Kamis, 26 Januari 2017

Menafsir Impian Rakyat

Menafsir Impian Rakyat
Paulinus Yan Olla ;  Rohaniwan; Lulusan Program Doktoral
Universitas Pontificio Istituto di SpiritualitÀ Teresianum, Roma;
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang
                                                      KOMPAS, 25 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika rakyat dijadikan sekadar senjata retorika untuk legitimasi kekuasaan, demokrasi kehilangan hakikatnya, yakni rakyat. Keadaan itulah yang tampaknya digugat Farouk Muhammad. Sebagai wakil rakyat, ia sulit menerima bentuk demokrasi yang sedang dijalankan di negeri ini. Menurut dia, kehendak rakyat sering dimanipulasi untuk berbagai kepentingan kekuasaan. Opininya diakhiri dengan pertanyaan, ”Lantas, rakyat mana sebenarnya yang kita perjuangkan?” (”Atas Nama Rakyat”, Kompas, 7/1/2017).

Mendefinisikan siapakah rakyat dan apa yang diperlukannya memang tidak mudah. Rakyat dalam pemahaman umum merujuk pada penduduk suatu negara. Namun, dalam kajian filosofis- sosial, ia adalah suatu entitas yang abstrak sehingga Pierre Rosanvallon, dalam penelitian historisnya tentang representasi di Perancis melukiskan rakyat sebagaientitas ”tak terjumpa”. Rakyat sebagai suatu kesatuan, sebagai identitas, atau sebagai suatu totalitas tidak dapat dijumpai (baca: tidak ada) secara konkret.

Terkait keadaan di atas, konsep ”perwakilan” (representasi) sendiri sering menjadi bahan perdebatan. ”Perwakilan rakyat” mengandung dua makna yang terbedakan satu dengan yang lain dan perlu mendapat perhatian. Di satu pihak ia menunjuk pada ”penghadiran simbolik” rakyat dan di pihak lain ia dipahami sebagai ”perutusan” atau pemberian mandat politik (Georges Didi-Huberman dalam Che cos’e’ un popolo?, DeriveApprodi, 2014).Dalam sistem pemerintahan demokratis, mereka yang disebut wakil rakyat menghadirkan secara simbolik rakyat yang ”tanpa wajah” itu dan juga secara yuridis mendapatkan legitimasi untuk berkuasa atas nama rakyat.

Situasi di atas menempatkan rakyat dalam posisi rawan untuk terabaikan atau ia terpajang sekadar sebagai ”peguasa simbolik”, sedangkan kekuasaan yang sesungguhnya ditentukan oleh mereka yang ”telanjur” diberi mandat sebagai ”wakil atau penyambung lidah”.Adakah jalan untuk merajut keterkaitan antara rakyat yang diwakili dan pejabat yang mewakili, antara rakyat yang memberi mandat dan penguasa yang diberi mandat?

Dalam rezim pemerintahan demokratis, kehendak atau aspirasi rakyat merupakan ”tali perajut” yang menghubungkan rakyat dan wakil rakyat. Politolog Italia, G Sartori, membantu mendeskripsikan hakikat demokrasi modern dengan penegasannya bahwa kata ”demokrasi” pertama-tama dan terutama adalah sebuah kata normatif dan bukan deskriptif. Demokrasi tidak mendeskripsikan suatu hal tertentu, tetapi lebih pada meletakkan/ menetapkan sebuah ideal.

Demokrasi dalam dirinya menyimpan potensi utopis bagi masa depan (Giovanni Sartori, ”Democracy”, dalam International Encyclopedia of The Social Sciences, Vol 3, 1968:116-117).

Dalam kerangka pemikiran di atas, dapat dipahami kini dalam demokrasi representatif para calon wakil rakyat justru ”menjual impian”. Partai-partai politik pun berlomba ”menafsir impian” rakyat sebagai kendaraan mendapat mandat kekuasaan. Mereka yang sedang berdebat dalam proses pilkada pun ”menjual impian” demi legitimasi kekuasaannya.

Populisme

Populisme salah satu bentuk dominan penafsiran impian, kerinduan atau aspirasi rakyat. Dalam bentuknya yang kuno, ia bisa sangat sadis, seperti praktik kaisar-kaisar Romawi sebelum Konstantinus (274-337), yang dalam usaha menggembirakan rakyat, mempertontonkan penganiayaan kelompok minoritas (baca: Kristiani) di arena pertarungan manusia lawan binatang buas.

Dalam bentuknya yang modern, ia bisa sangat halus seperti janji Silvio Berlusconi (mantan Perdana Menteri Italia) pada tahun 2000-an untuk memanjakan kelompok usia lanjut menikmati ”bebas tiket masuk” dalam pertandingan sepak bola di Italia.

Demokrasi modern telah memaksa setiap rezim pemerintahan untuk menafsir dan ”memuaskan” impian rakyat melalui keputusan-keputusan populis. Namun, seperti diingatkan G Sartori di atas, demokrasi menyimpan daya utopis yang bisa mengarahkan suatu bangsa ke masa depan. Maka, menjadi tanggung jawab politik wakil rakyat/penguasa untuk menjaga keseimbangan antara menerjemahkan tafsirannya atas kehendak rakyat dan menggoreskan pula impian-impian besar melalui desain pembangunan suatu bangsa ke masa depan. Potensi utopis demokrasi tak sama denganumbar ”janji kosong” yang tak diwujudkan setelah pemilu/pilkada.

Tantangan besar bagi demokrasi Indonesia adalah kian merebaknya bentuk berpolitik tanpa imajinasi (baca: daya utopis) yang akhirnya menjebak para pelaku politik/penguasa jatuh dalam pragmatisme politik. Desain masa depan bangsa terabaikan dan yang terjadi dalam setiap pemilu/pilkada adalah usaha saling jegal. Daya utopis demokrasi ke masa depan dibelokkan dan dipusatkan pada perebutan kekuasaan melalui stigmatisasi lawan politik, seperti pemberian cap ”komunis-anti agama” atau politik uang dan pembunuhan karakter lawan politik.

Akhirnya, potensi bangsa, seperti keberagaman agama, budaya, etnisitas, dan bahasa, pun tak dimanfaatkan sebagai kekayaan memajukan bangsa, tapi justru dijadikan senjata membangkitkan solidaritas eksklusif primordial yang rawan menyulut konflik sosial dan menghancurkan kohesi sosial bangsa. Tafsir mimpi rakyat yang terjebak pragmatisme politik akhirnya memandulkan seluruh bangsa dalam melahirkan dan mewujudkan impian besar masa depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar