk masyarakat. Tapi akibatnya, beli motor jadi segampang beli sepatu. Satu keluarga dengan lima anggota bisa punya lima motor. Karena orangtuanya sibuk bekerja, anak yang masih kecil pun dibelikan motor biar bisa berangkat sendiri ke sekolah.

Ketiga, minimnya jumlah polisi. Ini saya baca dari analisis pengusaha cum ekonom cum pengamat sosial Kokok Herdhianto Dirgantoro. Ia memperkirakan, secara riil saat ini tak kurang dari 100 juta sepeda motor berkeliaran di Indonesia, berlandaskan data BPS yang mencatat angka 85 juta pada tahun 2013. Dengan 100 juta motor (belum aneka kendaraan lain), jumlah polisi hanya 500 ribu, itu pun polantas hanya sebagian di antaranya. Walhasil, mekanisme pengawasan jadi sangat sulit.

Saya sepakat tentang minimnya jumlah polisi. Namun itu tidak sepenuhnya menjadi kendala pengawasan anak-anak bermotor. Sebab, andaikan pengawasan bisa penuh pun, polisi belum tentu bisa berbuat lebih jauh. Kenapa?

Nah, itu jadi faktor keempat, yaitu korupsi dalam pengadaan SIM. Saya yakin, sebagian besar dari pembaca tulisan ini adalah pelaku kriminalitas yang satu itu hehehe. Benar, lulus ujian SIM tidak gampang jika melalui prosedur formal, khususnya ujian praktik. Mau latihan dulu di jalan biar lancar ujian, ya harus bawa SIM dulu biar nggak ketangkap polisi. Tapi gimana mau bawa SIM, lha wong memang belum punya. Mau bikin SIM pun gimana caranya, kalau naik motor saja belum lancar?

Dengan kerumitan demikian, dipakailah jalan pintas, yaitu 'titip'. Bisa lewat calo, bisa lewat 'orang dalam', bisa lewat pembuatan SIM massal yang pada realitasnya bukan sejenis ujian SIM yang serius.

Saya tahu, sudah ada perbaikan berarti dalam mengatasi korupsi SIM ini, minimal dalam mematok biaya resmi yang jelas. Tapi celah selalu ada. Celah ini dipakai oleh orang-orang yang sebenarnya tidak layak mengemudi, termasuk oleh orangtua yang ingin mencarikan SIM untuk anaknya yang masih SMP, bahkan SD. Caranya gampang: umurnya dituakan. Itu modus sangat lazim. Ya, kan? Sudahlah, mengaku saja.

Nah, polisi di jalanan akhirnya cuma bisa mrongos, saat menghentikan seorang anak berseragam SMP yang naik motor, lalu si anak sambil tersenyum pede mengeluarkan SIM yang masih mulus. Legal? Ya legal, lah. Proses mendapatkannya yang abal-abal.

Faktor kelima adalah hal mendasar yang mengeram di benak masyarakat kita, yakni tentang status sosial. Bagi kita, kendaraan adalah simbol status sosial. Orang punya uang akan beli motor, punya uang lagi akan beli mobil, punya uang lebih banyak lagi akan beli mobil yang lebih mewah, dan seterusnya.

Di kampung-kampung, tiap sore anak-anak muda nongkrong di pinggir jalan, duduk di atas motor masing-masing, mengobrol, melihat orang-orang lewat, sambil sesekali memainkan telepon genggam. Sepeda motor dan ponsel adalah parameter keren-tidaknya mereka. Ketika ada anak SMP dibelikan motor, temannya akan merengek ke orangtuanya agar dibelikan juga, dan orangtuanya akan gengsi sama tetangganya jika tidak menuruti anaknya. Ya, sebab motor adalah simbol status sosial.

Keenam, pandangan bahwa gerak fisik adalah siksaan. Ini saya dengar dari almarhum Profesor Suhardi, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM waktu itu, saat membicarakan problem kemacetan. Bagi masyarakat kita, semakin orang bisa bermalas-malasan, semakin dia berkelas. Semakin banyak mesin dimiliki, sehingga energi badan kita semakin minim keluar, semakin kita bermartabat di mata lingkungan. Maka orang jalan kaki sedikit ke garasi, masuk mobil, sampai di kantor cari parkiran terdekat dengan lift, naik lift ke kantornya. Minim sekali geraknya, sebab bergerak dianggap aktivitas kaum sudra.

Benar sekali, bahwa orang-orang desa juga bergerak dan bergerak untuk bekerja. Tapi jangan lupa, mereka terus memupuk cita-cita agar anak-anak mereka bisa menjadi pegawai, bekerja kantoran, yang halus, yang mentereng dan minim gerak fisik. Sebagai tahap awal, anak mereka yang masih SMP pun dimanjakan dengan sepeda motor, biar tidak kepayahan bergerak jalan kaki atau naik sepeda.

Setidaknya, enam faktor itulah yang membentuk kompleksitas musabab menjamurnya anak-anak kecil bersepeda motor. Nah, dari pemahaman itu kita bisa urun rembuk mencari solusi. Baik solusi yang bisa ditempuh oleh negara, maupun oleh masyarakat sendiri.

Saya mulai dari yang paling tidak menarik dulu (karena akan terlalu lama terwujud), yakni solusi oleh negara.

Pertama, persulit kredit motor. Biar kredit motor tidak segampang beli pecel, pajak industri motor harus ditingkatkan. Alih-alih menetapkan kenaikan ongkos STNK bagi pemakai motor, misalnya, jauh lebih baik memungut pajak sangat tinggi kepada pabrik dan dealer-dealernya, alias kepada orang-orang kaya. Hasil pungutan pajak itu bisa dipakai untuk menggenjot penambahan fasilitas transportasi publik, jalur pedestrian, maupun jalur kendaraan tidak bermotor.

Dengan pajak yang tinggi kepada industri, harga motor pasti naik, dan orang tak akan terlalu gampang membelikan motor untuk anak-anaknya. Sudah pasti, ini akan membawa persoalan baru lagi, selama transportasi publik belum tersedia dengan baik. Tapi ya memang harus ada langkah struktural yang dijalankan, bukan? Atau kita mau terus menonton kematian demi kematian konyol di jalanan?

Kedua, beri kewajiban kepada industri dan dealer-dealer motor agar memajang gambar dan slogan untuk mencegah penggunaan motor oleh anak-anak di bawah umur. Mereka wajib memasang iklan, juga memajang poster di showroom-showroom mereka, yang berisi pesan bahwa memberikan akses kepada anak-anak untuk mengemudi motor adalah sebuah kejahatan.

Jangan ketawa dulu dengan usul saya barusan. Pabrik rokok bisa disuruh menempelkan peringatan akan bahaya produk mereka kok. Kenapa industri motor tidak? Enak sekali mereka cuma merayakan penjualan yang mnelampaui target tiap tahunnya, tapi nggak keluar biaya apa-apa untuk edukasi publik.

Ketiga, bikin regulasi baru untuk menjatuhkan hukuman sangat berat bagi orang yang mengemudi tanpa SIM, dan mencabut SIM-SIM yang mengandung pemalsuan umur. Entah bagaimana caranya, silakan Pak Tito memikirkannya.

Soal ini, saya memang mengambil referensi peraturan yang berlaku di Australia, tempat saya sekarang berada. Di sini, pelanggaran aturan lalu lintas terkena denda gede. Namun yang paling berat adalah mengemudi tanpa lisensi. Menyetir kendaraan tanpa SIM adalah kejahatan serius, dan bisa-bisa orang yang melakukannya terancam dipenjara.

Keempat, Departemen Pendidikan juga harus turun tangan. Merekalah penanggung jawab anak-anak itu, setelah orangtua. Alih-alih terlalu cemas melihat turunnya prestasi akademis anak-anak didik, semestinya sekolah-sekolah lebih galau lagi melihat murid-murid mereka gagal menjadi anggota masyarakat yang beradab.

Mengendarai motor bagi anak-anak di bawah 17 tahun sewajarnya diposisikan oleh sekolah sebagai kenakalan yang tak kalah parahnya dibanding tawuran. Ini serius. Tawuran bisa berakibat korban nyawa. Naik motor bagi yang belum berhak, sudah sering terbukti, juga rentan memakan nyawa. Disetrap dengan disuruh berdiri di depan kelas sangat tidak cukup jadi hukumannya.

Itu tadi solusi-solusi top down dari negara. Tidak usah terburu mengharapnya berjalan, kecuali Bu Sri Mulyani, Pak Tito Karnavian, dan Pak Muhajir Effendi membaca tulisan ini dan menyepakati satu-dua usul saya. Sambil menunggu mereka, warga masyarakat sendiri bisa mengambil langkah-langkah konkret.

Sebenarnya saya ingin bicara tentang bagaimana membangun tren "Bersepeda dan Jalan Kaki itu Keren". Tapi toh yang demikian sudah selalu diupayakan oleh para aktivis lingkungan dan aktivis-aktivis lain. Tapi nyatanya, tren begituan selama ini hanya menyebar di kalangan aktivis saja, bersama segelintir kelas menengah.

Apalagi, tren bersepeda akhirnya membentuk konsep status sosial yang baru lagi, karena sepeda para aktivis itu mahal-mahal hahaha. Coba, mana ada anak muda gaul posting foto di Instagram saat keliling kota pakai sepeda jengki? Jadi, kita lupakan dulu yang satu itu. Bakalan lebih gampang kalau kita menggali solusi yang lebih instan, namun bukan dari negara, melainkan dari anggota masyarakat yang berpengaruh. Siapa mereka?

Jelas, yang saya maksud adalah ulama. Ulama, guru ngaji di kampung-kampung, beserta para pemuka agama lainnya, adalah ujung tombak yang paling menyentuh realitas di bawah. Sebagai negeri yang konon berisi manusia-manusia beragama, tak ada salahnya mengharapkan agama menjadi solusi atas persoalan anak-anak ingusan bermotor ini.

Selama ini, para pemuka agama terlalu disibukkan dengan soal-soal formal semacam halal-haramnya makanan ini-itu, hukum memilih pemimpin yang berbeda agama, hukum mengucapkan selamat atas hari raya agama lain, dan sebagainya. Agaknya mereka lupa, bahwa agama semestinya aktif mengampanyekan kemaslahatan dalam bermasyarakat, tak terkecuali kemaslahatan saat bersama menggunakan jalanan.

Jadi saya mengusulkan, bagaimana bila MUI membuat fatwa tegas haramnya anak-anak di bawah umur naik motor? Masuk akal, kan? Kenapa tidak?

Naik motor bagi yang belum berhak adalah pelanggaran peraturan. Itu sudah merusak kemaslahatan. Naik motor bagi yang belum cukup umur juga merupakan bentuk kezaliman, karena dengan kondisi psikologis yang masih labil, itu akan jadi potensi bahaya yang besar bagi orang lain. Peristiwa di Jogja yang saya sebut di awal tulisan ini adalah salah satu contoh nyata di antara ribuan kasus serupa.

Dari sisi orangtua, membelikan motor untuk anaknya yang belum 17 tahun tak kalah haramnya. Selain menzalimi orang lain, orangtua juga menzalimi anak sendiri, bahkan rentan membunuh anak sendiri.

Nah, pedulikah ulama dengan masalah riil seperti ini? Jika ya, kita pasti akan sangat berbahagia. Bayangkan saja, pada saatnya nanti para khatib Jumat akan menyebarkan fatwa haram bagi anak di bawah 17 tahun untuk naik motor. Jamaah masjid akan manggut-manggut, kompak menaatinya, tanpa harus termakan gengsi status sosial yang selama ini menjerat mereka. Pada waktu-waktu selanjutnya, para orangtua akan membelikan sepeda kayuh untuk anaknya dengan niat beribadah, sembari terus mengajarkan kepada keluarga mereka bahwa membuat SIM dengan 'menembak' adalah dosa.

Saya yakin, jika para pemuka agama mau mengambil sikap dalam persoalan sosial yang satu ini, jatuhnya korban-korban baru akan bisa kita cegah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar