Kearifan
Hadapi Keragaman Cuaca
Paulus Agus Winarso ; Dosen STMKG Jakarta
|
KOMPAS, 16 Januari
2017
Keragaman
cuaca dan iklim sebagai bagian perubahan iklim, khususnya di Nusantara, terus
berlangsung. Untuk mengantisipasi, perlu pemahaman kondisi fisika dan
dinamika atmosfer dengan baik.
Keragaman
ini begitu terasa pada akhir tahun 2016, tepatnya setelah Natal hingga awal
tahun 2017. Terjadi kondisi kurang hujan dan panas terik sekaligus, seakan
musim kemarau telah berlangsung. Hal ini terjadi di sebagian besar wilayah
Indonesia kecuali Sumatera bagian utara.
Di
kawasan tersebut, terjadi surplus air hujan yang mengakibatkan genangan di
beberapa daerah Provinsi Sumatera Utara, awal tahun 2017. Sebaliknya, di Jawa
yang sepanjang Desember 2016 dilanda hujan disertai tiupan angin dari barat
yang kadang kencang, sempat membuat air Bengawan Solo naik volumenya. Terjadi
pula berbagai peristiwa banjir dan tanah longsor di sebagian wilayah
Indonesia, termasuk di antaranya di Sumba, berbarengan dengan giatnya badai
tropis di selatan.
Adanya
tiupan angin barat dengan kecepatan lemah, sedang, sampai kuat, mulai
pertengahan November 2016 yang diiringi dengan udara basah, membuat bencana
banjir kembali terjadi.
Munculnya
angin yang meluas mulai kawasan Sumatera bagian selatan hingga kawasan Nusa
Tenggara bukan berasal dari kegiatan awan yang menjulang tinggi atau awan
kumulonimbus. Awan kumulonimbus hanya meliput area sempit yang umumnya hanya
berdampak lokal dalam satuan puluhan meter dengan durasi kurang dari 15
menit.
Musim angin barat
Indikasi
periode musim angin barat diperkenalkan oleh kalangan ahli meteorologi tropis
Australia Utara, yang menganut sistem menguatnya angin dari arah barat yang
bertiup di atas Nusantara. Dengan demikian, seiring dengan kondisi sistem
monsun panas kawasan Australia Utara yang umumnya identik dengan sistem
monsun barat yang bertiup di atas sebagian wilayah Indonesia—mulai ekuator
hingga kawasan di selatannya termasuk Sumatera, Jawa, hingga Nusa
Tenggara—terjadi kondisi surplus air dengan bencana banjir sebagai dampaknya.
Mengapa
jelang akhir tahun 2016 hingga awal 2017 kondisi basah sedikit berkurang
sehingga kurang bersesuaian dengan informasi akan hadirnya cuaca yang kurang
kondusif.
Kondisi
keragaman cuaca dan iklim 2016 ini perlu dicermati dan diperhatikan dengan
baik karena dari pengalaman sebelumnya diketahui bahwa dalam kondisi normal
selama periode puncak kegiatan curah hujan, banjir selalu mengancam. Padahal,
kita kini berada dalam periode awal puncak hujan yang masih akan berlangsung
1-3 bulan mendatang.
Untuk
Jawa, banjir di daerah aliran Bengawan Solo yang terjadi Desember 2016
sebenarnya menunjukkan kondisi yang agak awal. Namun, untuk kawasan
Jabodetabek, sepertinya sudah sering terjadi selama beberapa bulan, dengan
hujan lebat sporadis yang terjadi secara acak.
Kondisi
fisika dan dinamika udara selama periode 2016 ini memungkinkan hadirnya curah
hujan, namun udara panas dan panjangnya periode hujan selama ini membuat
musim kemarau diduga sudah mulai.
Catatan
di situs cuaca Biro Meteorologi Australia menunjukkan, sejak Mei 2016 hingga
akhir Desember 2016 untuk wilayah Indonesia, kecuali kawasan Papua Barat,
menunjukkan kondisi terliput oleh kehadiran awan yang berlanjut dengan hujan.
Kondisi
keragaman liputan awan selama beberapa tahun menunjukkan bahwa keragaman
cuaca dan iklim telah berlangsung dan bergulir untuk jangka panjang, lebih
dari 10 tahun.
Pembelajaran
dari kondisi liputan selama empat tahun untuk periode 2013, 2014, 2015, dan
2016 menunjukkan bahwa kondisi keragaman cuaca yang sering terliput awan dan
hujan sepanjang tahun adalah periode 2013 dan 2016, mulai Mei-Desember 2016.
Kondisi normal untuk periode 2014 dan kondisi kurang awan untuk 2015.
Bagian keragaman
Dari
hasil pengolahan data pengamatan kondisi awan di wilayah Indonesia, diketahui
bahwa keragaman kondisi liputan awan dan yang telah terjadi yang merupakan
bagian dari keragaman cuaca dan iklim yang sedikit membingungkan.
Dalam
hal ini, kita patut bersyukur karena meski selama empat tahun kita menghadapi
keragaman cuaca dan iklim, kegiatan pertanian relatif tidak terganggu. Panen
raya padi masih berlangsung yang telah terjadi danberlangsung khususnya
akhir-akhir ini.
Saat
ini kondisi liputan awan dan hujan berangsur-angsur berkurang, tetapi secara
sporadis masih terjadi hujan tinggi di beberapa lokasi awal tahun 2017.
Kondisi ini sepertinya masih berpeluang untuk kembali giat sehingga tetap
membutuhkan pemantauan yang saksama.
Kondisi
demikian terjadi karena gejala alam La Nina kini sedang meluruh menuju
kondisi normal. Demikian pula kondisi dipole mode yang berharga netral dan
angin pasat di atas Samudra Pasifik, ikut-ikutan dalam kondisi normal.
Sepertinya kondisi pola cuaca dan iklim ini akan mendukung hadirnya puncak
monsun barat untuk bergiat selama 1-3 bulan mendatang di wilayah Indonesia.
Sebagaimana
puncak hujan di kawasan Monsun Barat, pemicu umumnya adalah pertemuan angin
antartropis yang menjadi daerah pertumbuhan awan hujan. Apabila ada badai
tropis, hadir angin barat yang kencang, umumnya di dekat pusat badai di
selatan wilayah Indonesia, yaitu mulai dari Jawa hingga Australia utara.
Daerah yang akan terdampak hujan tentunya juga di selatan ekuator seperti
Sumatera bagian tengah dan selatan, sebagian Kalimantan, sebagian besar Jawa,
Bali, hingga Nusa Tenggara. Demikian pula halnya Sulawesi, khususnya bagian
selatan.
Selain
itu, juga hadir seruakan udara dingin kawasan Asia yang selama Desember 2016
tertahanoleh kehadiran pusat tekanan rendah atau badai tropis yang giat di
belahan utara. Pengaruh seruakan adalah peristiwa adveksi/lataan udara dingin
yang mendukung pembentukan awan konveksi dalam kondisi tanpa sinar matahari.
Kondisi ini umumnya giat terjadi di pertengahan Januari yang memuncak di awal
Februari, kemudian meluruh pertengahan Februari dan kembali normal
pertengahan Maret mendatang. Namun, ada catatan bahwa apa yang digambarkan
atau dilukiskan ada peluang untuk menyimpang seiring dengan situasi dan
kondisi alam yang berkembang.
Dengan
demikian, hadirnya kondisi keragaman cuaca dan iklim akan terus berlanjut.
Hal ini membutuhkan pemahaman dan pengetahuan, termasuk berdiskusi dengan
narasumber yang dapat diandalkan agar dapat dijadikan pegangan.
Semoga
catatan kecil ini dapat menjadi bekal persiapan kita menyambut puncak musim
angin barat atau puncak musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.
Pengetahuan, kearifan, dan pengalaman menjadi landasan utama dalam menyikapi
keragaman cuaca dan iklim yang masih akan terus berlangsung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar